Bab 3: Naluri

Terkadang aku seperti bisa melihat atau merasakan beban yang sedang orang lain rasakan. Ketika melihat wajah dan gestur mereka, seolah mereka bercerita. Tidak. Aku tidak merasa memiliki indera keenam atau sejenisnya. Aku hanya menganggap itu sebagai kepekaan yang tersemat di dalam jiwaku.

Aku selalu berusaha untuk tidak menatap seseorang, terutama matanya, terlalu lama. Mengapa? Aku tahu yang mereka rasakan, namun aku kerap dilanda kebingungan untuk bisa membantu mereka. Bahkan ketika di bus, kereta, atau di perjalanan yang banyak bertemu dengan orang yang tak dikenal, aku merasakan kesedihan mereka ketika mengamati raut yang tergambar di wajahnya. Aku hanya bisa berdoa untuk mereka. Aku tahu mereka berusaha menjalani kehidupan dengan tegar, mereka tak mau menunjukkan kesedihan. Ada pula yang ingin bercerita, tetapi tak memiliki pendengar.

Ketika aku sedang merecap hal-hal “aneh” yang ada dalam diriku, Mas Bimo mengetuk pintu kamarku.

Aku segera bangkit dari kasur dan membuka pintu. “Iya, Mas.”

“Ya, ada yang nyari kamu nih,” terangnya.

Mas Bimo datang dengan seseorang yang membuat aku tersentak. Teteh? Ya, perempuan yang mengalami kerasukan itu. Spontan aku melihat wajahnya. Dengan cepat kesedihannya menyebrang ke relungku. Dia tampak dalam kecemasan, kekalutan, dan kebingungan. Terlukis pula bekas air mata yang mengering di pipinya.

“Maaf mengganggu. Namaku, Yuli,” ucapnya dengan sendu sambil mengulurkan tangan.

Aku pun mencoba meraih tangannya. Namun ketika berjabatan tangan, mulutku terkatup. Tiba-tiba ingin menangis. Ada hal yang begitu memekik emosi, tetapi sulit untuk dideskripsikan. Aku hanya bisa mengembalikan tanganku ke posisi semula.

“Maaf, apa kamu ada waktu? Saya ingin berbicara empat mata denganmu?” lanjutnya dengan nada yang mengandung kepiluan.

Mas Bimo pun kemudian undur dari hadapan kami. “Kalau begitu saya pamit dulu ya. Saya juga mau ke kampus,” pamitnya kepada Teh Yuli.

“Iya, Mas. Terima kasih sudah mengantarkan saya,” balasnya seraya membungkukkan badan 30 derajat.

Aku pun menambahkan, “Terima kasih, Mas Bimo.”

Aku lihat sekeliling, suasananya tenang. Para penghuni di kost sedang kuliah, kecuali aku. Kebetulan aku hanya ada kelas sore selepas Ashar.

“Ngobrol di sini atau mau dimana, Teh?” Aku menawarkan sembari menunjukkan tempat duduk yang memang tersedia untuk keluarga atau tamu yang berkunjung. Aku tidak bisa mengajaknya untuk mengobrol di kamarku, walaupun tidak ada siapa-siapa, namun aku khawatir dia akan merasa tidak nyaman dan juga berpotensi menimbulkan fitnah.

“Iya, di sini aja.” Teh Yuli pun setuju. “Tapi apa kamu ada kuliah hari ini?”

“Ada satu mata kuliah sore nanti. Santai aja, Teh.”

Setelah kami duduk, Dia tidak langsung bercerita. Aku tahu butuh waktu untuk meredam emosi yang sepertinya menyebar di dalam dirinya. Juga, jelas tidak mudah baginya untuk memulai kata dengan kondisi yang tengah diderita. Aku pun sabar menunggu dia bersuara.

Selang hampir 10 menit, aku merasa dia butuh pancingan. “Oh iya, maaf tadi saya lupa, Teh. Nama saya, Arya. Jika ada hal yang bisa saya bantu, silakan Teteh memulai bercerita.”

Dia mengehela nafas sejenak, lalu membuka dengan pertanyaan, “Apa yang kamu tahu tentang yang ada di dalam diri saya?”

Aku paham maksudnya, tetapi aku tidak ingin dia menyimpulkan dengan cepat bahwa aku punya kemampuan supranatural atau lainnya . “Maksudnya, Teh?”

