Hidup ini penuh dengan misteri. Semakin coba dipecahkan, semakin mengundang banyak pertanyaan.
Perkenalkan, namaku Arya. Mahasiswa tingkat pertama di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Bandung. Dari kanak-kanak, aku sering merasakan hal-hal aneh di sekitarku. Merasakan dan melihat kehadiran mereka yang tak kasat mata, bisa meraba masa depan dan kematian, hingga terkadang seolah hidup di dimensi lain.
Dulu, aku menganggap segala hal supranatural yang aku alami sebagai bagian dari takdir. Aku menjalani hidupku sebagaimana biasanya, dan tak terlalu menghiraukan gangguan yang aku terima.
Namun, semua berubah ketika hijrahku untuk melanjutkan studi mempertemukanku dengan banyak individu. Aku terlibat dalam kisah hidup mereka. Berbagai kejadiaan tak masuk akal semakin gencar menguntit keseharianku. Segalanya menjadi lebih intuitif, memaksaku untuk bergerak dan mengambil tindakan.
Aku tinggal di sebuah kost di belakang kampus. Tempat tersebut merupakan rekomendasi dari hasil pencarian di Google. Reviewnya positif dengan bintang nyaris sempurna, tepatnya 4.9. Lokasinya di sebuah perumahan yang ramai. Bangunannya memiliki 2 lantai dengan total 10 kamar. Setiap lantai masing-masing memiliki 5 kamar. Sayangnya, fasilitas kamar mandi semuanya ada di luar dengan masing-masing 2 unit per lantai.
Aku memutuskan untuk tinggal kost tersebut, karena lokasinya dekat ke kampus dan harga sewanya cukup terjangkau. Kamarnya pun cukup nyaman. Luasnya 4 x 4 meter, sudah tersedia lemari dan kasur single bed.
Aku pun mendapat jatah kamar di lantai dua, di samping tangga. Tinggal kamar tersebutlah yang tersisa. Jadi, aku tak bisa memilih.
Hanya saja saat menginjakkan kaki di kost tersebut, aku merasakan penghuninya ada lebih dari 10 orang. Maksudnya ada penghuni lain yang tidak mendapat jatah kamar, tetapi bisa berada di tempat mana pun. Aku merasakan ada yang mengamati tapi wujudnya tak tampak. Sudahlah, lebih baik aku menyucikan pikiran dari segala prasangka terlebih dahulu
Pada malam pertama menempati kost tersebut, baru ada 3 penghuni yang tinggal. Sisanya masih di kampung halaman. Dua dari kami, termasuk aku, merupakan mahasiswa baru yang akan menjalani OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus), satu lagi mahasiswa tingkat akhir yang tengah menyusun skripsi. Hanya aku yang tidur di lantai 2. Ada perasaan tidak nyaman yang aku rasakan. Bukan, ini bukan rasa takut.
Hah! Daripada memikirkan mereka, lebih baik aku mandi, kemudian istirahat. Perjalanan dari Tangerang – Bandung cukup melelahkan. Aku berangkat siang hari, dan sampai selepas Maghrib. Sempat terjebak macet cukup lama di Tol Cipularang KM 92 akibat adanya kecelakaan beruntun.
Sekitar jam 10 malam, aku sudah terkapar di kasur. Tidak sempat bercengkrama dengan teman-teman baru, karena kantuk menyerang secara masif.
Meskipun cukup mudah tertidur, namun malam pertama tidur di tempat baru merupakan hal yang selalu sulit bagiku. Terlebih aku sudah merasakan ada penghuni lain yang menetap di tempat ini, namun wujudnya tak terlihat. Aku tak mengusik keberadaan mereka, semoga mereka pun tak berusaha menembus batas dimensi. Harapanku di setiap tempat yang terasa ada aura keberadaan mereka.
Posisi tidurku selalu miring baik ke arah kanan atau kiri. Baru sebentar tidur, aku tiba-tiba merasa pungungku panas. Hanya di bagian punggung saja.
Ruangan pun menjadi gelap. Aku masih belum siap untuk membuka mata dan membalikkan badan. Sementara hawa panas yang semula dirasakan di bagian punggung saja, mulai menjalar ke bagian kaki.
Aku pun membuka mata tanpa membalikkan badan. Apakah sedang mati lampu? Sial! Aku benci gelap. Aku selalu tidur dengan cahaya lampu yang terang.
Aku mencoba merogoh ponselku di atas lemari kayu setinggi 1,5 meter. Ini mengharuskanku untuk bangun. Aku harus lebih dulu menemukan ponselku dan cepat-cepat menyalakan senter. Mereka suka suasana yang gelap.
Rupanya aku tak sadar sudah memindahkan ponselku. Yang tadinya di atas lemari, justru ada di dalam lemari. Aku pun berdiri. Mau tak mau pandanganku secara alami menerawang ke setiap sudut kamar. Mataku begitu saja melihat ke sudut diagonal depan pintu. Aku sudah curiga dari tadi bahwa ada yang mencoba ingin menemani tidurku.
Sosoknya hitam pekat dengan tinggi yang nyaris menyentuh langit-langit kamar. Aku langsung menutup mata sambil fokus mencari ponselku. Hawa panas yang semula hanya dirasakan di bagian tubuh mendadak memenuhi kamarku. Apa ini karena aku ketakutan? Tidak, aku hanya tak mau melihatnya.
Kucoba kembali menoleh ke sudut di mana makhluk itu tadi tampak berdiri. Jantungku berdebar. Ini bukan pengalaman pertama, namun berhadapan dengan mereka tak pernah sedikit pun menyenangkan.
