Sesampainya di rumah sakit aku dan Mas Randi segera masuk ke ruangan periksa. Setelah Dokter memeriksaku dan memberikanku sebuah resep kami segera meninggalkan rumah sakit dan menuju pulang. Dokter bilang aku hanya terlalu capek dan perlu istirahat. Tidak ada yang dikhawatirkan dariku. Sesampainya di rumah Ibu menanyakan keadaanku kepada Mas Randi.
"Randi bagaimana kondisi Nora?" tanya Ayah dan Ibu bersamaan.
"Cuma kecapekan saja Yah." jawabnya.
"Lalu bagaimana dengan keberangkatan kalian ke Bali kalau istrimu tidak enak badan?"
"Mungkin akan Randi batalkan saja."
Aku hanya menganggukkan kepalaku dan segera masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Kepalaku rasanya mau pecah, Mas Randi masih duduk di sampingku dan memberikanku segelas air putih.
"Kamu jangan banyak turun tidur saja biar agak enakan." ucapnya dan aku menganggukkan kepalaku.
Mas Randi kemudian meninggalkan aku sendiri di dalam kamar. Entahlah pergi kemana dia, aku yang tiduran di dalam kamar hanya bisa menatap langit-langit kamarku.
*****************
"Ibu Randi tidak bisa mengajak Nora untuk bekerja di kantor Randi." ucapnya singkat,
"Apa maksud kamu nak? ada apa dengannya?" tanya Ibu.
"Nora tidak punya pengalaman yang baik Bu, dia tidak mengerti apapun bahkan untuk mengoperasikan komputer saja sangat kaku."
"Nirmala sudah aku utus untuk mengajari dan mendampinginya."
"Tidak Bu aku tidak bisa terima dia untuk jadi sekretarisku."
Ucapan Randi membuat Ibu menghela nafas panjang dan menghentikan perdebatan tersebut. Ayah menepuk pundak Ibu dan membuat Ibu mengiyakan ucapan Randi.
"Baiklah jika itu mau kamu."
Perbincangan selesai.
Aku yang tidak sengaja mendengar ucapan itu meneteskan air mataku. Ternyata aku memang tidak diharapkan untuk berada disini. Suamiku saja tidak mengharapkan aku untuk berada di kantornya. Aku memang tidak mempunyai ijazah yang pantas untuk berada di kantor tersebut. Aku telah sadar diri dengan keterbatasan kemampuanku. Namun apa salahnya jika ucapan Mas Randi tidak selantang itu. Aku juga manusia yang masih punya hati. Hatiku sakit sekali ketika harus mendengar ucapan tersebut terlintas di telingaku. Mas Randi adalah suami yang sudah selayaknya untuk aku hormati. Apapun keputusan dia adalah hal yang harus aku turut. Aku mendengar dia pergi dengan suara mobilnya yang terdengar dari sini. Entahlah pergi kemana dia tidak ada satupun orang rumah yang tau.
Aku yang terbaring lemah saat ini hanya bisa meneteskan air mataku sendiri. Aku merasa sangat kesepian disini. Tidak ada yang menghiburku di tengah kesedihanku. Biasanya Ibuku selalu menyiapkan aku air gula dikala aku sakit, tapi disini tidak ada air di sampingku bahkan untuk memintaya saja aku takut. Seakan aku hidup dilingkup penjara asing. Aku memang baru seminggu tinggal disini. Masih banyak kecanggungan yang aku rasakan di setiap langkahku. Aku memejamkan mataku dengan perlahan. Hingga aku terlelap dan terbangun melihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku terkejut dan aku tidak sadar sudah ada makanan dan minuman di kamarku. Mungkin Bi Ijah yang telah membawanya kesini. Perutku terasa sangat lapar aku segera bangun dan mencuci mukaku setelah itu aku mulai menyantap makanan tersebut. Setelah agak baikan aku turun dari tempat tidurku dan turun ke ruangan tengah. Aku melihat disana tidak ada satu orangpun. Mungkin mereka sudah tidur, aku segera melangkahkan kakiku pelan ke arah dapur. Aku masih melihat Bi Ijah sedang mengupas sayuran untuk besok.
"Bi belum tidur?" tanyaku membuatnya kaget.
"Eh si Nyonya kok belum tidur? tadi Bibi sudah bawakan makanan untuk Nyonya Nora."
"Iya Bi terima kasih ya." ucapku sambil tersenyum.
"Nyonya mau apa kok kesini?" mau Bibi buatin teh hangat?"
"Tidak Bi aku cuma kesepian di kamar."
"Memangnya tuan Randi belum pulang?"
"Belum." sambil menggelengkan kepalanya.
"Tuan memang seperti itu hampir setiap hari dia pulang tengah malam bahkan sampai pagi buta."
"Lalu apa yang Bibi tau tentang Mas Randi?"
"Maksudnya Nyonya mau tau apanya?"
"Semua yang Bibi tau saja."
"Ehm kalau itu sih Bibi kurang paham."
"Bi mau aku bantuin gak?" sambil mengambil pisau.
"Oh jangan Nyonya nanti Nyonya besar marah."
"Gak akan ada yang marah Bi tenang saja, aku sudah biasa membantu Ibu di dapur. Aku ini orang susah Bi sama seperti Bibi. Hanya saja aku dipaksa menikah dengan Mas Randi."
"Iya kasihan Nyonya Nora."
"Aku juga sebenarnya tidak tau siapa Mas Randi, yang aku tau dia itu orangnya pendiam."
"Iya Tuan memang beda sama yang lain, kalau dibandingkan dengan adiknya. Dia cenderung suka menyendiri dan pergi jarang ada dirumah. Saya kira setelah menikah dia akan betah dirumah tetapi tetap saja ya."
"Mungkin karena aku bukan istri yang dia harapkan Bi."
"Bukan begitu Nyonya itu baik cantik tapi kenapa kok malah disia-siain ya."
"Aku juga seperti orang yang tidak berguna ada disini Bi, rasanya kalau boleh memilih aku akan memilih untuk tidak menikah dengannya. Tapi Ibuku memaksaku." belum selesai aku bercerita air mataku terjatuh dan menetes di pipiku.
Bi Ijah dengan sigap mencoba untuk menenangkanku di sandaran bahunya. Terkadang ketika mulut kita tidak bisa berbicara sepatah katapun kita itu cuma butuh sandaran yang bisa menenangkan kita. Dengan bersandar sejenak dan tercurahnya air mata akan membuat hatiku merasa sedikit tenang.
"Nyonya jangan menangis sudahlah ini adalah takdir hidup, siapa tau nanti suatu saat akan ada pelangi setelah hujan, yah aku sih kurang paham sih artinya apa pelangi setelah hujan heheh tapi mungkin kalau Ijah artikan si akan ada senyuman kebahagiaan."
"Bibi benar mungkin suatu saat Allah akan mendatangkan kebahagiaan untukku."
Aku menatap wajah Bibi yang sekilas mirip dengan wajah Ibu. Aku kangen dengannya melihat senyuman Bibi aku teringat senyuman Ibu yang biasa menggodaku dikala aku sedih. Tapi kesan terkahir Ibu ketika memintaku untuk menikah memang sempat membuatku kecewa. Tapi bagaimanapun juga dia adalah orang yang berjasa di dalam hidupku.
"Bi aku ke kamar dulu ya, Bibi jangan capek-capek cepat istirahat." pintaku sambil meninggalkan dia.
Di kamarpun aku masih kepikiran ada dimana sebenarnya suamiku setiap malam. Kenapa dia selalu pergi tanpa ada yang tau dan mencarinya. Aku yang mulai gelisah dengan keberadaannya mulai panik. Bagaimana kalau terjadi sesuatu kepadanya karena dia pergi setelah berdebat dengan Ayah dan Ibu mertuaku. Bagaimana kalau dia meninggalkan aku sendiri disini. Pikiran kacauku satu per satu menghinggapi perasaanku. Entahlah aku sudah merasakan hal yang tidak enak dengannya. Aku merasa ketakutan untuk apa yang dia alami saat ini diluaran sana. Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan saat ini, mataku tidak dapat terpejam karena sudah tidur dari sore. Hatiku gelisah tidak karuan dengan bayangan-bayanganku sendiri.
Tiba-tiba ada suara "Cekrek" pintu kamarku terbuka pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments