02 : Godaan Tingkat Dewa

Dewa segera mendorong pelan tubuh Mala. Ini sudah lebih dari batas kemampuan Dewa menahan segalanya. Dia sadar, dia tidak boleh gegabah. Terlebih lagi, Mala masih sekolah.

"Mala, maafin Kakak, ya," ucap Dewa memperbaiki posisi duduk Mala.

Ia sudah kembali ke posisi tepat di depan kemudi lagi sekarang.

"Ah, iya, nggak apa-apa, kok, Kak." Mala jadi kikuk sendiri.

Jujur dia terbawa suasana dengan keadaan tadi.

"Sekarang Kakak antar kamu pulang, ya," kata Dewa.

"Iya, Kak," angguk Mala.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, mereka tidak berbicara lagi satu sama lain. Mala sibuk memainkan ponsel untuk membunuh rasa malu yang luar biasa. Jantungnya masih berdegup tidak menentu merasakan sentuhan Dewa terhadapnya beberapa waktu lalu.

Begitu juga dengan Dewa, dia sadar dia sudah melakukan tindakan yang berlebihan. Dia memang brengsek! Beruntung tadi tidak kelepasan.

***

Sesampainya di depan rumah mereka. Ya, rumah mereka. Rumah Mala dan Dewa memang bersebelahan karena mereka tetangga.

Rumah dengan pagar berwarna putih adalah rumah Dewa. Catnya juga serba putih. Ada beberapa tanaman di depan rumah itu, karena maminya senang menanam bunga dan pohon-pohon di depan halaman.

Sedangkan rumah Mala bercat hitam. Di depan rumah Mala justru sangat polos. Tidak ada tanaman apa pun sejauh mata memandang. Itu karena orang tua Mala jarang ada di rumah. Mala hanya tinggal bersama dengan pelayan saja.

"Udah sampai, kita turun, yuk." Dewa membantu Mala melepaskan sabuk pengaman.

Gadis itu mengerjapkan mata begitu Dewa berada kembali dekat dengan wajahnya.

"Kakak cuman mau bantu buka seat belt aja," ucap Dewa.

"Oh, iya, Kak." Mala jadi salting tidak karuan. Ah, semuanya karena kejadian tadi.

Setelah melepaskan sabuk pengaman. Dewa membukakan pintu mobilnya untuk Mala. Gadis itu tidak lupa membawa tasnya keluar dari mobil Dewa.

"Kakak, makasih ya udah antar Mala pulang," katanya tersenyum tipis ke arah Dewa.

Dewa pun ikut tersenyum. Baginya senyuman Mala yang sangat manis tidak tertandingi. Gadis berlesung pipi itu bukan hanya cantik, lembut, baik, tapi juga sangat polos dan itu yang paling membuat Dewa jadi rindu setengah mati, jika sebentar saja tidak bertemu.

"Iya, Mala, sama-sama." Dewa menggaruk tengkuk kemudian ia menggenggam tangan Mala.

"Maaf untuk yang tadi, ya," kata Dewa mencondongkan tubuhnya mendekati Mala dan berbisik tepat di dekat telinga gadis itu.

"Hem, iya, gapapa kok." Mala menghela napas panjang.

Dewa mengacak rambut Mala yang dibiarkan tergerai begitu saja. Rambut lurusnya amat lembut. Panjangnya tidak sampai sepinggang, hanya sebahu lebih sedikit. Tidak lupa poni yang menutupi kening Mala membuat tampilan gadis itu makin terlihat manis.

"Mala masuk gih."

"Hem, Kakak duluan," jawab Mala.

"Mala aja duluan," kata Dewa.

Mala akhirnya mengangguk. Ia melihat tangannya yang masih digenggam oleh Dewa.

Seketika Dewa melepaskan genggaman tangannya pada Nirmala. "Duh, Kakak lupa."

Mala terkekeh kemudian ia melambaikan tangan ke arah Dewa. Gadis itu masuk ke dalam gerbang berwarna hitam, ke dalam rumahnya. "Dadah Kak Dewa."

"Iya, Mala," jawab Dewa membalas lambaian tangan Mala.

Dari jauh Maxime, Daddy Dewa melihat putranya tengah melambaikan tangan pada Mala. Dia pun menggeleng mendekati putranya.

"Dewa."

"Da-Daddy?"

Mala langsung melebarkan mata melihat Maxime dengan suara baritonnya muncul mengejutkan.

"Om Max?"

"Hei, Mala, Sayang." Maxime tersenyum ke arah Mala. "Baru pulang?"

"Eh, iya, Om Max. Mala masuk dulu, ya," ujar gadis itu sambil tersenyum ramah ke arah Maxime.

"Iya, Mala, jangan lupa kamu langsung makan ya. Inget, kamu punya gangguan lambung, nggak boleh telat makan," ingat Max perhatian pada gadis itu.

Bukan tanpa sebab Maxime perhatian pada Mala. Melainkan orang tua Mala menitipkan Mala padanya. Jadi apa pun yang terjadi pada Mala merupakan tanggung jawabnya juga.

"Siap Om, kalau gitu Mala masuk ya."

"Oke sayang." Maxime membiarkan gadis itu masuk ke rumahnya. Setelah pintu tertutup rapat, ia beralih kembali pada putranya.

"Wa."

Dewa memegang dada, dia tersentak dengan suara Maxime yang menggelegar memanggil namanya.

"Iya, Daddy," jawab Dewa.

Maxime menatap Dewa dengan tegas. Siapa pun yang melihat tatapan itu pasti akan bertekuk lutut dan tidak berani membantahnya.

"Kamu nggak melakukan hal yang tidak-tidak dengan Mala, kan?" tanya Maxime menaruh curiga.

Maxime pernah memergoki Dewa memeluk Mala di dalam kamar. Sebab itulah Maxime tidak mau kecolongan. Dia harus melindungi Mala termasuk dari ancaman putranya sendiri. Maxime tidak akan pernah lupa, berapa banyak pacar koleksi Dewa dulu selama tinggal di Jakarta.

"Enggak lah, Dad," geleng Dewa sambil menggaruk hidung.

"Dewa, Daddy nggak mau kamu berbohong," kata pria yang umurnya lebih dari setengah abad itu.

"Dewa nggak boong," jawab Dewa meski terdengar ragu-ragu.

Maxime menggaruk alis masih tidak percaya kata-kata Dewa begitu saja. "Ya sudah, kamu masuk sana."

Akhirnya, batin Dewa menghela napas lega. "Oke."

Maxime memerhatikan Dewa yang hendak masuk ke dalam gerbang. ia kemudian menangkap sesuatu yang janggal tertempel di kerah baju putranya yang berwarna abu-abu terang. "Dewa, tunggu sebentar."

Dewa membulatkan mata. Apalagi ini? Dia sudah berumur dua puluh empat tahun dan daddy-nya masih saja bersikap seolah dia masih anak-anak yang perlu di awasi gerak-gerik nya. "Ada apa lagi, Dad?"

"Kesini kamu," kata Max meminta Dewa berdiri di hadapannya. Keduanya masih berada di depan rumah.

Dewa tidak punya pilihan selain melakukan apa yang Daddy-nya perintahkan. Dia berdiri di hadapan daddy-nya sambil mengusap wajahnya kasar.

"Wa, ini apa?" tanya Maxime menunjuk ke arah kerah baju Dewa.

Anjir! Mati lo Dewa!

Dewa meneguk ludah begitu melihat Max menunjuk ke noda merah yang tidak lain dan tidak bukan merupakan noda liptint dari bibir Mala. Dia tidak ingat bagaimana bisa noda itu tertempel di bajunya. Yang jelas, tadi Mala sempat memoleskan gincu tersebut ke bibirnya sewaktu Dewa hendak menciumnya.

"Jawab Daddy. Ini apa?" tanya Maxime lagi.

Sebagai seorang pria, Maxime bukan tidak mengerti apa yang ada di pikiran Dewa.

"Dewa. Kamu belum mengerti juga kenapa Daddy melarang kamu melakukan hal yang tidak-tidak pada Mala?"

Dewa mengerti. Hanya saja tidak semudah itu menahan godaan setiap kali berada di dekat Mala, pikirnya ingin protes pada Maxime saat itu juga.

"Hem ...." gumam Dewa tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana setiap pertanyaan yang diajukan Maxime padanya.

"Kamu tahu, kan, kalau Daddy dititipkan orang tua Mala untuk menjaga putrinya, bukan merusaknya?"

Siapa juga yang berniat merusak Mala, batin Dewa. Dia justru ingin menjaga Mala, pikirnya. Hanya sedikit bermain-main, tidak akan melewati batas walau kadang kewalahan juga.

"Iya, Daddy," jawab Dewa tidak punya kekuatan untuk membantah.

"Awas ya, kalau sampai kamu ketahuan cium Mala lagi. Daddy nggak segan kirim kamu ke luar negeri untuk kerja di perusahaan Daddy di sana!"

"Jangan, Dad! Dewa janji nggak akan cium Mala," ucapnya pelan.

Janji nggak satu kali maksudnya. Dewa, Dewa, mustahil dia bisa menghindari bibir manis Mala.

Terpopuler

Comments

Rara

Rara

ceweknya gatel amad ya.

2022-08-29

0

Nasira✰͜͡ᴠ᭄

Nasira✰͜͡ᴠ᭄

lama" nga bisa tahan 😅

2022-07-24

0

ririwa

ririwa

semangat

2022-07-19

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!