Setelah mandi kilat Tias keluar dari kamar neneknya menemui para pemuda yang sudah membantunya. Jujur saja Tias tadi sempat merasa takut mereka akan berbuat jahat kepadanya. Namun setelah sampai di rumah neneknya Tias merasa sangat lega. Mereka bahkan menungguinya sampai pintu rumah neneknya terbuka.
Kalau dilihat lihat lagi mereka sepertinya sangat dekat dengan neneknya. Seakan mereka sudah kenal sejak lama. Tidak heran sih, neneknya kan guru ngaji di kampung ini. Pasti banyak pemuda pemudi di sini yang mengenal neneknya.
Ngomong ngomong tentang guru ngaji. Tias melihat cara berpakaiannya yang telah berubah. Tidak ada jilbab dan pakaian tertutupnya lagi seperti saat kecilnya dulu. Meskipun pakaiannya sekarang tidak bisa dikatakan terbuka. Tetapi cara berpakaiannya saat ini tidak mencerminkan cucu seorang guru ngaji yang terkenal di kampung.
Tias menggigit bibir bawahnya memikirkan apakah ia harus merubah cara berpakaiannya seperti dulu lagi atau tidak. Tapi..., Tias ingin berjilbab kembali karena niatnya untuk Allah. Bukan karena merasa malu ataupun untuk dipandang baik oleh orang lain.
Mungkin untuk sekarang biarkan saja penampilannya seperti ini asalkan itu tidak terlalu terbuka. Lagi pula Tias tidak pernah memakai pakaian lebih dari di atas lutut atau pakaian yang menampakkan bahu dan punggungnya. Bahkan sekarang Tias hanya memakai kaos lengan panjang hitam yang digulung sampai ke siku dengan celana panjang training abu abu. Lihatkan, pakaian yang dipakainya saat ini tidak terbuka. Malah sekarang terlihat seperti gembel menurutnya.
Tias menghentikan langkah dan melihat ke ruang tamu dimana tujuh pemuda sedang tertawa bersama neneknya. Apa ia harus memasang wajah ramah kepada para pemuda yang menolongnya itu. Atau mengucapkan kata kata manis sambil sok akrab dengan mereka ?.
Kenapa jadinya ia bingung sendiri ? Tias tidak bisa memperlihatkan sifat aslinya di sini. Karena hanya tempat ini tempat terakhirnya pulang.
" Tias ngapain kamu berdiri di situ terus ? Ayo sini gabung biar nenek kenalkan kamu sama pemuda pemuda ini." Ruwi yang melihat cucunya hanya berdiri diam menjadi melambaikan tangannya. Mengajak Tias bergabung dan berbicara di ruang tamu bersamanya.
Melihat itu Tias berusaha tersenyum lalu berjalan mendekat. Padahal perutnya sudah sangat lapar tapi neneknya malah menyuruhnya untuk bergabung. Kalau begini ceritanya kapan Tias makan. Ia sudah sangat lapar sampai rasanya perutnya bisa dimasukkan lima piring nasi sekaligus.
" Nah, ini cucu nenek namanya Tias. Kalian sudah kenal belum ?" tanya Ruwi pada para pemuda yang sudah membantu cucunya.
" Sudah nek tapi kalau dekat belum." jawab Ilham.
Ruwi tersenyum mendengarnya. " Kalian kalau lihat yang bening maunya modus terus ya."
" Itu wajar nek, namanya usaha sama calon." celetuk Rahmat.
" Calon apa nih ? Calon itukan banyak artinya." Ruwi menatap geli ketujuh pemuda di depannya. Lalu mengedipkan sebelah matanya menggoda Tias yang masih terus diam menyimak. Ada rasa salut saat melihat cucunya yang tidak tersipu malu khas gadis perawan bila berhadapan dengan banyak para pemuda yang menggodanya.
" Bismillah calon jodoh nek." jawab Rendi yang langsung mendapatkan sorakan dari teman temannya.
" Si Rendi kalau ngomong kayak udah bisa aja. Padahal makan aja masih numpang orang tua." ucap Doni.
Rendi meraup wajah Doni dengan telapak tangannya. " Kalau ngomong asal keluar."
Tias yang memperhatikan sejak tadi pura pura ikut tertawa. Meski pelan tapi setidaknya ia bisa terlihat ikut masuk ke dalam suasana ini.
" Nah, Tias lihat itu. Udah banyak yang daftar jadi calon." ucap Ruwi dengan nada meledek
Tias yang masih terlihat biasa saja.
Tias hanya mengangguk sekilas dan tersenyum menatap Rendi dan teman temannya. " Insya allah ya, berdoa aja."
Jawabannya itu tentu mendapatkan banyak sorakan bahagia. Mereka bahkan ada yang merapikan penampilan dan tersenyum menatapnya. Dalam hati Tias tertawa geli melihatnya. Ternyata pemuda kampung lucu juga kalau dilihat lihat lagi. Mereka ramah dan tidak merasa canggung serta apa adanya.
" Tias bisa tukeran nomor telpon atau WhatsApp nya nggak ?" tanya Doni tanpa malu malu.
" Oalah ! Ngelunjak koe Don Don !" Rahmat memukul punggung Rahmat.
Doni meliriknya sinis. " Iri bilang nggak usah pakai kekerasan."
Kali ini Tias benar benar tertawa. Namun di tengah tawanya ia merasa sepasang mata yang terus memandangnya sejak tadi. Tias menoleh menatap balik dan melihat siapa yang memandangnya. Alis Tias terangkat sebelah dengan pandangan bertanya saat melihat Hilman yang memandangnya tanpa bersuara.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat detik.
Lima detik.
Barulah Tias mengalihkan pandangannya lebih dulu dari Hilman. Sepertinya dari tujuh pemuda itu Hilman yang terlihat paling pendiam dan kalem.
Tias menjadi kasihan kepadanya. Apa pemuda itu tidak merasa tertekan mendapatkan teman teman yang memiliki sikap bertolak belakang dengan dia.
" Tias ini masih SMA, Mahasiswi, atau udah kerja ?" tanya Dion yang baru selesai menikmati sepiring kue.
" Aku masih mahasiswi." jawab Tias.
" Wah, iyakah ? Jurusan apa ?" tanya Rendi.
Tias mengangguk sekilas. "Jurusan bisnis."
" Waduh udah cantik pintar bisnis lagi. Sabilah jodoh idaman ini." ucap Rahmat.
" Tapi aku nggak bisa masak. Aku juga nggak bisa nimba air pakai kerekan. " balas Tias.
" Kalau itu nggak papa. Kan bisa pakai ART, Tias tenang aja yang penting Rahmat punya banyak uang." Rahmat berucap dengan percaya diri.
" Cih, banyak uang dari mana ? Banyak anak ayam iya." cibir Doni dengan pandangan siap menghujat.
" Nggak apa apalah. Anak ayam kan bisa jadi duit juga yang penting nggak minta duit orang tua." jawab Rahmat.
" Ehem ! Kalau kalian gimana ? Masih sekolah atau udah kerja ?" tanya Tias yang tidak mau mendengarkan perdebatan Doni dan Rahmat.
" Kalau kami kuliah sekaligus kerja Yas." jawab Dion.
Tias menatap Dion dan berdecak kagum. " Wah, hebat banget ! Aku jarang ngeliat cowok mau kuliah sambil kerja."
" Kalau di sini hampir rata rata kayak gitu. Kalau mau sekolah ya usaha sendiri." Dion tersenyum menatap Tias.
" Aduh.., bakalan susah ini nyaingin orang hebat kayak kalian." ucap Tias yang merasa rendah diri.
" Orang hebat dari mananya Tias ? Kami aja masih numpang orang tua." kali ini Rendi ikut berbicara.
" Bagiku orang yang bisa membagi waktu adalah orang hebat. Ya.., kayak kalian gini. Kalian bisa membagi waktu antara kerja dan juga kuliah. Itu namanya hebat, iyakan nek ?" Tias menoleh meminta pendapat pada neneknya.
Ruwi tersenyum bangga dan memberikan dua jempolnya sebagai apresiasi. " Siapa dulu dong, murid nenek !"
" Murid nenek ?" tanya Tias.
" Iya mereka itu murid nenek. Nenek juga yang ngajarin mereka baca tulis pas kecil dulu." jawab Ruwi yang membuat Tias mengerti dan tidak bingung lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments