Pantas saja ! ucap Tias membatin.
Benar dugaannya kalau neneknya sudah mengenal lama Rahmat dan teman temannya. Ternyata mereka itu murid murid neneknya.
" Nenek masih ngajar ?" tanya Tias.
" Nggaklah, nenek kan udah pensiun. Tapi jiwa mengajar nenek yang nggak mau pensiun." jawab Ruwi.
" Sekarang ?" Tias bertanya lagi.
" Alhamdulillah masih."
Tias berdecak pelan, kalau sudah begini alamat ia harus memasang wajah ramah. Hidup di kampung dan di kota itu beda. Kalau di kota Tias bebas mau berekspresi sesuka hati. Tapi kalau di kampung ia harus bisa baik baik mendekatkan diri karena di sini nama baik sangat dijaga. Itu kata temannya saat ia masih tinggal di Jakarta.
" Tias jadi gimana kuliahnya kalau tinggal di sini ?" tanya Doni.
Tias berpikir untuk beberapa saat sebelum menjawab. " Aku pindah Universitas ke UIR."
" Bakalan satu kampus dong kita ? Asik.., satu tempat bareng calon !" Rahmat bersorak senang.
" Mana satu jurusan lagi." lanjutnya.
" Si Rahmat senengnya kayak dapet apa aja. Ya kalau Tias mau samamu kalau nggak ?" Rendi berucap sinis, sebenarnya ia iri karena meski dirinya satu kampus tetapi Tias beda jurusan dengannya.
" Ojo meri kowe !" balas Rahmat dengan bahasa jawanya.
Tias tertawa mendengar Rahmat yang berbicara memakai bahasa jawa. Seumur umur baru kali ini ia mendengar secara langsung orang berbicara bahasa sukunya sendiri seperti Rahmat.
" Rahmat jurusan bisnis juga ?" tanyanya.
Rahmat mengangguk antuasias. " Iya, bukan cuma aku aja sih. Di sini kecuali Rendi dan Hilman semuanya masuk bisnis."
" Woah asik dong ? Aku bakalan nggak kebingungan kalau ingin tanya sesuatu nanti." Tias tersenyum senang mendengarnya. Setidaknya ditempat baru ia bisa memiliki orang yang dikenalnya.
" Pokoknya Tias nanti jangan bingung. Kami bakalan jagain Tias di sana." ucap Doni.
" Terima kasih niatnya kalian baik." balas Tias.
" Iyalah siapa dulu gurunya." gurau Ruwi yang langsung menarik tawa dari orang orang di ruang tamu kecuali Tias.
Niat Tias tadi ingin menjaga image sebagai gadis kalem dan lemah lembut. Ini malah neneknya pula yang malu maluin dengan tingkah percaya dirinya yang tinggi.
" Jangan cemberut gitu dong Yas. Harusnya kamu itu ikut ketawa juga biar wajahnya lentur nggak kaku." ucap Ruwi.
Bukannya tertawa wajah Tias semakin cemberut. " Nenek percaya diri kali sampai nggak inget umur."
" Kalau umur diingat bisa bisa nenek cepat tua dan keriput Tias." Nenek Ruwi menatap Tias dengan pandangan geli. Cucunya menggemaskan sekali kalau sedang cemberut begitu.
DUG ! DUG ! DUG !
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar !.
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar !.
.
" Astaga udah adzan." Rahmat terdiam sejenak lalu beranjak berdiri. " Man teman ayo kita ibadah !" lanjutnya berucap sambil memakai lobe pecinya.
" Ayolah, udah dipanggil kita tuh lewat adzan." ujar Rendi yang disetujui teman temannya.
Diam diam Tias menghela napas lega. Akhirnya ia bisa makan ! Tias melihat neneknya yang dengan sabar menyalami Rahmat dan teman temannya.
" Tias besok kami ajak keliling kampung mau ?" tanya Rahmat.
Tias tersenyum dan mengangguk sekilas. " Mau."
" Besok pagi Tias kami jemput sekalian lari pagi." ucap Rahmat.
Tias memberi jempol sebagai tanda setuju sambil tersenyum manis andalannya.
" Kalau begitu kami pamit dulu Assalammualaikum." ucap Hilman yang membuat Tias terdiam untuk beberapa saat.
Setelah lama mereka berkumpul di rumah neneknya. Hilman hanya dua kali mengeluarkan suaranya. Pertama saat berkenalan dengannya dan kedua sekarang ini. Benar benar tipe cowok irit kata dia itu.
" Wa'alaikum salam." balas Ruwi.
Tias membalas salam itu dari dalam hati. Setelah melihat mereka keluar dari pagar Tias mendudukkan dirinya ke lantai.
" Astaga Tias ! Kamu kenapa ?" Ruwi segera membantu cucunya berdiri dan menuntunnya duduk di sofa.
" Nek." Tias memanggil dengan suara lemasnya. Karena tenaganya sudah ia habiskan untuk beramah tamah pada ketujuh pemuda itu.
Ruwi memandang cucunya khawatir. Padahal tadi dia baik baik saja. " Ada apa Tias ? Apa kamu sakit ?"
Tias menggelengkan kepalanya pelan.
" Terus kenapa ?!" tanpa sadar Ruwi sedikit meninggikan suaranya karena
merasa semakin khawatir.
" Laper nek, Tias kan dari tadi belum makan." jawab Tias dengan tubuh lemas.
Ruwi menepuk jidatnya saat mengingat kalau cucunya itu ternyata belum ia beri makan sejak datang tadi. Tanpa berbicara Ruwi berjalan ke dapur mengambilkan makan untuk Tias dan membuatkannya segelas susu hangat.
Tias menyandarkan tubuhnya di sofa. Menunggu neneknya memberinya makan. Sebenarnya Tias ingin berteriak memberitahu neneknya agar mengambilkannya banyak makanan. Tetapi tenaganya sudah tidak ada lagi.
" Sini makan dulu, nenek suapin. Oh iya, minum dulu susu hangatnya biar enggak lemes."
Tias mengikuti perintah neneknya. Lalu membuka mulut menerima suapan demi suapan yang neneknya berikan.
" Kamu emangnya nggak makan pas di jalan tadi ?" tanya Ruwi.
Tias menggelengkan kepalanya.
" Kenapa ?"
Tias mengunyah lebih dulu makanannya sebelum menjawab. " Tias nggak punya uang."
Seketika Ruwi terdiam mendengar itu. Pikiran buruk satu persatu muncul di kepalanya tentang anak dan menantunya. Ruwi tahu betul sifat dan sikap mereka kalau berhubungan dengan Tias.
" Nek mau nambah lagi." pinta Tias setelah menghabiskan satu piring nasi dengan sayur kangkung dan tempe bacem serta sambal tomat buatan neneknya.
Ruwi tersenyum dan mengusap kepala Tias. " Nenek ambilkan lagi ya."
" Iya." sekarang barulah Tias bisa bersuara seperti biasanya. Tenaganya sudah terisi setengah setelah makan. Memang benar kata orang kalau nasi itu bisa buat orang semakin bertenaga.
" Nah ini dia, Tias mau disuapin lagi ?"
" Iya."
Ruwi mencubit pelan pucuk hidung cucunya yang mancung karena merasa gemas. " Kamu kalau manja gini gemesin banget."
Tias tertawa lalu membuka mulutnya menunggu suapan dari neneknya.
" Tias laper banget ya ?"
" Setengah doyan sih nek." jawab Tias dengan gurauannya.
Ruwi tertawa mendengarnya. Yah memang lapar dan doyan hampir sama saja. Tapi dari mana cucunya itu tahu kata itu. " Kamu itu bisa aja."
" Nenek punya buah nggak ?"
" Punya di kulkas, untuk apa ?" tanya Ruwi setelah menjawab.
" Buat cuci mulut biar seger."
" Biar nenek ambilkan ya ?"
" Nggak Tias ambil sendiri aja. Di dapur kan nek kulkasnya ?" Tias mengambil piring bekas makan dan juga gelas susunya.
" Iya."
Tias berjalan ke dapur lalu meletakkan piring dan gelas kotornya di tempat cucian piring. Kemudian Tias memandang setiap sudut dapur mencari tempat kulkas berada.
Tepat sebelah meja kompor Tias menemukan kulkas yang diinginkannya. Namun tanpa sengaja pandangannya melihat sebuah foto berbingkai di atas kulkas. Tias mendekati kulkas untuk melihat gambar di foto itu dengan lebih jelas lagi.
Sedetik kemudian matanya menjadi berkaca kaca menatap foto itu. Dengan tangan gemetar Tias mengusap gambar itu melalui bingkai fotonya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments