"Masuklah, Nak." Tuan Abraham Pradipta mempersilahkan Bian masuk ke ruangan dimana dia bekerja.
Bian mematung di depan pintu masuk tak berani masuk kedalam. Pikirannya berseliweran berpikiran negatif mengenai Tuan Abraham. Dia enggan melangkah, matanya ia edarkan melihat sekitar yang serasa sepi hanya ada dia dan Tuan Abraham.
Tuan Abraham menekan sambungan telpon.
"Tolong kau bawakan pakaian ganti wanita ke ruangan saya!"
"Baik Pak, siap laksanakan."
Tuan Abraham mengernyit melihat Bian masih berada di depan pintu.
"Masuklah, Nak. Kamu bisa ganti bajumu di dalam sana." Tunjuknya ke kamar mandi.
Bian masih tak bergeming, dia malah menunduk meremas jari-jari tangannya enggan masuk. Dan, Abraham mengerti ketakutan dari wanita itu.
Dia tidak lagi memaksa Bian untuk masuk. Dia menunggu sekertaris nya membawakan pesanan dia.
"Permisi, Pak. Ini pakaian yang Anda minta," tutur sekertaris itu menyerahkan paper bag dan menyimpannya di atas meja kerja Abraham.
Wanita itu sempat melirik Bian yang sedang mematung di dekat pintu masuk. Dalam hati bertanya-tanya siapakah wanita itu?
"Cantik sekali, tapi siapa dia? tidak biasanya Bos membawa wanita?" tanyanya di dalam hati.
"Meta, kamu tunggu di sini sebelum gadis itu keluar!" Meta mengangguk mengiakan.
"Nak, gantilah pakaiannya! Saya takut kamu sakit dengan pakaian basahmu itu. Kamu tidak perlu khawatir ataupun sungkan sebab sudah ada Meta di sini."
Bian mendongak, ia malu pria itu mengetahui ketakutannya. Lalu ia berjalan perlahan mengambil paper bag yang di sodorkan Abraham.
Bian berjalan menunduk permisi kepada mereka berdua dan masuk ke dalam kamar mandi.
"Siapa dia, Pak? cantik sekali, dan terlihat sopan." tanya Meta berusia 38 tahun sekertaris Abraham memperhatikan bagaimana Bian permisi.
"Saya juga tidak tahu, dia tadi di sangka pencuri dan di kejar orang sampai masuk area proyek dan ke cebur ke dalam kubangan pasir," jawab Abraham pria berumur 48 tahun.
Tak berselang lama, Bian keluar. Tapi kali ini dia berpenampilan seperti biasanya berkulit hitam bagaikan kedelai malika. Meta terbelalak merasa heran kenapa yang keluar berbeda.
"Lho! Mana gadis cantik tadi?" Meta sampai berdiri mencarinya ke kamar mandi. "Tidak ada?!" gumamnya.
"Orang yang kamu cari ini, Met. Gadis ini memang menyembunyikan kecantikannya," ujar Abraham tersenyum geli melihat kebingungan Meta.
"Jadi..." Meta menatap Bian yang menunduk. "Mutiara yang tersembunyi," batinnya.
"Oh, iya, Silahkan duduk!" Abraham mempersilahkan Bian duduk.
"Kenapa tadi kamu lari saat di kejar orang?" tanyanya serius. Dan Meta duduk tak jauh dari Bian.
"Ta tadi saya melihat pria sedang berusaha mencongkel pintu mobil. Saya mendekatinya dan malah ketahuan orang. Jadi, saya lari karena takut di sangka pencuri, Tuan. Tapi sumpah, saya bukan pencuri." Bian berucap menunduk tak berani menatap mereka.
"Jangan laporkan saya ke polisi, Tuan. Saya tidak bersalah, saya hanya ingin mencari pekerjaan."
"Mencari pekerjaan?" Abraham mengerutkan dahinya. Dia menoleh ke Meta dan Meta mengangguk.
"Benar, Tuan. Saya tidak sengaja lewat parkiran itu." Bian menunduk meremas jari-jari tangannya. Dia gugup, takut, cemas dan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
"Berhubung kamu tidak melakukan kesalahan-kesalahan, saya mempersilahkan kamu pulang. Biar sekertaris saya yang mengantarkanmu pulang."
"Tidak usah Tuan. Saya bisa pulang sendiri."
"Tidak mengapa. Meta, kamu antarkan dia pulang sampai rumahnya!"
"Baik, pak."
"Jangan Tuan! Saya tidak mau merepotkan kalian." Bian tidak ingin mereka tahu dimana dia tinggal. Jika mereka tahu, pasti mereka akan merasa jijik dan mencemooh dirinya.
