Azzam tersenyum kecut menimpali ucapan rekan dosennya. Pak Fajri sudah pergi meninggalkannya yang masih
termenung di kursi taman Gedung Fakultas itu. Sesekali ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.
Beberapa mahasiswa yang berseliweran menunduk untuk memberi hormat padanya, namun Azzam hanya mengangguk seadanya. Suasana hatinya sedang buruk.
Ucapan Dani beberapa bulan lalu tiba-tiba terngiang kembali. Ia terlalu naif menikmati rasa Sukanya. Dia bukan
lagi anak ABG yang sedang mendamba rasa cinta. Dia sudah dikejar deadline dari sang mama untuk segera menikah.
Mama di Jogja hampir setiap hari menyakan perkembangannya soal asmara. Soal tikung ditikung, Azzam bukan hanya sekali mengalaminya. Dan Windy mahasiswa semester 4 itu adalah tersangkanya yang ketiga.
Sudah ada 2 wanita yang sebelumnya ia sukai dan berakhir dengan cerita yang sama. Didahului orang lain yang dengan gagah memperistri mereka. Sedangkan Azzam hanya berani menatapi mereka diam-diam tanpa mau melangkah sedikitpun. Berharap waktu akan mempersatukan.
Dani pernah juga bilang, bahwa Azzam harus mulai meninggalkan sepeda bututnya.
“apa masksudmu sepeda butut?”
“kamu itu seperti sedang mengendarai sepeda butut. Sepeda ontel yang kalau dikayuh sudah bunyi ciiirrt ciiiirtt gitu. Ampun aku Zam.”
“kamu ngomong apaan sih..”
“soal asmaramu, soal pencarian cintamu itu. tinggalkan sepeda butut itu, mulailah mengendarai mobil kalau perlu mobil sport kalau mau ngejar jodohmu. Kamu setia banget pakai sepeda bututmu sedangkan orang lain dengan gagahnya mengendari entah motor gede atau mobil sport untuk mendahului, tentu saja kamu kalah telak jika dibandingkan mereka. Ngerti nggak kamu maksud aku?”
“lihat aku Zam, anakku sudah 2, yang pertama saja sudah mau masuk TK.. lah kamu?”
“tapi kan waktu setiap orang dalam menempuh pencapaian hidupnya kan memang beda-beda, ya jangan samain aku dengan kamu atau dengan yang lain..”
“iya memang. Tapi bukan itu poinnya. Kalau kamu mau juga segera mendapatkan jodoh ya mbok ada usahanya gitu lo. Jangan cuma nunggu. Laki-laki kamu itu.”
Sepintas ingatan percakapan dengan Dani tentang sepeda butut pun ikut mengganggu dan menambah ruwet isi kepalanya.
Azzam melangkah meninggalkan bangku taman. Ia memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai 2 gedung
fakultas untuk bersiap mengajar. Saat memasuki ruang kerjanya, ternyata sudah ada Dani yang menunggu disana.
“mukamu Zam, asem banget.. ngopo sih?” tanya Dani.
“ditinggal nikah..” jawabnya polos.
“lagi?” Dani terkekeh. Pasalnya memang sudah biasa mendengar hal itu dari Azzam. Seperti tak ada kapoknya mengulang-ulang metode asmara yang sama.
“kan aku sudah bilang kemarin..”
“sudahlah nggak usah dibahas. Aku mau fokus aja nyelesein disertasiku.. gimana menurutmu tentang proposal penelitian yang aku ajukan kemarin?”
“belum ada konfirmasi lagi. kita masih harus menunggu dari pihak laboratorium karena jadwalnya memang sedang penuh disana.”
“ya sudah..”
“kamu nggak pulang?”
“malas. Pasti ditanyain sudah ada calon belum. Nggak pulang aja berasa diteror tiap hari..”
“ya begitulah Zam orang tua. Beliau yang pusing kalau kamu belajar terus sampai lupa kodratnya manusia bahwa
harus berpasang-pasangan..”
“aku nggak lupa tapi kan memang belum datang aja jodohnya mau gimana lagi, kan nggak harus diteror terus..”
“gimana mau datang jodohnya kalau kamu aja anteng begitu, mbok ya ada usaha kek.. kalau suka kejar, kalau kiranya sudah cocok ya langsung datangi orang tuanya.. bukan kaya kamu ini, diem-diem, emangnya orang bakal bisa baca isi hatimu..aneh kamu Zam—Zam..”
“iya..iya..aku akan usaha..”
“iya--iya aja kalau dibilangin..”
Azzam melengos, Dani pun sudah terbiasa dengan reaksi temannya itu. mereka sudah berteman dari awal menempuh kuliah pasca sarjana di kampus itu. dan sudah berteman 5 tahun lamanya membuat Dani sedikit paham bagaimana gelagat Azzam saat sedang menyukai seseorang.
2 tahun kemudian.
Azzam sudah menginjak kepala 3 sekarang, namun dia masih setia menjomblo. Bukan karena ingin, karena memang belum ada yang mampu menarik hatinya hingga saat ini.
Azzam sedang berjibaku dengan buku-buku yang menumpuk di kamarnya serta banyak lembaran-lembaran jurnal
penelitian yang ia gunakan sebagai referensi penelitiannya. Azzam masih dalam proses penelitian untuk disertasinya.
Sudah 2 tahun berlalu namun Azzam semakin kesulitan mengerjakan disertasinya. Pikirannya bercabang kemana-mana. Ditambah terror dari sang mama yang membuat Azzam jengah.
Saat ia sedang fokus dengan laptopnya, ia dikejutkan oleh suara telefon, tertera tulisan ‘mama’ di layar handphonenya.
“assalam’alaikum ma..”
…
“kenapa ma?”
…
“innalillah.. sekarang bagaimana kondisinya?”
…
“alhamdulillah kalau tidak membutuhkan operasi. Azzam akan pulang akhir pekan ini.”
…
“iya ma..”
…
“wa’alaikumsalam..”
Azzam mendapat telefon dari mamanya yang mengatakan bahwa Anita sang adik mengalami kecelakaan. Mamanya memintanya pulang untuk ikut menemani adiknya dalam perawatan.
Azzam mematuhinya dan mengatakan bahwa akhir pekan nanti ia akan pulang. Di akhir kalimatnya mama Rani juga selalu berpesan untuk berhati-hati. Hati-hati bagi mama Rani memiliki arti yang dalam. Tentang Azzam yang harus selalu menjaga diri dan juga menjaga hati. Meski Azzam sudah terbilang dewasa, namun mama tak bisa lepas begitu saja tentang pergaulan Azzam.
Untung saja Azzam bukan tipe laki-laki yang sembrono, ia tak pernah neko-neko sejak kecilnya. Ia selalu menjaga perilaku nya dalam berteman maupun bergaul dimana saja.
Setelah mendapat telefon mama Rani, di kepala Azzam bertambah satu lagi beban pikiran, yaitu kembalinya ke Jogja dan menemani adiknya yang sangat cerewet dan usil itu.
Azzam 100% yakin bahwa sakit yang diderita adiknya tidak akan mengurangi kadar kejahilan terhadapnya. Salah satu yang membuat Azzam tidak betah di rumah selain teror dari sang mama yaitu kejahilan adiknya yang seolah tak ada habisnya.
Ternyata hari berlalu sangat cepat. Dan hari akhir pekan yang sudah Azzam janjikan tiba. Ia memilih menggunakan kereta api agar tidak terlalu lelah di perjalanan daripada harus menyetir.
Butuh waktu hingga 9 jam menempuh perjalanan dari Surabaya menuju Yogyakarta. Dan di kereta Azzam menghabiskan waktu dengan membaca buku dan beberapa jurnal penelitian yang ada di tabletnya.
***
Akhir pekan itu, Azzam menghabiskan waktu dirumahnya. Sesuai permintaan sang mama, Azzam ikut membantu
segala keperluan adiknya yang baru saja mengalami kecelakaan hingga mengakibatkan cedera parah pada kaki dan tangan kanannya.
Azzam sedang berada di ruang tengah saat mendengar suara ketukan pintu di depan. Dari suara salam yang ia
ucapkan speertinya suara perempuan.
Azzam melangkah mendekati pintu itu. sambil menjawab salam ia membuka pintu.
Ceklek.
Dan terlihatlah sosok mungil nan cantik di depan matanya. Jilbab warna ungu dengan bunga-bunga kecil membuat
kesan manis padanya. Keduanya termangu sekejap.
“temannya Anita ya?” tanya Azzam.
“iya..” jawab Zahra sambil mengangguk. Zahra memberikan tatapan penuh tanda tanya kepada laki-laki itu.
“aku kakaknya Anita. Ayo, silahkan masuk dulu. Duduk dulu dek.” Lalu Azzam masuk ke dalam memanggil sang adik. Tak butuh waktu lama, Anita keluar dengan kruk.
Begitulah pertemuan singkat Zahra dan Azzam yang berhasil membuat Azzam berbunga-bunga.
Bersambung..
Pada Akhirnya aku memilih untu memisahkan ceritanya. karena kalaupun disambung sepertinya nggak akan nyambung..
Jangan Lupa dan vote ya.. pleaseee..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments