Wasiat Paman

" Paman." Tias bergumam lirih dan tangannya terulur mengusap foto itu. Betapa dirinya sangat merindukan sosok tegap dan juga tegas di dalam foto itu.

" Tias kenapa lama sekal..." Ruwi langsung menutup mulutnya rapat saat melihat cucunya tengah memandangi foto di atas kulkas. Ia menjadi merasa bersalah karena tidak sempat memindahkan foto itu sebelumnya. Ruwi berjalan mendekati Tias lalu mengusap kedua bahunya.

" Dia sudah tenang di sana Tias. Jangan tangisi pamanmu tadi doakan dia supaya dia bahagia di sana."

Tias menahan air matanya yang hampir jatuh. Neneknya benar Tias seharusnya tidak menangis seperti ini. Tapi kenapa rasanya sulit sekali menahan perasaan dihatinya.

" Tias kangen paman nek. Tias pengen peluk paman."

Ruwi membalikkan tubuh Tias lalu memeluknya. " Kita bisa datang ke makamnya sayang. Jangan menangis karena pamanmu nggak suka kalau keponakannya ini nangis."

" Tias nggak nangis nek, Tias nggak nangis. " ucapnya namun nyatanya air matanya terus keluar tanpa terdengar suara isakkan tangis.

Ruwi mengusap rambut cucunya dan membisikkan kata kata penenang. " Tias hebat bukan ? Tias anak yang pintar, jangan buat paman kamu kecewa karena melihat kamu lemah Tias. Paman pasti merasa usahanya mendidik kamu dulu itu sia sia."

Mendengar itu Tias terpaksa mengusap air matanya. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak jatuh lagi. Yang terbaik sekarang Tias harus bisa mengikhlaskan kepergian pamannya dan berusaha hidup tenang bersama neneknya. Tuhan sudah menunjukkan jalan hingga ia bisa sampai ke sini. Tias tidak ingin menyia nyiakan itu hanya karena sebuah kenangan.

Bukan berarti Tias akan membuang kenangan itu. Tetapi Tias akan menyimpannya rapat sebagai album masa lalunya yang penuh cerita.

Ruwi melepaskan pelukannya lalu menggenggam lembut tangan Tias. " Oh iya nenek hampir lupa tentang wasiat paman kamu."

" Wasiat paman ?"

" Iya, ayo ikut nenek."

Tias berjalan mengikuti neneknya ke kamar. Setelah sampai Ruwi melepaskan genggaman tangannya lalu mendekati lemari pakaiannya untuk mengambil sesuatu yang ternyata tiga buah map.

" Ini." Ruwi memberikan ketiga map itu pada Tias.

Tias membaca ketiga map itu satu persatu. Karena itu juga membuatnya menatap tak percaya dengan jantung berdetak kencang. Tias memandang neneknya meminta penjelasan.

" Itu semua usaha yang paman kamu kumpulkan dari gajihnya. Dimulai dari rumah ini dan cafe itu lalu perkebunan semuanya menjadi milik kamu sekarang. Paman kamu berpesan agar orang tua kamu nggak tahu hal tentang ini. Ini semua sebagai bentuk permintaan maafnya karena disaat kamu membutuhkan paman kamu dia tidak ada karena tugasnya untuk negara. Meski caranya mungkin agak aneh tapi inilah pesan terakhirnya."

Tias mengeratkan pegangannya pada map di tangannya dengan mata menahan tangis. " Paman nggak salah, Tias yang malah banyak salah sama paman. Disaat terakhirnya Tias bahkan nggak ada disisinya untuk yang terakhir kalinya."

Ruwi menggenggam tangan Tias. " Kita Tias bukan kamu aja. Nenek juga nggak ada disaat terakhirnya hidup. Tapi nenek bangga karena paman kamu pergi karena negaranya."

" Paman memang prajurit negara yang hebat dan pahlawan untuk kita nek." Tias bersandar di bahu neneknya.

" Sekarang Tias mau bagaimana ? Nenek udah nggak ada orang yang bisa nenek andalkan selain kamu. Tapi nenek juga nggak mau kamu terkurung di kampung seperti ini yang jauh berbeda dengan kota Jakarta." ucap Ruwi.

