Kehidupanku sebagai mahasiswa tahun pertama belum ada yang spesial. Masih sebatas mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang). Aku belum memutuskan untuk ikut UKM atau organisasi tertentu.
Awalnya aku tetarik pada kegiatan Teater Mahasiswa dan Paduan Suara Mahasiswa, namun belum ada rasa percaya diri yang cukup untuk mendaftar. Ada juga teman sekelas yang mengajak untuk bergabung di organisasi keagamaan, tetapi aku masih perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan ayah. Ditambah semester awal kuliah ternyata disibukkan dengan banyak tugas.
Hujan turun dengan sangat deras. Aku terjebak di dalam perpustakaan. Waktu sudah menunjukkan jam 7 malam, namun belum ada tanda-tanda hujan akan segera reda.
Dari perpustakaan ke kost bisa ditempuh dalam 7 menit dengan berjalan kaki. Hanya saja, secepat apa pun aku lari, badanku akan tetap basah. Hah, tak ada satu pun juga mahasiswa yang terlihat pulang dengan payung searah kostku.
Setelah 10 menit berlalu dari pukul 19.00, intensitas hujan mulai berkurang. Badanku akan tetap basah jika menerobos sekawanan air tesebut, tetapi setidaknya tidak akan menjadi kuyup. Aku pun memutuskan untuk pulang.
Suasana kampus terasa begitu suram. Tak terlihat aktivitas mahasiswa di depan fakultas yang aku lalui. Mungkin karena efek hujan dan langit yang gelap.
Aku berusaha fokus dengan langkahku. Akan tetapi, mataku bergerak ke arah gedung fakultas yang di sampingnya dihiasi pohon-pohon rindang. Tempat tersebut jika siang hari jadi favorit mahasiswa untuk beraktivitas di luar kelas. Biasanya dipanggil dengan sebutan DPR (Di bawah Pohon Rindang).
Aku arahkan pandanganku ke depan DPR, aku lihat ada seseoraang yang berjalan dengan santai di bawah guyuran hujan. Ya, mataku tertuju ke tempat tersebut karena mendeteksi ada gerakan.
Aku pun menghentikan langkah, kemudian memperhatikan orang tersebut. Pria dengan tas ransel hitam, kemeja flanel kotak-kotak bernada gelap, mengenakan celana hitam panjang, dan juga sneaker hitam. Tampilannya seperti mahasiwa. Tetapi kenapa ia seperti tidak merasakan kebasahan?!
Aku sempat berpikir mungkin orang itu tengah melepaskan beban bersama air hujan yang mengalir dari langit ke tanah. Namun, setelah kuperhatikan lagi posturnya. Sepertinya aku kenal dia.
Dalam jarak sekitar 15 meter, aku memanggilnya. “Mas Bimo!”
Dia pun menoleh, tetapi hanya sepersekian detik. Kemudian, ia melanjutkan langkahnya kembali.
Aku masih penasaran. “Mas Bimo mau ke mana?”
Jika dia ingin pulang, harusnya dia berjalan searah denganku. Dia justru berjalan berlawanan arah. Aneh! Ketika aku berteriak menanyakan tujuannya pun, dia juga tak menjawab. Sejak kapan Mas Bimo menjadi tidak ramah? Ada hal yang terasa amat ganjil.
Hujan kembali deras. Pakaianku sudah menyatu dengan air. Aku kembali berlari. Tinggal melewati gerbang belakang kampus, setelah itu sampai di kost.
Setiba di kost, aku buru-buru menuju kamar dan mengeluarkan barang-barang berharga di dalam tas seperti buku-buku dan ponsel. Sebagian buku basah, untungnya ponselku masih aman.
Aku ambil handuk, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Setelah kehujanan, terus mandi, lalu merebahkan diri di kasur, itu nikmatnya tiada tara. Sudah terancang di otakku untuk merasakan kenikmatan tersebut.
Sayangnya, aku masih harus menunggu sesaat karena kamar mandi di atas dua-duanya terisi. Terdengar ada orang yang sedang mandi. Lantas aku langsung menuju kamar mandi di bawah. Ternyata, sama. Pintunya tertutup dan ada suara guyuran air. Selama nge-kost, itu pertama kalinya merasakan semua kamar mandi terisi penuh di saat bersamaan.
Aku kembali ke kamar mandi di atas, dan menunggu di samping pintu. Lagi pula, pria mandi rata-rata tidak lebih dari 15 menit.
Aku mulai kedinginan. Sepertinya sudah lebih dari 15 menit aku menunggu. Sesekali aku juga mengintip dari balik tangga, berharap di kamar mandi bawah ada yang keluar. Aku mau mengetuk pintu dan meminta orang yang di dalam kamar mandi supaya mempercepat aktivitasnya, tetapi ada perasaan segan.
Kemudian, terdengar suara langkah kaki menaiki anak tangga.
“Mau mandi, Ya?”
“Iya, Mas. Tapi semua kamar mandi penuh.”
“Penuh apaan? Di kamar mandi bawah kosong kok. Nggak ada siapa-siapa.”
“Hah?” Aku sangat terkejut mendengar penjelasan Mas Bimo. “Terus ini siapa yang mandi?” Aku menunjuk ke arah dua kamar mandi di atas. Apa Mas Bimo tidak melihat pintunya tertutup?
“Anak-anak lagi di kamar aku main PS (play station),” terang Mas Bimo. “Ini aku mau ke kamar kamu. Mau numpang ngetik, soalnya di kamarku lagi rame.”
Aku masih tertegun. Tadi jelas terdengar suara air yang diambil dengan gayung, lalu disiramkan ke badan, layaknya orang sedang mandi. Itu terjadi di semua kamar mandi kost. Tapi sudahlah, aku hanya bisa menarik nafas panjang.
“Oh iya, Mas. Masuk aja! Aku mau mandi dulu ya,” ucapku yang masih heran.
“Siap, Ya!”
Apa aku dijahili oleh mereka? Sial! Aku langsung membuka satu per satu pintu kamar mandi di hadapanku.
Blasss!!! Memang tidak ada siapa pun di dalamnya. Lantai kamar mandi keduanya pun kering. Padahal sangat jelas terdengar air berjatuhan di lantai.
Aku menuju kamar mandi bawah. Pintunya masih tertutup, tetapi aku mencoba mendorongnya. Terbuka, tidak terkunci sama sekali. Seperti kata Mas Bimo, tidak ada siapa pun di dalamnya. Lantainya juga kering sama dengan kamar mandi yang di atas.
Di tempat kost-ku ada kesepakatan tidak tertulis. Jika kamar mandi tidak digunakan, maka pintunya harus dibuka.
Saat mandi, aku terus berpikir. Apakah tadi aku salah dengar? Tapi semua pintu kamar mandi tertutup rapat. Atau jangan-jangan suara orang mandi itu sebenarnya suara hujan atau suara air yang mengalir dari parit? Tidak, suara yang aku dengar jelas suara orang yang tengah mandi.
Namun jika itu ulah mereka, kenapa aku tidak merasakan aura mereka yang menjahiliku? Hem, alasanku menolak untuk mengklaim diriku indigo atau memiiki indera keenam atau sebangsanya, karena terkadang pun aku merasa kecolongan seperti ini. Aku tidak selalu merasakan aura mereka dan tidak bisa dengan sengaja mengerahkan sensitivitasku untuk meninjau keberadaan mereka.
Sudahlah! Lebih baik aku percepat saja mandi, setelah itu rebahan di kamar.
Kubuka pintu kamar dengan rasa penasaran. Kreeeekkk! Hah! Mas Bimo ada di kamarku. Dia duduk bersandar di dinding sambil memangku laptop. Jarinya menari dengan lincah di antara tuts keyboard.
Iya, aku ingat. Ketika aku hendak mandi Mas Bimo izin menumpang sementara di kamarku. Tapi bukan tentang itu. Ada sesuatu yang sempat tak kusadari.
Ketika pulang, aku melihat Mas Bimo berjalan di tengah hujan di depan DPR. Kenapa dia tiba-tiba sudah ada di kost? Aku pun lantas mengkonfirmasi hal tersebut kepadanya.
“Mas Bimo tadi dari mana hujan-hujanan?”
Dia menghentikan aktivitasnya sejenak dan memandang ke arahku. “Hujan-hujanan?”
Aku mengangguk.
“Aku dari siang di kost aja. Nggak ke mana-mana, Ya?” Mas Bimo menatapku heran.
Apa aku yang salah lihat? Misteri apa lagi yang tengah bergelantungan di hadapanku? Jujur, aku tidak sudah bermain teka-teki ala detektif.
Pandangan Mas Bimo masih tertuju kepadaku. “Ya, apa ada sesuatu denganku?”
“Nggak, Mas. Mungkin aku salah lihat.” Tak mau membuat Mas Bimo bingung, aku pun mengalihkan topik pembicaraan. “Mas Bimo mau sekalian titip makan, nggak? Ini aku mau pesan makanan ke Warung Sedulur?”
“Kamu mau pesan lewat SMS?”
“Iya.”
Di sekitar kost banyak warung makan yang menjajakan makanan dengan sistem delivery order (pesan antar) dan tersedia dalam 24 jam.
“Boleh. Kebetulan aku juga lagi lapar.”
“Mas Bimo mau makan apa?”
“Samain aja sama kamu, Ya.”
“Oke.”
Aku mengambil ponselku. Segeralah kupesan 2 porsi nasi goreng seafood melalui pesan singkat. Makanan itu yang pertama terlintas di benakku.
Namun, pikiranku masih terus bertanya-tanya, dan seketika mataku berair. Aku berbalik badan, lalu mengusapnya dengan handuk. Satu demi satu keganjilan merengkuh pikiranku.
Keesokan harinya, sebelum berangkat kuliah, aku mampir ke kamar Dani. Ada hal yang ingin aku klarifikasi, dan semoga dia mengetahuinya dengan pasti.
“Dan, lagi ngapain?” tanyaku sambil mengetuk pintu kamarnya.
“Aku lagi ganti baju. Masuk aja, Ya!” sahutnya.
“Kamu ada kuliah pagi juga?”
“Iya.”
“Aku tunggu depan aja ya kalau begitu!”
“Sip.”
Kami pun berangkat bareng ke kampus. Setelah keluar dari kost, aku langsung menyodorkannya pertanyaan.
“Dan, semalam pas hujan kamu ke mana?”
“Di kost. Main PS sama anak-anak,” jawabnya santai.
“Di kamar Mas Bimo?”
“Iya.”
“Mas Bimo-nya ada sama kalian?”
Dani tampak mulai heran dengan pertanyaan lanjutanku.
“Ada apa sih, Ya? Kan semalam dia pindah ke kamarmu pas kamu udah pulang.”
Aku berusaha mengatur redaksi pertanyaanku.
“Maksudnya gini, Dan. Pas aku pulang kan, aku cuma dengar di kamar Mas Bimo rame. Pintunya juga kan tertutup. Jadi, aku nggak tahu ada siapa aja. Nah, Mas Bimo ada di kamarnya nggak waktu itu?”
“Dari siang juga dia di kost. Baru pas turun hujan itulah, kita main PS di kamar dia. Habis mau keluar juga kalau hujan mau ke mana, Ya.”
Aku masih belum puas dengan pemaparan Dani, “Dari mana kamu bisa tahu Mas Bimo di kost terus seharian kemarin?”
Dani menghela nafas. “Pertama, kamarku pas di depan kamar Mas Bimo. Kedua, kemarin aku nggak ada kuliah. Ketiga, berdasarkan poin kedua, kemarin aku seharian di kost. Ada sih paginya ke kampus sebentar, tapi cuma buat ngembaliin buku ke perpustakaan.”
Valid! Pernyataan Mas Bimo dan Dani sama.
Dani menatapku tajam. “Ada apa sih sebenarnya, Ya?”
“Maksudnya?” Aku paham arah pertanyaan Dani. Aku hanya men-delay untuk mencari celah menghindar.
“Dari awal pertama kita kenal, kamu selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang aneh.”
“Aneh gimana, Dan?”
“Arya…” Dani memegang pundakku sebelah kiri dengan tangan kanannya. “Sebenarnya ada apa sih, Ya? Aku nggak akan memaksamu bercerita jika kamu memang belum percaya kepadaku. Tetapi aku merasa kamu sebenarnya ingin bercerita sesuatu, kan?” tuturnya halus.
Dani betul. Aku bisa gila jika bisa menyimpan pengalaman ini sendiri. Semakin aku mencoba memverifikasi semua peristiwa, semakin aku merasa membutuhkan orang yang bisa diajak bercerita.
“Kamu ada kelas sampai jam berapa, Dan?”
“Jam 10. Masuk lagi nanti jam 1 siang.”
“Nanti kita ketemu di kantin ya! Sekarang kita kan sama-sama sudah mau masuk kelas.”
Dani pun menyetujui dengan menganggukan kepala. Terkadang bercerita kepada orang lain, bukan sekadar tentang kepercayaan dan solusi yang diharapkan, namun aku juga tak ingin ceritaku seperti berbagi beban (pikiran). Memang ironis, pendengar yang “sulit” mencari pendengar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments