Badai Cinta

Badai Cinta

Pertemuan

Malam itu aku merasakan kegelisahan yang sangat luar biasa. Bagaimana tidak besok pagi aku akan bertemu dengan lelaki yang akan menjadi suamiku. Aku akan menikah dengan lelaki yang tidak aku kenal sama sekali. Bahkan melihat wajahnya saja aku tidak pernah. Aku mondar mandir berjalan di depan lemari yang sudah terlihat reyot. Gubuk rumahku ini memang sangat sederhana. Di antara orang-orang yang tinggal di kampung ini akulah satu-satunya orang yang tergolong tidak mampu. Orang tuaku harus menghidupi saudara-saudaraku yang masih kecil bahkan ada yang balita. Aku adalah anak kedua dari lima bersaudara. Kakakku sudah menikah dan tinggal dengan suami pilihannya sendiri, sementara aku harus menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku. Ayahku telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku hanya tinggal dengan Ibuku dan ketiga adikku. Ibuku bekerja seharian demi mereka, aku yang sudah beranjak dewasa pun juga harus membantu Ibuku untuk mencari nafkah. Aku berhenti sekolah sejak lulus sekolah dasar. Tidak ada biaya untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Aku pun setiap hari hanya makan sekali saja demi berbagi dengan adik-adikku yang masih kecil. Kasihan jika mereka yang harus menahan lapar dengan usia yang masih dini.

Nora adalah nama yang diberikan untukku, aku menyukai nama itu tetapi teman-temanku sering mengganti namaku dengan sebutan mereka sendiri. Dora adalah panggilan di kampung halamanku. Selain rambutku yang pendek wajahku juga bulat. Teman-temanku sering mengejekku dengan keadaanku yang sekarang. Ibuku sering berkata kepadaku menikahlah dengan orang yang kaya agar hidupmu tidak selalu diejek dengan tetanggaku. Lelaki yang ada di kampung ku saja enggan untuk melihatku. Mereka bahkan sering mengejek paras ku yang sangat hitam dengan rambut yang keriting juga dekil. Wajar saja mereka memperlakukan aku seperti ini halnya. Tetapi aku selalu berdoa agar suatu saat nanti aku bisa berada di atas mereka yang selalu mengejekku.

"Nora kenapa kamu tidak tidur ini sudah larut malam?" tanya Ibu menghampiriku dengan langkahnya yang pelan. Aku melirik ke arah Ibu yang sedang duduk di kamarku.

"Ibu aku takut."

"Takut kenapa?"

"Rasanya Nora masih belum sanggup untuk menikah."

"Ibu sudah mempersiapkan lelaki yang akan menikahimu. Dia adalah orang yang baik."

"Ibu yakin dia orang baik atau karena dia kaya?" tanyaku mendesak dengan nada yang sedikit kasar.

"Nora kamu harus mau dengannya Ibu yakin kamu pasti akan hidup lebih baik jika menikah dengannya." mendengar jawaban itu aku hanya menghela nafas panjang, rasanya percuma untuk berdebat dengan Ibu kali ini. Karena aku yakin Ibu pasti memilih dia karena dia kaya. Bukan memikirkan bagaimana baiknya denganku. Yang dia pikirkan hanyalah harta yang bisa membahagiakan aku. Sebenarnya bukan harta yang aku harapkan di dalam pernikahan ini. Tapi apa boleh buat aku hanya bisa pasrah dengan keadaan ini.

Malam itu aku melihat setiap jarum jam berputar, rasanya mataku enggan sekali untuk terpejam. Aku ingin sekali berlari dari kenyataan ini. Entah apa yang merasuki pikiranku kali ini aku berniat untuk mengemas semua pakaianku. Ku endap-endapkan langkahku menuju pintu belakang rumahku. Aku membukanya pelan-pelan dan mulai kulangkahkan kakiku satu langkah. Satu langkah aman akhirnya aku melangkahkan kakiku berikutnya.

"Plaaakkkk." kepalaku tertimpuk dengan kayu bambu yang kecil.

"Mau kemana kamu Nora? mau kabur?"

Aku melirik ke arah suara tersebut aku melihat Ibuku sudah berada di belakangku dengan membawa kayu. Matanya melotot ke arahku dan tangannya menggenggam erat tanganku.

"Eh Iii Ibu." jawabku lirih ketakutan.

"Kembali ke kamarmu jangan pernah coba-coba untuk kabur dari rumah ini. Mau ditaruh dimana mukaku kalau kamu pergi meninggalkan rumah ini!" kali ini Ibu benar-benar marah kepadaku akupun hanya tertunduk dan terpaksa harus ikut dengannya untuk kembali ke dalam kamarku. Kuletakkan semua baju yang ada di dalam tas yang sudah kukemas tadi.

"Tidur sekarang jangan coba-coba untuk kabur!" Ibu mengunci kamarku dari luar dan aku berusaha untuk berontak.

"Jangan kunci pintunya Bu, dor dor dor." aku berteriak dari dalam kamarku dengan menangis.

"Diam Nora ini sudah malam nanti tetanggamu bangun dan marah jika kamu tidak berhenti berteriak!"

Mendengar jawaban itu rasanya sangat percuma aku berteriak. Pintu kamarku sudah terkunci dari luar. Aku sudah tidak mempunyai cara untuk pergi dari rumah ini. Semalaman aku menangis tersedu-sedu meratapi nasibku. Berkali-kali aku memanggil nama Ayah yang sudah meninggalkan aku.

'Ayah jika saja kamu masih bersamaku mungkin hidupku akan jauh lebih baik dari ini. Ayah aku rindu kamu Yah, aku ingin bertemu denganmu Yah. Yah tolong aku Yah, tolong Nora.'

Tangisanku masih terisak di malam purnama ini. Aku melihat ke arah jendela dan masih meneteskan air mataku. Rasanya air mata ini terbuang sia-sia. Sampai pagipun telah menyinari bumi aku masih tergeletak di lantai yang sangat dingin.

Ibu membangunkanku dengan membuka pintu dengan keras. Dia masih kesal dengan tingkahku yang berniat untuk kabur kemarin. Wajahnya sudah bisa kubaca dengan jelas bahwa dia marah denganku. Aku bergegas untuk pergi ke kamar mandi membasuh mukaku. Ibu yang melihatku ke kamar mandi segera memberiku handuk.

"Cepat mandi sebentar lagi calon mertuamu akan datang kerumah." suara Ibu masih lantang sekali.

Aku yang masih kecewa hanya menganggukkan kepalaku. Aku masuk ke dalam kamar mandi sementara Ibu yang ada di dapur masih terus melanjutkan ceramahnya yang membuat telingaku bising. Rasanya ingin sekali aku berteriak dan marah dengannya, tapi aku sama sekali tidak berani melakukannya. Tubuhku lemah hatiku lemah aku tidak kuasa untuk membentak seseorang yang sudah berjuang untuk melahirkanku ke dunia ini. Aku mengguyur tubuhku bukan hanya dengan air melainkan tubuhku terguyur dengan air mata yang tiada henti mengalir di pipiku. Air mata ini adalah saksi dimana aku harus menjalani hidupku ke depannya. Entah apa yang akan terjadi dengan hidupku di kemudian hari. Kebahagiaan yang diidamkam oleh Ibuku ataukah kesedihan seperti bayanganku. Aku hanya bisa berpasrah dengan takdir yang akan datang menjemputku.

"Nora cepat mandinya." teriakan Ibu membuatku terhenti untuk membayangkan bayangan masa depanku.

Aku segera bergegas mengambil handukku dan pergi ke kamar untuk ganti baju.

"Pakai baju yang sopan pakai kerudung." masih saja terdengar suara Ibu yang berteriak.

Aku mengambil baju yang ada di paling bawah. Baju yang tidak pernah aku pakai sehari-hari. Baju ini menurutku baju yang paling bagus di antara yang lainnya. Aku mengenakannya dan melihat tubuhku di depan kaca. Kulihat diriku dari atas sampai ke bawah. Rasanya ini cukup sopan untuk bertemu dengan tamu. Aku keluar dari kamar dan berdiri di samping Ibu yang sedang mempersiapkan makanan untuk menjamu mereka.

"Nanti jangan sampai berkata hal yang membuat Ibu malu, ingat pesan Ibu kamu harus mau menikah dengan anak mereka."

"Iya Bu." jawabku kaku.

"Jangan tunjukkan kesedihan kamu di depan mereka."

Aku segera mengusap air mataku yang masih menetes. Semuanya sudah siap kami duduk di ruang tamu menunggu tamu yang akan datang. Rasanya hatiku masih terasa sangat sesak. Ingin rasanya aku pergi dan berlari meninggalkan semua ini. Rasanya aku ingin tertidur dan berdoa agar semua ini adalah mimpi. Tapi rasanya aku benar-benar ada di dunia nyata. Kucubit lenganku dan rasanya sakit. Ya Allah ini bukan mimpi tapi ini nyata tolong hapus skenariomu di bagian ini saja Ya Allah. Rasanya aku tidak sanggup untuk menjalaninya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!