Tias mengubah posisi menjadi tiduran dengan kepala di atas paha neneknya. " Apapun itu Tias mau di sini aja bareng nenek. Tias mau jadi gadis kaya raya di kampung dan berbisnis sampai bisa mengalahkan Gunawan jelek itu."

" Hus ! Jangan kayak gitu, dia itu papa kamu." Ruwi menyentil pelan dahi Tias lalu mengusap lembut rambutnya.

" Masa iya ? Kok Tias tiba tiba amnesia ya ?" Tias pura pura menatap neneknya bingung.

Ruwi menggelengkan kepala. " Jangan mengulah, nenek tahu kamu itu cuma pura pura."

Tias cemberut mendengarnya. Neneknya tidak bisa diajak bekerja sama ternyata. " Udah ah nek jangan ngomongin dia. Tias kesel kan jadinya."

" Astaga Tias dia itu papa kamu. Kamu harus sopan dong. Nggak boleh kayak gitu."

Tias hanya menganggapnya angin lalu saja. Ia malah memejamkan matanya sambil memeluk perut neneknya. Sejak Tias keluar dari rumah itu ia sudah menganggap dirinya bukan lagi bagian dari mereka. Meskipun darah tidak bisa terputus ataupun dihilangkan. Tetapi hubungan bisa melakukannya.

Tias akan membuktikan kepada papanya bahwa ia bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Tias bisa sukses tanpa bantuan ataupun nama besar papanya. Siap siap saja beberapa tahun lagi Tias akan berdiri di samping jajaran para pembisnis muda.

" Tias udah ngantuk ?" tanya Ruwi yang melihat cucunya dari tadi hanya diam saja.

" Nggak, Tias cuma lagi mikirin kegiatan apa yang harus Tias lakuin besok. Secara tadinya kan Tias mau kerja sambil kuliah buat biaya. Nah, karena sekarang Tias udah jadi gadis muda kaya raya berkat warisan dan wasiat dari paman. Jadilah Tias cuma mau jadi pengangguran yang hanya duduk sambil ngitungin uang." Tias berucap panjang lebar.

Tangan Ruwi masih mengusap lembut rambut Tias. Namun berhenti sejenak untuk mencubis gemas hidung mancung cucunya. " Sok banget kamu, kalau kamu cuma mau duduk aja bisa bisa perkemunan dan Cafe nggak akan bisa maju."

" Ih.., nenek jangan ngeremehin Tias ya. Perusahaan papa bisa jadi sebesar itu karena hasil kepala Tias yang jenius. Dia mah apa cuma bisa ngambil hasilnya terus mama sama adek yang makan hasilnya. Tias cuma disuruh kerja rodi aja." tanpa sadar Tias mengadukan apa yang dialaminya hingga membuat usapan tangan Ruwi berhenti.

" Tias kita tiduran di kasur yuk. Pinggang nenek sakit karena duduk terus dari tadi."

" Ayo." Tias beranjak bangun dan berjalan ke tempat tidur neneknya.

Ruwi membereskan tiga map penting yang ditinggalkan cucunya begitu saja. Untuk sementara biar ia yang akan menyimpan map ini. Nanti kalau kamar Tias sudah dibersihkan baru map map ini Ruwi simpan di sana.

" Besok kamu mau nggak ke pasar ? Biar sekalian ngeliat keadaan kampung."

" Pakai apa nek ke sananya ?" bukannya menjawab Tias malah balik bertanya.

" Jalan kaki."

Mendengar itu Tias langsung mengelengkan kepalanya. " Nggak mau kalau jalan kaki nanti nenek kecapekan gara gara itu. Tias nggak mau nenek sakit habis dari pasar."

" Gimana kalau sepeda ? Nenek punya di gudang. Cuma itu sih yang bisa dipakai, nanti kalau kamu mau beli motor nenek punya tabungan yang bisa kamu pakai."

" Tias juga punya nek. Ya udah besok kita ke pasar naik sepeda aja." ucap Tias menyetujui, lumayan kan besok ia bisa jalan jalan.

Terpopuler

Comments

🍓🍓🍓

🍓🍓🍓

jangan heran kalo ada orang tua yg model begitu 🤣 masih untung di beda2in sama adek sendiri la aq di bedain sama keponakan coba 🤣 capek2 banting tulang krj dari jaman bau kencur giliran dapet hasil di kakahin ortu buat ngidupin ponakanya dan musuhin anak sendiri🤣

2023-02-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!