“Kamu ingat 3 hari lalu ketika kita berpapasan di jalan. Saat itu kamu mengatakan agar aku mencuci kaki dan tangan sebelum masuk rumah, lalu ambil wudhu,” kenangnya.

“Iya”, ucapku mengamini. Jelas aku masih ingat perkataanku kepadanya waktu itu.

“Apa yang kamu lihat di dalam diri saya?” Mata Teh Yuli mulai berkaca-kaca.

Aku amati lukisan yang tergurat di wajahnya. “Saya hanya melihat Teh Yuli sedang tidak baik-baik saja. Maaf, saya menyarankan hal tersebut tanpa maksud menggurui.”

Teh Yuli berusaha mengatur emosi dengan menarik nafas kembali. Aku tahu, dia sedang membutuhkan tempat untuk mencurahkan segala pikirannya. Tetapi aku pun tidak bisa langsung begitu saja memapaparkan yang aku lihat di dirinya.

“Arya, maaf jika saya lancang. Kita baru saja saling mengenal nama masing-masing, tetapi saya merasa jika saya ingin bercerita ke kamu setelah kamu memberikan saran malam itu kepada saya. Selama ini, teman-teman saya lebih banyak menyuruh saya untuk berobat. Bahkan ada yang menganggap saya sudah gila.” Air mata sudah tak bisa lagi ia bendung. “Apa yang harus saya lakukan? Mendekatkan diri kepada Tuhan? Setiap hari saya berusaha melakukan itu, tapi saya juga butuh teman untuk berbagi.”

“Teh…” Sejujurnya, aku hanya bisa mengatakan sesuai yang aku rasakan tentang dirinya. Terkait solusi, aku mencoba menjadi pendengar yang baik terlebih dahulu. “Jika sekarang Teteh ingin bercerita sambil menangis, silakan! Tetapi aku mohon sambil lihat ke arahku. Oke, Teh?”

Teh Yuli mengangguk pertanda setuju.  Aku memintanya untuk bercerita dengan melihat ke arahku agar dia bisa mengontrol emosinya, supaya pikirannya tidak menjadi liar. Dia harus paham bahwa ada yang sedang fokus atau bersedia menjadi pendengarnya. Setidaknya, hal itu yang pertama harus ditanamkan ke mindset-nya supaya dia mampu menguasai diri dan membentuk kenyamanan dalam bertutur.

“Tiga tahun lalu aku hampir mau menikah, namun gagal karena calon suamiku memilih melanjutkan studi ke luar negeri. Aku bilang ke dia jika masalahnya waktu, aku bisa nunggu. Tetapi, dia tetap memilih putus denganku. Alasannya tidak mau menjalin hubungan LDR (long distance relationship/ hubungan jarak jauh). Dia takut itu menjadi beban baginya, juga bagiku. Aku pun menerimanya dengan lapang dada, meski sangat sulit awalnya.” Dia semakin berderai air mata. Aku tahu menceritakan kejadian menyakitkan laksana membangkitkan rasa itu kembali di dalam hati.

Teh Yuli berkali-kali menarik nafas. Aku pun minta izin sebentar untuk mengambilkan tisu dan minum untuknya.

“Aku sudah berusaha ikhlas tak berjodoh dengannya. Tapi tanpa sengaja aku melihat akun Facebook seorang wanita dengan mantan calon suamiku itu. Foto profil dia menggunakan baju pengantin berdua. Aku sangat shock, karena saat itu mantanku baru sekitar setahun di luar negeri. Aku coba telusuri posting-an perempuan itu, lalu menemukan fakta bahwa mereka menikah sebulan sebelum aku diputuskan. Aku berusaha tegar. Namun, sampai saat ini aku masih merasa sesak mengingat pengkhianatannya,” kesahnya.

Aku belum bisa berkomentar, karena aku yakin ceritanya belum selesai. Masih ada hal lain yang membuatnya menjadi seperti ini.

Dia pun menyambung lagi kisahnya. “Aku mencoba meminta penjelasan dari mantanku, tetapi chat atau pun teleponku tak pernah direspon. Setelah itu, aku mencoba benar-benar melupakan dia. Sulit, sangat sulit. Konsentrasiku untuk kuliah buyar. Proposal skripsiku tak pernah ada yang tembus. Dosen pembimbingku bahkan sempat mengatakan menyerah untuk membimbingku. Beliau berkata aku sudah tak punya semangat lagi.”

Bicaranya sudah mulai lebih mengalun tenang. “Ayah dan ibuku juga terus bertanya kapan aku wisuda. Aku tahu mereka berharap agar aku segera lulus dan mendapat kerja. Aku pun malu, karena teman-temanku semuanya sudah lulus. Tinggal aku, hanya tersisa aku yang di ujung harapan untuk bisa di-wisuda.”

Teh Yuli seperti memberi jeda untukku memberi tanggapan. “Hem… Tapi aku merasa bukan hanya itu yang menuntun Teh Yuli pada kondisi saat ini. Kalau dari cerita tadi, aku rasa sebenarnya Teh Yuli bisa melewati semua ini. Tapi, kemudian, seperti ada dendam yang tertanam dalam diri Teteh kepada mantan Teteh. Maaf Teh, aku tidak bermaksud menuduh.”

Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar mandi yang menutup dengan kencang. Aku langsung memeriksa ke arah sumber suara. Namun, tak ada siapa pun yang habis menggunakan kamar mandi.  Padahal suaranya jelas dari salah satu kamar mandi di atas, di samping kamarku.

Kemudian, aku juga melihat kamar mandi di bawah untuk sekadar memastikan. Sama, tak ada bekas air yang mengalir di dua bilik kamar mandi tersebut. Mustahil pula karena angin. Bangunan kost ini tertutup rapat dengan tembok. Daripada diliputi kebingungan, aku memutuskan untuk kembali saja ke tempatku.

“Kamu kalau mau ke kamar mandi dulu, nggak apa-apa, Ya,” ucap Teh Yuli kala aku kembali ke posisi dudukku.

Namun, aku merasa aneh dengan pernyataannya. “Nggak kok Teh, tadi cuma ngecek siapa yang membanting pintu kamar mandi.”

“Membanting?” Raut wajahnya malah tampak heran.

“Teteh nggak dengar tadi itu….?” Aku coba menjelaskan, tetapi melihatnya ekpresinya yang polos, aku urungkan upaya tersebut.

“Nggak, Ya. Teteh nggak dengar apa-apa,” terangnya.

Padahal suaranya sangat kencang. Apa hanya aku yang mendengarnya? Sudahlah, lebih baik kembali ke topik pembicaraan. “Maaf Teh, soal yang tadi gimana?”

Teh Yuli memalingkan pandangan ke sisi kiri. Dia menyeka tetesan air mata yang menyangkut di pipinya.

“Iya. Kamu benar, Ya. Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan. Paling tidak, dia tahu rasanya dicampakkan. Maka dari itu, aku mendatangi orang pintar agar dia bercerai dengan istrinya,” ungkapnya.

“Datang ke orang pintar itu lebih dari sekali, kan?” Seketika aku merasa seperti ada yang mendorong lidahku untuk berkomentar.

Raut wajahnya berubah kesal. “Betul. Aku sampai tidak ingat sudah berapa kali ke orang pintar. Bahkan terus berpindah dari orang pintar yang satu ke yang lain. Hal itu aku lakukan, karena seperti tidak ada perubahan. Malah istrinya semakin memamerkan kemesraan mereka di Facebook. Padahal batinku sudah tidak sabar menunggu kehancuran hidupnya.”

“Semua yang Teteh lakukan hanya membuang materi. Jiwa teguncang, hati semakin tersiksa. Segala upaya yang Teteh lakukan dengan meminta bantuan orang pintar tak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Akhirnya, pikiran Teh Yuli menjadi liar hingga ada yang menumpang di tubuh Teteh. Begitu, kan?”

Ia tampak kaget mendengar pernyataanku. “Orang tuaku pernah membawaku kepada seorang kiai di kampung. Menurut penuturan kiai itu, aku harus di-ruqyah. Aku pun kabur, karena merasa aku baik-baik saja. Aku memang sering tiba-tiba hilang kesadaran, dan terbangun dalam keadaan yang lemas. Kata teman-temanku, aku kesurupan. Namun, aku mau mereka tahu jika aku menempuh jalan syirik untuk balas dendam. Tak mengapa mereka mencap aku tidak waras, tetapi jangan sampai mereka tahu hal yang sebenarnya aku lakukan.”

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya mengalir lagi dengan deras.

“Selama di kost, Teh Yuli sering melamun di dapur ya?” tanyaku untuk membentuk kesimpulan.

“Iya. Pada saat itulah aku selalu tiba-tiba hilang kesadaran,” jawabnya dengan memnyingkap penutup wajah.

