Chapter IV : Miror Oh Miror

"Cermin oh cermin katakan kepadaku siapa yang paling cantik ?", tanya Reyna menatap cermin di kamarnya.

"Ah, bukan itu yang seharusnya kutanyakan, cermin beri aku jawaban adakah aku dibalik layar ini ?, ah aku pasti gila menanyakan pertanyaan aneh ini, hawa selepas hujan memang sangat sejuk", kata Reyna menyambung pertanyaannya yang tadi sambil memeluk tubuhnya sendiri.

Hari masih pagi, setelah bercermin Reyna menatap kosong ke luar jendela kamarnya. Langit di pagi hari itu masih gelap dengan sekumpulan awan mendung yang masih tersisa.

"Sudah makan, non ?"

"Belum bi".

"Yuk, turun ke bawah, masakan udah siap, nggak baik melamun terus non".

"Iya bi".

Bibi ini adalah pembantu baru yang entah dibayar oleh siapa untuk membantu mengurus Reyna. Pakaian tak lagi menumpuk di keranjang dekat mesin cuci, debu di kaca sudah pergi tanpa sisa dan kertas-kertas tak lagi berserakan di atas meja akibat ulah tangan cekatan bibi. Bibi hanya akan berbicara kepada Reyna mengenai hal yang perlu dikatakan seperti menawarinya makan atau mengacaukan lamunannya. Seruan bibi mengajaknya makan terkadang tidak berhasil seperti saat ini hingga Zelfa harus turun tangan.

‘’Rey, makan dulu nih entar supnya dingin udah nggak enak lagi untuk dimakan’’, tawar Zelfa.

Reyna meniup sup yang asapnya masih membayang itu dan menikmatinya dengan perasaan sedikit bersalah. Lagi dan lagi merasa bersalah. Kesalahan yang tak seharusnya menghantui dirinya yang sedang berjuang saat ini, bukankah lebih baik dia memikirkan kondisinya dulu saja dibanding harus mengkhawatirkan hal lain. Bagaimana mungkin dia dapat menebus kesalahannya jika ia saja tidak mampu bertahan hidup. Kesalahan seperti apa yang sebenarnya dilakukan Reyna kepada adiknya Zelfa bagi sebagian orang dapat dikatakan sepele tetapi tidak bagi Reyna.

"Fa, apa Vino akan maafin aku ?"

"Kesalahan mana yang kamu perbuat ?"

"Aku selalu mengacuhkannya dan kadang kata-kata yang aku keluarkan sedikit atau mungkin sangat kasar dan pasti menyakiti hatinya".

"Apa yang kamu katakan ?" tanya Zelfa

Dalam batinnya bertanya, "Kenapa dia ini ? Sejak kapan Vino ? Bukannya..."

Sup yang dibawakan oleh Zelfa tadi sudah habis dilahap oleh Reyna. Meskipun nafsu makannya berkurang tapi setiap dia mencicipi sup buatan sahabatnya itu dia akan langsung melahapnya tanpa sisa.

"Kesehatanku terus menurun Fa".

"Iyaa", Zelfa menjawab dengan sedikit ragu.

"Ah, kamu harus selalu menemaniku di saat-saat seperti ini".

"Iyaa..", jawab Zelfa kembali.

"Gimana ya kabar Vino dia udah nggak nge chat aku lagi", tanya Reyna.

"Dia baik koq".

"Fa, aku mau ke toilet dulu ya".

"Iya silahkan", jawab Zelfa.

"Ah, ada kesempatan nih, sudah sebaiknya aku mengecek handphonenya, bagaimana mungkin dia tidak berkomunikasi dengan Vino". Zelfa bergegas mengecek handphone temannya itu namun ia tak menemukan chat dari adiknya.

"Aneh, lalu Reyna yang mana yang semalem chat bahkan nelpon Vino, koq aku jadi merinding", gumam Zelfa seraya meletakkan kembali handphone Reyna ke posisi semula.

"Kamu mau kemana Fa ?", tanya Reyna yang baru saja keluar dari toilet.

"Aku nggak mau kemana-mana koq".

"Kita duduk di luar yuk, di bawah pohon itu", ajak Reyna sambil menunjuk pohon yang ada di halaman rumahnya.

Mereka pun duduk santai di atas bangku yang masih terasa lembab itu.

"Ah, rumahku beda ya Fa".

"Beda gimana ?", tanya Zelfa.

"Iya beda sama yang dulu, beda juga suasananya".

"Kan dari kecil sampai besar dia tinggal disini terus gimana mungkin rumahnya bisa beda, koq aku merinding ya, tenang Zelfa tenang, dia Reyna dan nggak ada tanda-tanda kerasukan", gumam Zelfa dalam hati.

"Kamu koq diem Fa ?", tanya Reyna.

"Eh, aku lagi nikmatin suasananya aja".

"Oh gitu, gimana Vino sehat-sehat kan di Melbourne ?"

"Koq Vino ada di Melbourne sih", tanya Zelfa dalam hati.

"Kenapa Fa koq nggak dijawab lagi, kamu bengong terus hari ini".

"Hah, yang kebanyakan bengong dari tadi kan kamu, dari tadi aku berusaha menyesuaikan diri mendengar perkataanmu, buset beneran tambah merinding aku, mana lagi hawa nya dingin-dingin kayak mau bunuh orang gini".

"Kamu lagi mikir apa Fa ? Vino ngelarang kamu ya buat kasih tau aku gimana keadaannya sekarang, ya wajar sih setelah apa yang aku lakuin ke dia".

"Emang kamu ngelakuin apa sih Rey, kayak merasa bersalah banget gitu", tanya Zelfa.

"Lebih baik aku ikutin aja dia mau ngomongnya sampe mana, biar aku tau kenapa ni orang jadi aneh", gumam Zelfa kembali di dalam hatinya.

"Aku udah nyakitin dia. Di hari yang sama seperti waktu itu, persis seperti selepas hujan hari ini. Aku bilang kalo aku juga mulai suka sama dia tapi kita nggak bisa untuk memiliki hubungan. Kenapa ? Dia bukanlah orang yang aku cari tapi aku tetap bisa suka sama dia. Aku nggak suka saat hatiku nggak bisa diatur malahan menyukai orang yang sama sekali bukan kesukaanku".

"Aku bingung Rey".

"Intinya, aku benci saat aku menyukai dia, aku benci hatiku berkata cinta dan tidak menuruti otakku untuk tak menyukainya, aku juga benci pikiranku terus terbayang olehnya, ah memang berat. Itu sebabnya aku tak suka jika Vino dekat denganku".

Reyna pun mengusap kepalanya sendiri dan tak sengaja rambut yang rontok itu tertarik.

"Lihatlah Fa, rambutku yang rontok ini", kata Reyna seraya menunjukkan rambutnya.

"Hey, Rey apa yang kau katakan ?"

"Lihatlah ini Fa, lihat, hemm..hariku mulai lelah, sampaikan maafku untuk Vino".

"Rey, bangun Rey, buka mata kamu".

Sebenarnya apa yang dirasakan bukanlah yang sebenarnya dilihat.

"Kak, sudah bangun ?", tegur seorang pria yang suaranya terdengar sangat familiar.

"Ah, aku dimana ?", tanya Reyna yang masih mencoba menyadarkan dirinya.

"Hemm..kepalaku sakit sekali", sambung Reyna.

"Kakak kenapa ?"

"Entahlah, kamu dari tadi tidak menjawabku, aku ada dimana sekarang ?"

"Kakak di kamarku".

"Hah, bagaimana mungkin ?"

"Kakak tadi tertidur setelah memberiku obat, kamu kayaknya kecapekan".

"Aku tadi di halaman rumahku".

"Nggak, dari pulang sekolah kakak sudah ada disini".

"Sekolah ? Bagaimana mungkin ?"

"Kamu aneh kak. Kamu..."

Belum sempat Vino menyambung perkataannya, teriakan Zelfa dari bawah menembus sampai ke kamar itu.

"Ah, dari tadi kamu memegang tanganku. Apa sudah bisa kuambil kembali tanganku ?", tanya Reyna.

"Ah, maaf, sekali lagi terima kasih atas hari ini kak".

"Iya, aku turun dulu ya".

Selama menuruni tangga Reyna bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apa yang terjadi sebenarnya kenapa dia terbangun dalam mimpi yang terbangun kembali menjadi tidur dan kembali lagi menjadi mimpi. Bahkan ia hampir terjatuh saat menuruni anak tangga terakhir dan untungnya ada Zelfa yang memeganginya.

"Hati-hati Rey, aku tak mau jadi saksi ataupun tersangka kalau terjadi kecelakaan".

"Ah, iya".

"Apa yang kau pikirkan ?"

"Apa kamu pernah terbangun dalam mimpi yang sebenarnya kembali terbangun lagi dalam mimpi, entah itu mimpi atau bukan".

"Hah ? Apa yang kamu katakan ? Maksudnya terus terbangun dalam mimpi ? Hal seperti itu hanya bisa kau saksikan saat menonton film".

"Ah, seperti itu ya".

"Iya, kenapa ?", tanya Zelfa.

"Aku mengalaminya".

"Sebaiknya kamu cuci muka dulu baru makan".

"Baiklah".

Mereka pun menyantap hidangan yang sudah disiapkan itu.

"Kamu mau menginap ?", tanya Zelfa.

"Nggak deh Fa".

"Ayolah menginap disini, mama baru pulang besok, entar kita ambil dulu aja pakaianmu".

"Nggak Fa".

"Ayolah Rey, Vino lagi sakit, aku bener-bener takut sendirian".

"Apa yang harus kamu takutin Fa?"

"Ada monster Rey".

"Hahah lucu, ya iya deh aku mau nginep".

"Yaudah habis ini kita langsung ke rumah kamu sebelum malem".

Setibanya di rumah, Reyna bergegas menaruh pakaiannya ke dalam ransel. Namun, di sisi lain Zelfa yang tengah menunggu di ruang tamu memiliki rasa keingintahuan bagaimana sahabatnya ini bisa tinggal sendirian di rumah itu dan mengurusnya dengan sangat baik. Zelfa mencoba membuka kulkas, dilihatnyalah beberapa daging beku, sayur dan buah.

"Hidup sehat, bagus", puji Zelfa dalam benaknya.

Ia pun keluar dari rumah itu untuk melihat bagaimana halaman rumahnya.

Reyna yang sedang memasukkan beberapa pakaian dibuat terkejut oleh suara yang berada di dekatnya, suara seperti orang yang sedang membolak-balikan halaman pada sebuah buku. Saat ia menoleh, ia tak menemukan apapun, tak ada buku yang terbuka, ia pikir ini pasti ulah Zelfa yang ingin menakutinya.

"Rey, dunia masih bersamamu".

Merinding adalah perasaan yang dirasakan oleh Reyna saat mendengar perkataan itu, ia pun menoleh dan melihat ke arah cermin. Betapa terkejutnya dia melihat bahwa ada dirinya di dalam cermin itu dengan tawa yang sangat lebar. Padahal saat itu ia tak tertawa, itukah dirinya yang lain ? Ia berteriak dan terduduk di lantai.

Dalam ketakutan dia bertanya, "Siapa kamu ?"

"Aku adalah kamu", jawab cermin itu.

Betapa terkejutnya Zelfa melihat kamar Reyna dengan pakaian yang berhamburan dimana-mana, buku-buku juga terjatuh di lantai, dan Reyna sendiri yang tersungkur di lantai tak sadarkan diri.

"Hah ? Apa yang terjadi ? Rey kamu kenapa ?", tanya Zelfa yang panik, amat sangat panik.

Zelfa memegang badan Reyna yang sudah dingin membeku lalu membopongnya ke kasur. Hanya berselang beberapa menit, akhirnya Reyna tersadar.

"Ah, aku dimana ?", tanya Reyna seperti orang kebingungan sambil memegang dahinya.

"Syukurlah kamu sadar Rey, kamu sekarang ada di kamarmu. Kamu kenapa ? Semua barang disini juga jadi berantakan", kata Zelfa sambil memberikan air hangat.

"Aku di kamar ? Bukankah aku ada di jalan ?", tanya Reyna dengan pandangan mata yang melihat sekelilingnya. Pakaian yang berantakan, buku-buku yang terjatuh dengan beberapa halaman yang terbuka.

"Jalan mana ? Kamu tadi hanya mampir ke rumahku", jawab Zelfa.

"Aku tadi sedang di jalan menunggu di jemput karena aku nggak tau gimana caranya pulang, aku juga nungguin anak kecil".

"Mungkin kamu mimpi Rey, kan dari tadi kamu sama aku terus".

"Nggak, Fa aku nggak mimpi".

"Hmm, lebih baik kamu bereskan dulu kamarmu ini setelah itu kita langsung pergi saja".

"Iya Fa".

Selesai bersiap-siap mereka langsung pergi menuju rumah Zelfa. Saat datang, mereka disambut oleh sate yang dibawakan oleh Vino.

"Vin, udah sehat ?", tanya Zelfa.

"Udah kak".

"Berarti obat yang kakak bawa manjur dong".

"Heheh", Vino tampak malu-malu menjawabnya dan disaat itu juga Reyna melihat muka anak itu memerah.

"Hah, kenapa ni anak mukanya merah mulu katanya udah sembuh", gumam Reyna dalam hatinya.

"Kak Rey nginep disini ?", tanya Vino.

"Jangan ambil kesempatan kamu, ntar aku kasih tau mama", jawab Zelfa dengan ketus.

"Ih, apaan sih kak, aku aja cuma nanya".

"Yah, kakak kan cuma ngasih peringatan aja. Reyna memang malem ini mau nginep disini, seneng ?", tanya Zelfa.

"Oh gitu", jawab Vino sambil mengangguk-anggukkan kepala. Vino berusaha setenang mungkin dengan menampilkan wajah datar padahal dalam hatinya bersorak gembira.

"Ayo, Rey ke kamar", ajak Zelfa.

"Eitt, tunggu dulu kak", ucap Vino menahan Zelfa agar tak menyuruh Reyna masuk ke kamarnya dulu.

"Kenapa Vin ?", tanya Zelfa.

"Aku mau minta ajarin soal kak, tadi kan aku nggak sekolah terus temen aku ngechat kalo ada tugas buat besok", jawab Vino.

"Oh, kamu mau minta ajarin kakak ? Nggak salah orang ?", tanya Zelfa.

"Bukan kakak lah, nggak mungkin juga mau minta ajarin kakak yang ada malah kakak yang minta aku ajarin terus".

Mendengar ucapan Vino tersebut, Reyna ingin tertawa tapi ia menahannya dengan hanya tersenyum saja.

"Aku mau minta diajarin kak Rey", pinta Vino.

"Oh, mau minta diajarin Rey, gimana Rey kamu mau ajarin dia ?", tanya Zelfa.

Sementara itu, Vino dengan tatapannya penuh harap sambil menyatukan tangannya selayaknya lagi memohon menatap Reyna. Karena tak tega Reyna pun mengiyakannya dengan anggukan kepala.

"Kamu siapin ya Vin buku-bukunya", perintah Reyna.

"Siap bu guru", jawab Vino sambil melakukan gerakan hormat.

Vino pun mengambil buku-buku di kamarnya.

"Rey, kamu masukin dulu gih tas kamu ke kamarku".

"Iya Fa".

Tak lama kemudian, Vino keluar dari kamarnya membawa semua perlengkapan untuk mengerjakan tugas. Lalu menyapa Reyna yang sudah duduk di sofa siap mengajarinya.

"Kak, sate tadi dimakan ya ?"

"Iya Vin makasih ya".

"Aku yang harusnya berterima kasih sama kakak".

"Huh, lebay", jawab Zelfa yang baru melintas di depan mereka.

"Mending kakak belajar gih sana biar jadi pinter kayak kak Reyna, bukannya nonton terus tiap hari".

"Hah ? Kamu sudah berani ceramahin kakak ?", jawab Zelfa sambil melotot dengan gaya bertolak pinggang.

"Iya, kakak memang harus diceramahin, gimana sih masa' nggak bisa ajarin adeknya belajar".

"Oh gitu ya kamu sekarang, kakak akan buat hari-hari kamu ke depan penuh dengan penyiksaan", jawab Zelfa menggebu-gebu.

"Entar aku aduin mama", tantang Vino.

"Boleh, kalo kamu mau gitu tapi kamu akan merasakan derita yang lebih hebat dari yang sebelumnya sudah diperkirakan", ancam Zelfa.

"Silahkan, aku nggak takut, entar aku bakal kasih usul ke mama biar kakak sekolah di luar kota bahkan di luar negeri biar jadi orang pinter dan nggak ganggu aku lagi".

"Silahkan, ah maaf ya Rey, ni anak emang kayak gini, ngomong terus sampe habis waktu dan tugasnya udah malem banget baru dikerjain", kata Zelfa sembari mencicipi sate diatas meja yang tampak menggiurkan itu.

"Heheh, nggak masalah", jawab Reyna.

Zelfa pun masuk ke kamar dan meninggalkan mereka berdua.

"Mana soal yang kamu nggak bisa ?", tanya Reyna yang turun dari sofa untuk ikut duduk di lantai bersama Vino.

"Yang ini kak", jawab Vino sambil menunjuk soal yang tak dimengerti olehnya itu.

"Oh ini, ini ni gini, gini..", Reyna mulai menjelaskan sambil menulis jawaban dari soal yang dimaksud.

Seketika itu pula Vino kagum terhadapnya dan tak berhenti menatap pemilik bulu mata yang lentik itu.

"Kamu ngerti kan Vin ?"

"Eh iya ngerti kak", jawab Vino yang mulai berhenti menatap Reyna.

"Ada lagi ?"

"Yang ini kak".

"Jadi yang ini ni kayak gini, bla bla bla..", kata Reyna perjelas.

"Oh gitu, aku tulis dulu ya kak", jawab Vino sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Menunggu Vino selesai menulis membuat keadaannya menjadi hening.

"Vin, kamu memang selalu adu mulut ya sama Zelfa ?"

"Eh, nggak juga kak, kami kadang kompak loh kalo soal kompromi mau makan dimana, demo uang jajan sama ngajuin proposal liburan", jawab Vino.

"Oh gitu, kompaknya karena keuntungan bersama ya, lucu juga".

"Heheh, iya kak, kalo kami kompak kami bisa dapetin keinginan kami, kayak demo uang jajan itukan kami minta dinaikin kalo cuma aku atau kak Zelfa aja yang bersuara pasti nggak berhasil jadi kami harus sama-sama ngomong sama mama supaya nambahin uang jajannya, emang kenapa kak?"

"Enggak koq, aku cuma penasaran aja", jawab Reyna.

"Oh, penasaran itu awal dari ketertarikan loh", kata Vino sembari menulis.

"Begitu kah?"

"Iya kak".

"Kalo aku bilang tertarik, gimana ?"

"Yah, enggak gimana-gimana sih kak, tapi itu membuat aku cukup seneng walaupun cuma lelucon", jawab Vino.

"Cuma lelucon ?", tanya Reyna yang mengambil pena Vino dan kemudian menatapnya lekat-lekat dan semakin dekat.

Disitu terlihat jelas manik mata Reyna, tempat teduh dimana Vino ingin kembali setelah berjalan cukup jauh. Tempat penghilang penat dan merupakan dunia baru yang ingin dimasukinya. Tempat yang ia cari selama ini. Reyna bisa melihat juga bagaimana gugupnya Vino saat ia memegang tangannya mengambil pena, wajah anak itu kali ini tidak merah tapi yang ada hanya ketampanan yang menjadi hamparan pandangan kali ini.

"Kamu salah Vin, kan aku tadi nulisnya kayak gini", ucapan Reyna menghentikan aksi tatap-tatapan itu.

"Ah salah ya kak, aku kurang fokus", jawab Vino yang jantungnya masih berdebar kencang. Baru kali ini dia duduk sangat dekat dengan Reyna sambil menatapnya dan untuk kedua kalinya ia memegang tangan Reyna, namun kali ini lebih bahagia karena Reyna yang menggenggamnya terlebih dahulu.

"Kurang fokus itu tandanya lagi mikirin sesuatu, kamu mikirin apa ?", tanya Reyna.

"Mikirin apa ? Nanti kakak marah lagi kalo aku ngomong jujur", jawab Vino.

"Aku suka kamu punya sifat jujur".

"Aku mikirin kakak, padahal aku sudah mencoba mengabaikan bayangan kakak tapi tetep nggak bisa. Kalo kakak suka sama kejujuran aku, kapan kakak akan menyukai aku seutuhnya ?", tanya Vino.

"Menarik, kamu memang menarik, jujur, polos, lantang, pintar, tapi kenapa kamu bisa suka sama aku ?", Reyna balik bertanya.

"Aku nggak tau kenapa sama seperti aku juga nggak tau kenapa kakak nggak menyukaiku bahkan seakan membenciku waktu dulu", jawab Vino.

"Jawabanku sama sepertimu, tidak tau kenapa. Kamu boleh bilang aku membencimu maka dari itu berhentilah menyukaiku".

"Waktu saja taktau kapan berhenti lalu bagaimana bisa aku tau kapan akan berhenti menyukaimu kak".

"Kalau begitu coba saja untuk lupakan aku, karena waktu itu adalah ambang kepastian dan ketidakpastian. Sampai kapan kamu akan hanyut dalam ketidakpastian ?", tanya Reyna.

"Sampai kamu juga menyukaiku kak".

"Ah, kamu semakin pandai berkata puitis", puji Reyna untuk menghentikan percakapan yang semakin dalam itu.

"Ah, aku memang pandai, maka dari itu apalagi yang kurang ?", tanya Vino.

"Perasaanku..", jawab Reyna.

"Ah, sudah belajar fisika ditambah perkataan selalu tidak, ini bener-bener buat kepala aku pusing", rutuk Vino sambil mencengkram rambutnya sendiri.

Sementara itu Reyna hanya tertawa.

"Ayolah Vin, kan sudah aku kasih tau jawabannya, buruan gih selesain".

"Kalo kakak udah ngantuk, masuk aja, aku nggak apa apa koq, lagian kak Zelfa juga belum tidur jam segini".

"Yakin ? Kalo aku masuk nggak keluar lagi".

"Yakin kak, masuk aja", jawab Vino.

"Oke kalo gitu, aku masuk, bye Vino".

"Bye", jawab Vino singkat.

Saat Reyna ingin melewati Vino, tiba-tiba Vino menarik tangannya.

"Kenapa Vin ?", tanya Reyna.

"Jangan masuk dulu, ternyata ada satu soal yang aku masih nggak bisa jawab".

"Yang mana ?"

"Yang ini kak", tunjuk Vino ke hatinya.

Reyna hanya diam saat Vino menuntun tangannya ke dada. Detak jantung Vino terasa sangat kuat.

"Jawab ini kak", Vino menyambung ucapannya tadi.

"Apa ?"

"Kenapa hanya aku yang merasakannya kak ?"

Reyna hanya diam merasakan jantung anak itu berdebar kencang, sementara ia sendiri sebenarnya juga berdebar.

"Ah, aku mau tidur dulu, besok baru aku sambung lagi", kata Vino sembari melepaskan tangan Reyna dan ingin masuk ke kamarnya.

"Lanjutin Vin, besok kan ngumpul tugasnya ?".

"Kamis depan kak".

"Tunggu Vin, coba kamu makan ini", tawar Reyna memberikan permen kepada Vino.

"Hmm, terima kasih kak, aku tidur dulu yah, semoga mimpi indah dan pemeran utamanya adalah aku", kata Vino sambil melambaikan tangan.

Reyna hanya tersenyum dan segera masuk ke kamar.

"Ah, senyum yang menawan", puji Vino sambil membuka pintu kamarnya.

Di dalam kamar, Zelfa siap menyerbu Reyna dengan pertanyaannya.

"Udah selesai Rey ?"

"Tinggal dikit lagi kayaknya", jawab Reyna.

"Jadi gimana ? Berhasil PDKT nya ?", tanya Zelfa.

"Hah ? Apaan ?", kata Reyna balik tanya.

"Nggak apa apa. Oh ya tidur jangan mikir yang macem-macem entar mimpi nggak karuan".

"Iya Fa ngapain juga mikir macem-macem", jawab Reyna.

"Ya kali aja kamu mikirin Vino".

"Heheh, nggak lah".

"Nggak salah lagi", bantah Zelfa.

Reyna pun naik ke kasur dan menarik selimutnya. Mulutnya berkata tidak tapi otaknya masih memikirkan kejadian tadi, siapa lagi kalo bukan mikirin Vino.

"Duh, jadi mikirin tuh anak, tadi jantungnya kuat banget debarannya, tapi liat dia kayak tadi, gilakkk ganteng banget, eitss Rey, inget, jangan hanyut. Ah sudahlah nggak usah mikirin dia. Ayo, otak hapus hapus semua fotonya, bersihkan jangan sampai ada yang tertinggal", gumam Reyna dalam benaknya.

"Tapi, aku masih nggak habis pikir sama apa yang aku alami tadi sore, padahal sudah jelas kalo aku lagi di jalan sama anak kecil tapi kenapa aku sudah ada dikamar. Aneh banget, ahh apa yang terjadi ?".

Segenap tanya dalam benaknya pun terbenam dalam kelelapan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!