Hernandez dan kapal yang ditumpanginya akhirnya berlabuh di sebuah pelabuhan besar di pesisir barat Benua Islan saat matahari sudah berada di garis imajiner yang menyatukan langit dan samudra.
Normalnya, dan seharusnya, mereka akan tiba di sana tengah malam nanti. Namun, para awak kapal begitu bersemangat kembali ke kota, mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk berlayar dengan kecepatan maksimum sepanjang waktu perjalanan. Alhasil, waktu tempuh mereka menjadi dua kali lebih cepat dari yang seharusnya.
Sorak-sorai para warga yang menyambut kedatangan mereka seketika menginvasi pendengaran Hernandez. Ia melihat seorang pria tua berambut hitam kusam—sang walikota—melambai ke arahnya, memintanya mengikuti pria berkulit kecoklatan tersebut. Kapten kapel lantas mengatakan padanya untuk mengikuti sang walikota ke tempat di mana ia harus mendaratkan kraken raksasa yang menjadi sumber kegirangan para warga.
Tak ingin berlama-lama membawa kraken, Hernandez lekas meninggalkan kapal dan terbang mengikuti sang walikota.
“Tuan Hernandez, apa yang Anda pikirkan tentang tempat ini?”
Pertanyaan itu terlontar dari mulut sang walikota bertepatan dengan mendaratnya Hernandez di belakangnya. Tetapi Hernandez tak lantas menjawab. Ia memerhatikan apa yang ada di hadapan mereka dengan seksama. Namun, setelah beberapa lama, Hernandez tidak mendapati apapun selain sebuah altar besar yang terletak di tengah-tengah tanah lapang yang ditutupi pasir coklat keputihan.
“…Apa ada hal spesial tentang tempat ini?” tanya Hernandez. Karena, meskipun ia tidak melihat atau merasakan apa-apa, ia menduga pasti ada hal yang spesial di tempat yang mereka lihat. Dan, bisa jadi itu berhubungan dengan alasan mengapa lautan pasir telah berubah menjadi pasir putih murni.
“Tidak ada yang tahu tentang hal ini,” ucap sang walikota seraya menggestur Hernandez untuk mendaratkan kraken di atas altar.
Hernandez mengarahkan kraken sehingga lengan-lengannya mengarah ke kanan dan kiri, lalu perlahan-lahan ia mendaratkan kraken langka tersebut di atas latar setinggi puluhan meter itu.
“Namun,” sang wali kota melanjutkan, “karena telah membantu kami, aku akan membantu menyelesaikan investigasimu atas lautan pasir putih.”
Hernandez mendengarkan sang walikota dengan penuh perhatian.
“Festival Kraken bukan hanya festival untuk melestarikan rutinitas kota pelabuhan ini yang telah dimulai tepat pada 999 tahun yang lalu ‒ yang artinya festival nanti adalah festival yang ke-1000. Tapi, aku menduga festival ini ada hubungan erat dan sakral dengan kisah kuno yang menyertai berdirinya kota ini: Lasya of the Moon, atau yang lebih dikenal dengan ‘Putri Bulan’.”
Hernandez tentu saja sudah membaca kisah kuno itu. Dalam kisah itu, dikatakan bahwa pada malam purnama di mana bulan menjadi putih seperti susu, seorang wanita jatuh dari bulan dan mendarat di lautan pasir. Wanita itu bernama Lasya. Sebagian orang menyebutnya sebagai “Kehendak Bulan”, sebagian lagi menganggapnya sebagai “Putri Bulan”. Tidak ada yang tahu mana yang benar, tetapi semuanya setuju kalau dia berasal dari bulan.
Dikatakan, wanita itu lekas beranjak menjauhi lautan pasir setelah dia mendarat. Dia melakukan perjalanan ke arah barat, terus ke barat hingga sampailah dia di tepi pantai samudra. Tidak ada yang tahu apa yang dilakukannya di sana, tetapi sebulan setelah itu, di sana sudah berdiri sebuah kota kecil indah yang telah dihuni oleh belasan kepala keluarga. Dan hanya dalam sebulan kemudian, orang-orang yang pindah ke kota itu semakin banyak hingga kota itu diekspansi menjadi lebih besar.
Akan tetapi, tiba-tiba pada suatu malam, wanita bernama Lasya yang dipanggil “Putri Bulan” itu menghilang tanpa jejak ‒ seolah-olah dia tidak pernah ada di sana sama sekali. Dan entah kebetulan atau tidak, seekor kraken terhampar ke daratan pada pagi harinya, kraken itu dalam keadaan sekarat dan mati tak lama setelahnya.
Para warga tentu saja dengan gembira memanfaatkan daging kraken untuk dikonsumsi, tetapi mereka juga mempersembahkan darah biru kraken sebagai bentuk persembahan kepada Lasya of the Moon—sebagai rasa terima kasih dan syukur mereka. Hal itu pulalah yang mendasari Festival Kraken.
Namun demikian, meskipun sudah membaca kisah kuno itu, Hernandez tidak menemukan titik temu antara festival kraken dengan lautan pasir menjadi pasir putih seperti susu selain warna bulan saat Lasya turun. Terlebih lagi, tidak ada bukti yang menunjukkan kalau bulan bisa berwarna putih susu. Hernandez sudah mencarinya dari berbagai sumber di kota ini, tetapi satu pun tidak ada. Mereka justru mengatakan kalau semua itu hanya dilebih-lebihkan, tetapi mereka tetap percaya kalau Lasya itu nyata.
Jadi, apa penyebab lautan pasir menjadi putih seperti susu itu?
“…Apa kau pernah mendengar World Observer, Tuan Hernandez?”
“Tentu saja. Itu bagian dari Six Crests of Hope yang Edenia berkahi atas dunia: Tree of Magic, Mother of Nature, Soul of Sacred Waterfall, Land of Dream, Wish Granting Mind, dan World Observer. Dikatakan, siapapun yang bisa mendapatkannya, dia akan menemukan jalan untuk mendekati singgasana dewa, dan dewa akan memenuhi segala hasrat keinginan mereka yang bisa mencapainya. Tapi itu semua tidak lebih dari sekadar mitos semata; Pope Gramiel sama sekali tidak bisa menemukan bukti yang menunjukkan tentang keberadaan Six Crests of Hope.”
“Ya, itu hanyalah mitos dan sesuatu yang sulit dipercaya lantaran tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan kebenarannya. Tapi, aku yakin World Observer itu nyata, Tuan Hernandez.”
Hernandez memandang sang walikota dengan pandangan penuh tanya.
“Lasya, aku yakin…jika dia bukan wanita yang telah mendapatkan World Observer, pastinya dia adalah manifestasi dari World Observer itu sendiri. Tentu saja aku tidak bisa memastikan kebenarannya, itu hanya teoriku sendiri.”
Hernandez…ia sungguh bisa mengerti mengapa walikota meyakini hal itu. Selain matahari yang dikatakan sebagai kediaman sang Phoenix, bulan adalah benda langit lainnya yang senantiasa mengobservasi dunia. Karenanya, menghubungkan bulan dan World Observer sangatlah masuk akal.
Akan tetapi, bagaimana pasir bisa menjadi putih? Hernandez sudah mencoba mengecek jika pasir itu dipengaruhi oleh sihir, tetapi formula rune-nya sama sekali tidak mendeteksi keberadaan [mana] yang memengaruhi pasir.
“Oh, aku harus pergi dan meminta petugas untuk membasahi pasir dengan darah biru kraken. Tuan Hernandez, aku harap investigasi yang Anda lakukan membuahkan jawaban yang memuaskan, dan aku menantikan Anda di hari festival nanti.”
Hernandez hanya mengangguk pelan menanggapi ucapan walikota, ia masih sibuk memikirkan mengapa pasir itu menjadi putih.
“Lasya of the Moon… World Observer….”
Hernandez kembali mengernyitkan keningnya dengan kesal. Ia tidak tahu mengapa hal itu berhubungan dengan lautan pasir yang menjadi putih. Dan karena itu pula, Hernandez tidak bisa memastikan apakah itu berbahaya atau tidak.
“Ah, di sana Anda rupanya, Tuan Hernandez.”
Suara itu refleks membuat Hernandez membalikkan badannya. “Lyra,” responsnya. “Melihatmu di sini, apa ada hal yang penting?”
Lyra mengangguk, berkata, “Ada dua hal: Pertama, Pope Gramiel memerlukan kemampuan Anda untuk membuat artefak sihir sebagai simbol sekaligus pengenal diri para Deus Guardian. Kedua, Anda dan semua anggota Deus Guardian—termasuk anggota terbaru Deus Guardian—harus berada di Deus Holy Church pada 4 May. Ada hal penting yang harus dibahas, dan mungkin hal itu akan lebih mengkhawatirkan dibandingkan dua tahun yang lalu.”
“…Aku mengerti.” Hernandez tidak menanyakan hal penting apa itu, jawabannya sangat jelas. “Tapi, aku masih belum menyelesaikan investigasiku terhadap lautan pasir yang menjadi putih. Aku tak bisa memastikan itu berbahaya atau tidak.”
…Tapi, firasatku mengatakan hal yang buruk tentang itu, lanjut Hernandez dalam hati.
“Tidak masalah, saya akan mengecek tempat itu sesekali sampai Anda kembali ke sini.”
Hernandez memandang intens sang pengantar pesan Pope Gramiel, kemudian mengangguk. “Untuk jaga-jaga,” katanya sambil mengeluarkan sebuah kalung dari lingkaran sihir hitamnya, “kalung ini akan memberikanmu perlindungan jika ada bahaya.”
“Aduhai, apakah ini cara Anda mengatakan kalau Anda mengkhawatirkan keselamatan saya?” tanya Lyra sembari menerima kalung emas putih berliontinkan kristal biru berbentuk segi delapan.
“…” Hernandez tidak memberi respons apapun, ia menghilang dari tempatnya berdiri begitu saja.
Namun demikian, senyum tipis tercipta di bibir biarawati yang berusia 34 tahun itu. “Aku akan berhati-hati,” gumamnya pelan, menggenggam erat kalung itu ‒ kalung yang ke-147-nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
John Singgih
Lyra berarti sudah kehilangan kalung berkali-kali jadinya ya...
2022-07-27
3