Aku paham. Masalah utama yang dia hadapi yaitu tekanan batin. Tetapi seandainya dia, kemudian, tidak berharap kepada orang pintar, tubuhnya tidak akan ditumpangi jin.

“Memang tak seharusnya Teh Yuli meminta bantuan orang pintar untuk membalas dendam. Karena hal itulah yang kemudian membuat Teh Yuli mengalami kelumpuhan nurani, tak bisa mengelola emosi, pikiran, memori, dan diri. Pikiran Teteh menjadi kosong, karena tak ada lagi aktivitas di otak selain berharap hidup mantan Tetah hancur,” paparku kepadanya sebagai rangkuman atas derita yang dia alami.

“Lalu?”

“Di saat itu, ada jin yang suka dengan Teteh. Kemudian, dia memanfaatkan kelengahan  dan kekosongan jiwa Teteh supaya dia bisa bersemayam di diri Teteh.”

Teh Yuli tampak ketakutan. Aku sama sekali tak bermaksud membuatnya menjadi takut.

“Serius, Ya?”

“Apa di malam hari di waktu-waktu tertentu Teteh pernah merasa badan Teteh berat banget? Atau sering tiba-tiba haus di tengah malam, tapi setelah minum bergelas-gelas pun rasa haus itu tidak hilang?”

“Betul.” Dia menghela nafas cukup dalam. “Apa kamu orang pintar? Aku mohon, tolong bantu aku. Sembuhkan aku. Aku ikhlas dengan apa yang sudah terjadi. Sekarang aku hanya ingin menjalani hidup secara normal,” mohonnya dengan memegang tanganku begitu erat.

Orang pintar? Bukan. Aku hanya orang biasa. Bahkan, aku merasa setiap ucapan yang keluar mengalir begitu saja dari mulut.

“Teh, aku bukan orang yang seperti Teteh pikirkan. Hanya Tuhan dan diri Teteh lah yang bisa membuat Teteh keluar dari kondisi ini.”

“Apa yang harus aku lakukan? Aku mohon, Ya!” rintihnya memelas.

“Pertama, pindah tempat tinggal atau kost. Tempat itu kurang baik untuk Teteh.”

“Aku sudah mencoba beberapa kali.”

“Teteh pulang terlebih dahulu, ikuti saran orang tua untuk di-ruqyah. Tinggallah lebih lama di sana. Nikmati kebersamaan dengan keluarga.”

Aku tahu, tak mudah untuk melakukan segala yang aku sarankan. Tetapi, sebenarnya, orang dengan kondisi Teh Yuli lebih memerlukan teman yang mau mendengarkan mereka tanpa interupsi dan justifikasi. Dengan bisa bercerita dan mengeluarkan air mata sudah bisa memberi mereka kekuatan.

Kita memang harus membantu menyemangati mereka untuk bisa bangkit dari kondisi yang mereka hadapi. Tetapi bukan dengan kata-kata “Semangat”, “Kamu pasti bisa”, atau juga kalimat pengandaian dan perbandingan seperti “Kamu harus bersyukur”, “Coba lihat di luar sana masih banyak yang lebih menderita dari kamu”, itu hanya membuat mereka merasa dihakimi.

“Ya, terima kasih banyak sudah mau mendengarkanku. Aku merasa lebih tenang sekarang. Kalau begitu, aku mau berkemas dan pulang kampung hari ini.”

“Sama-sama. Hati-hati di jalan ya, Teh.”

Ia mulai mengembangkan senyuman yang sebelumnya sedikit pun tak tersirat dari bibirnya. “Aku boleh minta nomormu? Baru kali ini aku merasa lega bisa cerita kepada seseorang.”

“Tentu.”

Kami pun bertukar nomor ponsel. Lalu, aku mengantar Teh Yuli menuruni anak tangga.

Namun tepat saat berjalan di samping kamar mandi, langkahku terpaku. Aku dikagetkan kembali dengan suara pintu yang dibanting. Kali ini suaranya nyaris memecah gendang telingaku. Aku pun berusaha menenangkan diri dengan mengelus dada.

Teh Yuli menghentikan langkahnya, dan berbalik badan. “Ada apa, Ya?”

Dia tampak tidak terkejut sama sekali. Apa hanya aku saja yang mendengarnya lagi? Sebrutal itukah mereka walau di siang hari?

“Nggak ada apa-apa, Teh. Ayo aku antar sampai ke kost-an Teteh.”

“Terima kasih banyak ya, Ya!” ucapnya santun.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!