"Saya tidak suka di bantah! Meta, antar dia sekarang juga!" Abraham berkata tegas, dia tidak suka penolakan.
"Mari, Nak. Saya antar kamu pulang." Meta sudah berdiri mempersilahkan Bian berjalan duluan.
Bian mengalah tak bisa lagi menolak. Dia pasrah jika pada akhirnya mereka tahu dimana ia tinggal dan pasrah jika dirinya di benci orang.
************
"Siapa nama kamu?" tanya Meta seraya menyetir mobil.
"Bian Almeta, Tante."
"Nama yang bagus. Bian artinya tersembunyi, sedangkan Almeta merupakan mutiara. Jika di satukan, arti nama Bian Almeta adalah mutiara yang tersembunyi."
"Siapa yang memberikanmu nama?" lanjut Meta menggali informasi mengenai Bian.
"Almarhum Ayah saya." Jawab Bian dan Meta mengangguk.
"Oh, iya. Kenapa kamu menyembunyikan warna kulitmu? maaf kalau saya lancang. Saya penasaran saja sebab kamu malah menutupinya dengan warna hitam."
Bian menunduk meremas tali tas yang tersemat di pundaknya. Dia teringat ucapan Ayahnya.
"Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu yang menyembunyikan ku di balik warna ini. Aku tidak tahu alasannya apa, tapi aku yakin jika mereka ingin melindungiku dari orang-orang jahat di luaran sana," jawabnya jujur.
Meta mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Bian. Sekarang dia mengerti kenapa Bian menyembunyikan kecantikannya. Kemungkinan orang tua Bian ingin melindungi Bian dari mereka yang mata keranjang atau berebut ingin mendapatkan Bian.
"Jika saya Ibumu, saya juga pasti akan melindungi putri saya sendiri dari mereka pria yang kurang ajar. Kamu itu aslinya sangat cantik sekali, kulitmu putih seputih susu dan kemungkinan akan banyak pria yang mengejar serta berusaha keras mendapatkan mu. Dan, orangtuamu sudah melakukan yang terbaik."
Meta memberhentikan mobilnya dimana Bian tinggal. Wanita itu memperhatikan perkampungan tersebut yang merupakan tempat tinggal dimana para pendosa tinggal.
"Kamu tinggal di sini?" tanya Meta, Bian mengangguk.
"Tante, makasih sudah mengantarkan saya."
"Sama-sama," Meta tersenyum ramah.
Bianpun keluar mobil. Dan Meta memarkirkan mobilnya berputar arah. Baru saja melaju, dia malah di suguhkan dengan pemandangan dimana Bian di bentak seseorang.
"Minta uang!" pekik pamannya.
"Aku belum punya uang, Paman."
"Kau bohong! Barusan saya lihat kau diantarkan mobil mewah, pasti kau berhasil menggaet pria kaya." Sentaknya merampas tas Bian mencari sesuatu disana.
"Paman, aku beneran tidak punya uang. Bukannya hasil kerja Ibu, Paman yang ambil? lalu kemana uang itu pergi?"
"Meski Ibumu kerja tiap malam jadi seorang pela..cur, hasil kerjanya tidak mencukupi kebutuhan ku dan lama melunasi hutang-hutangnya." Pria itu menumpahkan isi tas Bian.
"Sialaan.... jadi kau tidak punya uang sama sekali? dasar miskin, anak haram, tidak berguna!" sentaknya membuang kasar tasnya Bian. Lalu, ia pergi dengan mulut mengoceh kesal.
Bian memejamkan mata, ia berjongkok mengambil tasnya, kemudian mengambil barang-barang yang ia bawa.
Meta memperhatikan dan mendengarkan keduanya. Dan ada seorang wanita menghampiri Bian.
"Bian, kau tidak apa?" Carmilla menghampiri.
"Aku tidak apa-apa, ini sudah biasa terjadi padaku, Mill." jawab Bian mendongak tersenyum.
"Pamanmu memang kurang ajar ya, bisanya cuman minta uang sama kamu atau Ibumu saja."
"Aku juga tidak mengerti, yang jelas, Paman jadi seperti itu sejak kepergian Ayah. Dia jadi semena-mena terhadap kami. Tapi mau gimana lagi, kita harus menerimanya daripada Ibuku di penjarakan."
Carmilla mengusap pundak Bian memberikan semangat untuk sahabatnya.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
💕KyNaRa❣️PUTRI💞
kasiann kamu biaannn
2022-07-30
1