Sayangnya, dia masih ada di situ. Aku pun langsung bergegas meraih gagang pintu untuk segera keluar dari kamar. Aku harus mencari tempat yang terpapar cahaya. Karena ada sedikit kepanikan, aku pun tak mampu menemukan ponselku.
Setelah berhasil keluar, semuanya gelap. Ternyata memang sedang mati lampu. Aku bergegas ke bawah. Setidaknya di luar kost masih ada cahaya bulan yang bisa menyinari.
Aku muak dihadapkan dengan situasi ini terus menerus, bisa merasakan keberadaan mereka. Meskipun jarang melihat wujud mereka secara utuh, namun itu terkadang sudah cukup mengganggu psikisku. Seperti yang barusan terjadi. Hanya sosoknya yang tergambar. Itu bukan halusinasiku. Mereka selalu memberikan pertanda ketika ingin menampakkan eksistensinya.
Salah satu pertanda kemunculan makhluk halus yang kerap aku rasakan yaitu adanya perubahan suhu yang dirasakan anggota badan atau sekeliling tempat yang aku diami. Kejadian ini pertama kali aku alami saat usiaku 10 tahun. Dari situ aku mulai tahu tanda-tanda keberadaan dan kedatangan mereka.
Kala itu di malam Minggu, aku dan temanku berencana lari pagi. Agar bisa berangkat bersama, kami sepakat menginap di rumahku.
Aku memang sering melihat bayangan-bayangan sekelebat dari kecil, tetapi aku tidak terlalu ngeh tentang hal tersebut. Kadang aku berpikir itu hanya citra pandanganku saja. Meskipun di belakang rumahku pemakaman, namun aku selalu berpikir tidak ada orang yang sudah meninggal bisa bangkit lagi. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Setiap makhluk memiliki alamnya masing-masing.
Sekitar jam 10 malam, aku tak kuat lagi menahan kantuk. Aku pun tidur duluan. Akan tetapi, mimpiku tiba-tiba terganggu. Punggungku terasa hangat dan tempat tidur mendadak seperti menyempit.
Aku tidak mengerti mengapa posisi tidur temanku terus mepet dan mendorong aku ke dekat tembok. Tanpa berbalik badan, aku terus meminta temanku menggeser posisinya.
Permintaanku tak direspon olehnya. Aku pun terpaksa berbalik badan dan mendorong temanku agar mau memberikan aku sedikit ruang.
Sebelum kembali ke posisiku semula, aku sempat memperhatikan jika pakaian temanku berubah. Aku ingat dia menggunakan celana pendek hitam dan kaos biru. Tetapi pas aku dorong, dia menggunakan kain putih dari kepala hingga kaki.
Karena aku masih sangat mengantuk, aku lanjutkan saja tidur. Mungkin kain putin yang dia gunakan untuk menutup tubuh hanyalah sarung yang dia ambil dari rumahnya untuk digunakan sebagai selimut.
Tak lama, temanku kembali mendesak posisi tidurku lagi. Hawa hangat di sekitar punggung yang sempat reda menyeruak kembali dan malah lebih panas. Aku sampai bercucuran keringat.
Masih dengan posisiku yang membelakanginya, aku meminta dia untuk bergeser lagi dengan suara agak kesal. Tetapi ia semakin menempelkan tubuhnya di punggungku. Aku pun pasrah dan melanjutkan tidur saja. Aku pikir lama kelamaan dia juga akan merasa tidak nyaman dan bergeser sendiri.
Besok harinya, aku dan temanku tidak jadi berolahraga. Saat bangun, aku lihat dia sudah tidak ada di tempat tidur. Aku bergegas ke rumahnya.
Setelah mendapati dia ada di rumahnya, aku langsung menginterogasinya tanpa basi-basi.
“Dam, kok lu pulang kagak bangunin gue sih? Katanya kita mau olahraga,” tanyaku kesal.
“Gue udah pulang dari semalam. Emak gue nyusulin. Gue kagak dibolehin nginep soalnya Emak gue takut tidur sendiri,” ungkapnya.
Aku tak lantas percaya jawabannya. “Serius, lu? Jam berapa lu pulang?”
“Iya.” Adam tampak balik kesal kepadaku. “Jam 11-an Emak gue manggil. Gue mau bangunin lu, tapi lu nya udah lelap banget.”
“Lu berani sumpah?”
“Sumpah!” Suara Adam meninggi. “Ngapain juga gue bohong. Emang kenapa sih?”
Aku ragu untuk bercerita, tetapi aku yakin dia tidak berbohong. Memang jika aku ingat lagi, sosok yang mengganggu tidurku semalam tidak tampak seperti dia.
Adam memiliki perawakannya bongsor. Sementara teman yang semalam menemaniku tampak lebih kecil, bahkan sedikit lebih pendek dari aku. Dia menggunakan pakaian serba putih yang mirip jenazah dengan kain kafan.
Temanku tersebut terus bertanya perihal aku yang tampak aneh, sedangkan aku masih berusaha mencerna kejadian yang kualami. Aku pun memutuskan tak melanjutkan pembicaraan tentang kejadian tersebut. Aku merasa dia juga belum tentu percaya dengan ceritaku. Akhirnya, aku pendam sendiri tentang kejadian itu.
Bermula dari kejadian semasa kecil tersebut, pengalaman-pengalaman di luar nalar semakin sering aku rasakan hingga saat ini. Terkadang aku merasakan sangat ketakutan, terkadang pula aku berusaha bersikap biasa. Aku takut, karena kehadiran mereka membawa pertanda yang lain. Aku bersikap biasa, agar tak menjadi beban dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments