Mata ini kembali menatap layar laptop setelah melihat kepergian Bu Siti. Menekuri satu persatu data para donatur tetap yang sudah masuk sejak minggu lalu. Diri ini terharu saat melihat data para donatur yang selalu bertambah setiap bulannya. Terlihat keluarga Mas Ferdi berada pada urutan teratas yang menyumbangkan dana terbesar untuk kelangsungan panti ini.
Aku bangkit dari duduk, menyembulkan kepala dari balik pintu, mencuri pandang siapa tamu yang datang. Seperti mengenalnya meskipun diri ini tidak yakin dengan apa yang terlihat. Memutuskan kembali ke tempat duduk dan melanjutkan pekerjaan yang sudah menanti. Namun, saat ingin duduk terdengar suara Bu Siti memanggil, segera bangkit dan ke luar menuju ruang tamu menghampirinya.
Rasa penasaran terjawab sudah saat melihat siapa tamu yang datang, ternyata aku tidak mengenalnya. Mengucap salam dan sedikit tersenyum untuk menyapanya dan ia memperkenalkan dirinya setelah menjawab salam. Diri ini kembali menoleh ke arah Bu Siti siap menerima perintah dari beliau.
“Nay, bantu Ibu siapkan dokumen baru untuk diisi Pak Dahlan sebagai anggota donatur baru!” titahnya.
Aku kembali masuk ke kantor panti yang bersebelahan dengan ruang tamu untuk mengambil selembar dokumen. Lalu, menyerahkan selembar dokumen kosong pada Pak Dahlan untuk diisi.
“Ini, Pak, mohon diisi sesuai identitas Bapak, agar kami mudah memasukkan data Bapak sebagai donatur tetap di panti kami,” ucapku pada Pak Dahlan.
Aku mulai membimbing Pak Dahlan untuk mengisi data sesuai identitasnya. Kuucapkan terima kasih pada Pak Dahlan karena sudah berkenan menjadi donatur di panti ini. Setelah selesai mengisi data dan sedikit berbasa-basi Pak Dahlan berpamitan untuk pulang. Bu Siti mengantar Pak Dahlan sampai pintu depan, sedangkan aku kembali ke kantor panti untuk menyalin data Pak Dahlan ke dalam file di laptop.
Tak terasa azan Zuhur berkumandang diri ini bergegas membereskan lembar dokumen yang berserakan di atas meja dan mematikan laptop. Lalu, melangkah meninggalkan kantor panti menuju kamar untuk mengambil mukena. Sementara itu, Mak Minah dan Alya sudah berada di musala terlebih dahulu, sedangkan Bu Siti masih belum terlihat. Untuk itu, kami masih harus menunggu Bu Siti yang belum tiba di musala.
Takbiratul ikhram berkumandang setelah kedatangan Bu Siti, merapikan saf bersiap melaksanakan salat. Selesai salat, seperti biasa aku memerintah Alya untuk menjemput adik-adik ke sekolah. Walau sebenarnya tanpa disuruh pun Alya sudah tahu dengan tugasnya. Aku masuk ke dapur membantu Mak Minah menyiapkan makan siang.
“Mbak Nayla, kata Ibu, Mbak Nayla mau lamaran?” Pertanyaan Mak Minah membuatku tersentak dan menoleh ke arah Mak Minah yang sedang sibuk mengaduk-aduk sayur.
“Siapa bilang, Mak? Nayla belum memutuskan mau menerima atau menolak, Nayla masih bingung,” kilahku sambil mengelap piring yang masih sedikit basah.
“Kenapa harus bingung, Mbak, Mas Ferdi itu orang mapan, tampan dan cukup beriman. Jadi, nggak ada yang perlu diragukan lagi, Mbak!”
“Masalahnya bukan itu, Mak, tetapi Nayla …!”
Aku menggantungkan ucapanku, seketika dada ini terasa sesak saat mengingat Mas Rangga yang selama ini menghuni relung hati. Akan tetapi, aku harus cepat mengambil keputusan. Memilih antara menerima Mas Ferdi, lalu menggeser posisi Mas Rangga dari hatiku atau sebaliknya? Entahlah …!
***
Tepat pukul 13.00 adik-adik yang masih duduk di sekolah dasar sudah sampai di rumah. Kusuruh mereka ganti baju, mencuci kaki, tangan dan mengambil wudu untuk menjalankan kewajibannya. Selesai salat menyuruh mereka makan siang bersama kami bertiga beserta Ibu, hanya saja tidak makan di satu meja dengan adik-adik. Akan tetapi, kami masih bisa mengawasi mereka semua saat makan. Selesai makan, menyuruh mereka istirahat sebentar kemudian tidur siang.
Setelah mereka semua tidur aku dan Alya membantu Mak Inah membereskan dapur dan menyiapkan kembali sisa makan untuk adik-adik yang belum pulang sekolah. Setelah semua pekerjaan sudah terselesaikan, diri ini menyuruh Mak Inah dan Alya untuk istirahat, begitu pun denganku yang ingin segera merebahkan tubuh di atas ranjang. Namun, saat ingin membuka pintu kamar terdengar suara Ibu memanggil menyuruh aku menghampirinya yang sedang duduk di kursi kantor.
Segera aku menghampiri Bu Siti yang sudah menunggu di kantor panti. duduk bersebelahan dengan Bu Siti yang selalu setia dengan mushaf dan tasbihnya. Bu Siti menyuruhku untuk segera menyalin data Pak Dahlan ke dalam laptop agar tidak hilang, padahal semua itu sudah kusalin dengan rapi. Lalu, Ibu kembali menanyakan tentang niat baik Mas Ferdi yang akan melamarku.
“Bu, kalau menurut Ibu, Mas Ferdi baik, maka Nayla akan menerima Mas Ferdi. Meskipun Nayla belum yakin dengan hati Nayla yang sesungguhnya.”
“Apa yang membuat hatimu tidak yakin, Nay? Apa kamu sudah memiliki calon untuk menjadi pendampingmu?”
“Tidak, Bu, bukan begitu maksud Nayla. Nayla hanya ….”
Aku menggantungkan ucapanku, sungguh aku tak sanggup untuk berkata jujur. Mengingat pembicaraanku dengan Ibu beberapa hari yang lalu sepertinya beliau berharap agar aku menerima lamaran Mas Ferdi. Aku tidak ingin mematahkan harapan Ibu. Biarlah semua rasaku untuk Mas Rangga tersimpan rapi di dalam hati.
Setelah berbicara banyak hal dengan Ibu aku pamit untuk beristirahat, tak lupa juga menyuruh Ibu untuk beristirahat di kamarnya. Bu Siti memang bukan Ibu kandung, tetapi semua kasih sayangnya tercurah pada kami semua, terutama padaku sehingga membuat diri ini merasa berhutang budi meskipun Ibu tak pernah berbicara hal itu. Kasih sayang yang beliau berikan tulus dan ikhlas tidak pernah membedakan antara satu dengan yang lainnya, hanya saja karena aku yang paling besar maka Ibu memperlakukanku sedikit berbeda.
***
Hari berganti hari bulan pun berganti, tidak terasa sudah tiga bulan berlalu sejak Mas Ferdi mengutarakan niat baiknya untuk melamarku menjadikan pendamping hidupnya. Akan tetapi, aku masih belum juga memantapkan hati untuk mengambil keputusan. Tidak tahu harus berbuat apa menerima atau menolak? Rasanya sangat tidak tega bila harus mengecewakan Ibu, terlihat jelas di wajah Ibu yang penuh harap agar aku menerima Mas Ferdi. Meskipun begitu, Ibu tidak pernah memaksa, beliau selalu bilang semua keputusan ada di tanganku.
“Nay, ini sudah tiga bulan sejak saat Nak Ferdi mengutarakan niatnya untuk melamarmu. Akan tetapi, hingga saat ini kamu belum juga memberikan jawaban, jangan biarkan Nak Ferdi menunggu terlalu lama hingga dia merasa jenuh menunggu yang tidak pasti dan akhirnya berpindah ke lain hati,” ucap Bu Siti saat kami berada di kantor panti.
Ucapan Ibu mampu membuatku sedikit tertampar, aku masih enggan untuk mengambil sebuah keputusan yang sangat berat dalam hidup. Meskipun aku sudah melakukan salat istikharah dan terlihat jelas bahwa Mas Ferdi lah yang hadir dalam mimpiku sebagai jawaban dari istikharahku. Akan tetapi, hingga saat ini aku pun masih dalam dilema. Menolak pun aku tak mampu karena akan mematahkan harapan Ibu. Namun, bila menerima itu artinya aku harus merelakan dan menghapus nama Mas Rangga dari dalam hati. Kuhela napas panjang, lalu kuembuskan dengan perlahan sebelum aku menjawab pertanyaan Ibu. Semoga keputusan yang kuambil tidak menjadi penyesalanku kelak dan mengecewakan banyak orang.
“Insyaallah Nayla akan menerima lamaran Mas Ferdi, Bu,” sahutku.
Entah mengapa bibirku berucap dengan penuh keyakinan akan menerima lamaran Mas Ferdi. Padahal sesungguhnya di dalam hatiku masih bergejolak. Percakapanku dengan Ibu beberapa hari yang lalu masih terngiang jelas. Lalu, bayangan Mas Rangga menari-nari di pelupuk mata sehingga membuat hatiku bergejolak.
Sesaat suasana jadi hening tak ada percakapan antara aku dan Ibu. Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam. Sontak kami berdua menoleh ke arah pintu membalas salam dan mempersilakan masuk yang ternyata Mak Minah yang ingin berpamitan untuk belanja ke luar sebentar. Kami pun mengizinkannya karena semua itu juga demi kelangsungan panti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments