“Semenjak kecelakaan itu, Papa sering mengeluh dadanya sakit,” tutur Alexa pada Kirana.
“Apa?” Kirana terperangah.
Pikirannya langsung tertuju pada pria yang menyuruh Max untuk merusak rem mobil Balin. Pasti dialah penyebab sang ayah mengalami kecelakaan.
Sialnya tadi Kirana kehilangan jejak pria itu.
“Nakula, tolong ambilkan obat di tas Papa!” perintah Alexa yang terlihat tetap tenang meski terlihat tanganya gemetar.
“Maksudnya, obat yang tadi dibelikan oleh sekretaris baru Papa, bukan?” tanya Nakula mengerutkan dahi.
“Iya, Nakula. Cepat!” ucap Alexa tak sabar.
Tunggu! Papa punya sekretaris baru? Kenapa Papa percaya begitu saja pada karyawan baru untuk membelikan obat?
Pria yang menjadi bosnya Max itu bilang kalau ada mata-mata di Irawan Group kan? Bagaimana kalau mata-mata itu adalah sekretaris baru Papa?
Sederet pertanyaan muncul di benak Kirana. Lalu manik mata Kirana menangka botol obat yang ada di genggaman Nakula.
Bagaimana kalau obat itu beracun? Atau telah dicampur zat berbahaya? Curiga memang tidak boleh, tapi waspada perlu, kan?
Secepat kilat tangan Kirana menepis lengan Nakula, sehingga botol yang hendak diserahkan pada Balin terjatuh ke lantai dan menumpahkan isinya.
Semua orang terheran akan sikap Kirana.
Namun Kirana hanya mengaku tidak sengaja, dan Alexa pun tak ingin memperpanjang masalah.
Dia segera mengambil obat yang sama di kamarnya, hanya saja botol obat yang ini isinya hampir habis.
Setelah minum obat, pelan-pelan Balin tampak relaks. Begitu pula semua orang yang ada di ruangan itu.
Termasuk Kirana yang memandang wajah Balin, dia berniat untuk tidak memberitahu perkara orang yang ingin mencelakai ayah tercintanya.
Genggaman tangan Kirana kuat selaras dengan tekad untuk melindungi keluarganya yang semakin bulat. Tanpa sadar, netranya sudah berembun.
“Kenapa Papa kembali bekerja jika Papa masih sakit?” tanya Kirana bersimpuh di depan lutut Balin.
“Kamu tentu tahu sendiri jawabannya, Kirana. Siapa yang akan mengurus perusahaan jika Papa tidur di brankar rumah sakit?”
Mendengar itu, Kirana hanya tersenyum kecut. Kirana tahu Papanya ingin dia mengurus perusahaan yang diwariskan dari Kakek Indra Irawan, ayah dari pihak ibu kandung Kirana.
Namun, Kirana lebih bangga mendirikan perusahaannya sendiri. Dia sama sekali tidak keberatan jika Nakula atau Sadewa menggantikan posisi Balin sebagai CEO Irawan Group.
“Aku ingin secepatnya Papa menjalani pengobatan di luar negeri oleh dokter spesialis jantung terbaik. Urusan perusahaan Irawan group biar aku saja yang urus,” kata Kirana lembut.
“Benarkah?” tanya Balin yang tampak tidak percaya. Dia melirik Alexa yang sama tak percayanya.
Kirana mengangguk mantap.
“Akan aku urus tempat tinggal dan rumah sakit selama Papa di luar negeri. Mama juga harus ikut menemani Papa sampai Papa sembuh.”
“Kirana, kamu yakin bisa mengurus dua perusahaan sekaligus?” tanya Alexa menautkan alis.
Kirana menyeringai dan melirik ke arah si kembar.
“Tentu saja aku butuh bantuan Nakula dan Sadewa.”
“HAH?” si kembar terperangah bersamaan.
Melihat senyum penuh arti yang mengembang di bibir Kirana, si kembar tahu kalau Kakaknya itu memiliki rencana yang akan memberatkan mereka.
***
Dan hari di mana Balin akan menjalani pengobatan di luar negeri pun tiba.
Pagi buta, Balin dan Alexa bersiap menuju bandara. Di halaman rumah besar itu, mereka berdua mengobrol sejenak dengan Kirana sebelum pergi.
Tampak Juan yang memastikan semua barang bawaan tuannya telah masuk ke dalam bagasi mobil.
Nakula dan Sadewa masih di dalam kamar. Masih menyelam di alam mimpi mereka masing-masing.
“Maaf aku tidak bisa mengantar Papa dan Mama ke bandara.”
“Tidak masalah, Kirana. Lagian hari ini hari pertama kamu bekerja di Irawan Group. Pasti akan sangat melelahkan,” ucap Alexa yang langsung memeluk tubuh Kirana.
Balin menepuk bahu Kirana dan mengulum senyum padanya.
“Pa, ada yang aku ingin tanyakan,” kata Kirana sedikit bimbang.
“Tanyakan saja.”
“Apa Papa selama ini punya musuh?”
“Musuh?” ulang Balin sambil menaikan alis. Sekilas tatapannya beradu dengan Alexa.
“Iya. Mungkinkah Papa pernah memecat seseorang atau tanpa sengaja melakukan kesalahan pada orang lain?”
“Tidak,” sahut Balin.
Sekali lagi Balin menepuk bahu Kirana, dan hendak masuk ke dalam mobil, tapi langkahnya terhenti.
“Papa merasa tidak punya musuh. Musuh Papa sudah lama mati.”
Lalu Balin masuk ke dalam mobil yang melaju meninggalkan rumah besar.
Meninggalkan Kirana yang masih berdiri diam mematung, menatap mobil yang perlahan mulai menjauh. Benaknya tengah berpikir, sekiranya siapa yang ingin ayahnya celaka.
Papa tidak menyadari ada seorang pengkhianat bekerja di Irawan Group, dan akan lebih baik jika Papa tidak perlu tahu. Akan aku selidiki sendiri, Pa. Ucap Kirana dalam hati.
Kemudian Kirana masuk ke dalam kamarnya. Mandi di bawah guyuran air shower hangat.
Setelah itu, masih menggunakan handuk kimono, dia duduk di meja rias. Memandangi wajahnya yang polos tanpa make up.
Dengan gerakan yang cepat, tangan Kirana mengambil gunting di laci dan…
Srek.
Kirana menggunting rambutnya yang basah. Beberapa helaian rambutnya jatuh ke bawah meja rias. Dia terus menggunting rambut hingga panjangnya kini hanya sebahu.
Setelah rambut, Kirana sengaja memakai bedak yang memiliki warna agak gelap dari warna kulit aslinya.
Tujuannya agar wajah Kirana terlihat kusam. Dan hanya itu saja riasannya hari ini. Tidak ada polesan lipstik, eyeshadow, apalagi alis yang cetar membahana.
Beberapa menit berlalu, kini Kirana telah siap untuk bekerja di perusahaan warisan kakeknya itu. Sekali lagi Kirana memandangi bayangan gadis yang terpantul di cermin.
Dengan penampilannya saat ini, pasti semua orang tidak akan mengira jika dia adalah putri dari keluarga Mahendra.
Terlebih sang ayah tak pernah memperkenalkan Kirana ke media atau karyawan Irawan Group.
Lalu Kirana melangkah turun untuk menemui adik kembarnya di ruang makan.
“Good morning, Boys,” sapa Kirana.
Nakula yang belum mandi dengan rambut acak-acakan menjatuhkan sandwich yang hendak dia lahap. Melotot tak percaya melihat penampilan kakaknya.
Sedangkan Sadewa telah rapi memakai jas kantor, menengok ke arah pandang Nakula.
Sontak Sadewa langsung tersedak karena saat melirik Kirana, dia tengah menyeruput kopi. Bahkan cipratan kopi panas itu tumpah ke pakaiannya.
“Kak Kira?” ucap si kembar kompak.
“Kak Kira, mau kerja atau mengemis di pinggir jalan?” tanya Nakula yang masih terperangah.
Kirana berdecak kesal.
“Tentu saja kerja.”
“Tapi kenapa dandanan Kak Kira seperti itu?” Sadewa meneliti kembali penampilan Kirana sambil tangannya sibuk mengelap tumpahan kopi.
Kirana tidak menyahut. Dia duduk di kursi yang biasa ditempati oleh Balin, yaitu di ujung meja. Lalu mengambil sepotong buah apel, dan memakannya.
“Hari ini hari pertama kita bekerja. Sadewa, kau bekerja di perusahaan cabang Red Riding Hood. Akan ada Sunny yang menjadi partner kerjamu,” perintah Kirana menunjuk salah satu dari si kembar.
“Aku Nakula, Kak.”
“Oke, maaf.”
“Hehe. Bercanda. Aku Sadewa kok.”
Kirana menggeram kesal. Namun sejenak dia bisa kembali mengontrol emosinya.
“Dan kau, Nakula. Akan bekerja di Irawan Group bersamaku. Tapi kau yang jadi CEO menggantikan Papa untuk sementara waktu.”
“A-Apa?” kali ini Nakula yang tersedak.
Dia menyambar segelas air putih dan meneguknya.
“Kalau aku CEO. Posisi kakak apa?”
Kirana menggigit lagi apelnya, tersenyum dan menjawab, “Office Girl.”
“What?!” si kembar bersamaan.
Kirana sudah memikirkan rencananya dengan matang.
Dan menurutnya menyamar menjadi office girl adalah posisi di mana dia bisa memantau gerak-gerik semua karyawan tanpa mereka sadari bahwa dirinya adalah anak pemilik perusahaan.
“Dan jangan panggil aku Kirana, tapi panggil aku Raya!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
evi carolin
oke kita mulai Raya...💪
2025-01-18
0
Anonymous
sepertinya seru niyyy/Grin/
2025-01-17
0
Sweet Girl
Raya si Office Girl.
2025-01-10
0