Meminang

Setelah beberapa lama kita menunggu akhirnya yang dinanti-nantikan telah datang. Aku melihat ada beberapa orang yang datang ke rumah. Aku sulit menerka siapakah di antara mereka yang akan menjadi pendamping hidupku. Aku mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam rumahku. Ibu menjamu mereka dengan sangat ramah. Aku juga melontarkan senyuman kepada mereka semua. Satu per satu kuperhatikan dengan seksama. Tapi aku masih belum bisa menerka siapa di antara mereka yang akan melamarku. Aku menundukkan wajahku dengan sedikit gugup. Tanganku mulai dingin dan berkeringat. Rasanya aku ingin berbicara tetapi mulutku terasa terbungkam. Aku hanya diam dan mendengar pembicaraan mereka. Sampai pada pangkal pembicaraan ternyata lelaki yang tepat ada di depankulah yang akan melamarku hari ini. Dia seorang lelaki dengan rambut panjang dan kulitnya hitam. Aku menghela nafas panjang ketika mengetahui dialah yang akan menjadi suamiku nanti. Bila saja bisa memilih aku lebih memilih saudaranya yang ada disampingnya. Tetapi aku tidak bisa menolak permintaan mereka. Aku hanya menganggukkan kepalaku di hadapan mereka. Walaupun sebenarnya hatiku meronta-ronta untuk menolaknya. Aku tidak ingin menjadi istri dari lelaki itu. Kenapa harus dia yang akan melamarku. Melihat wajahnya saja aku enggan sekali. Rambutnya terurai panjang dan pirang. Dia tersenyum kepadaku dan aku membalasnya dengan senyuman tipis setipis kertas yang akan robek.

'Ya Allah andai saja aku bisa menolak perjodohan ini.'

"Nora coba kamu perkenalkan diri kamu di hadapan calon mertua dan suami kamu." ucap Ibu yang membuatku terkejut.

"Eh Ibu tapi...."

"Sudahlah tidak apa-apa kelihatannya Nora ini adalah gadis yang pemalu ya?" sahut calon mertuaku.

Aku menganggukkan kepalaku dan melontarkan senyuman kepadanya.

"Ini adalah calon suami kamu Nora yang berada tepat di depan kamu namanya Randi. Memang rambutnya agak panjang tapi dia hatinya baik kok. Hanya wajahnya saja yang agak menyeramkan." ucap calon mertuaku.

"I..iya Bu." jawabku sambil mengangguk.

"Nanti kalau kalian ada waktu sering-seringlah untuk bertemu agar kalian tidak canggung." tambahnya lagi kepadaku.

Lagi-lagi aku hanya bisa menganggukkan kepalaku.

"Nora kamu bersediakan menjadi menantu Ibu?"

"Ehmm Ehmmm."

"Nora jangan diam saja jawab pertanyaan mertua kamu." Ibuku menepuk pundakku.

"I...iya Bu."

"Alhamdulillah akhirnya kamu bersedia menerima lamaran ini, rasanya Ibu sangat lega sekali mendengarnya."

"Iya saya juga senang mendengarnya." tambah Ibu yang sedang merangkul pundakku.

"Kalau begitu kita akan tentukan tanggal pernikahannya secepatnya." tambah calon mertuaku.

"Bagaimana kalau minggu depan?" Ibu memberikan pertanyaan yang membuatku sangat terkejut.

"Ibu apa tidak terlalu cepat?" tanyaku lirih.

"Saya setuju." jawab calon Ibu mertuaku.

"Nah kalau sudah setuju semua ya sudah kita akan resmikan pernikahan ini secepatnya."

Mendengar hal itu rasanya hatiku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Aku ingin berlari dari kenyataan ini. Aku tidak ingin semua ini terjadi kepadaku. Kenapa semua ini menimpa hidupku Ya Allah. Rasanya tidak ada keadilan yang ada di dunia ini. Aku memberanikan diri untuk menatap Mas Randi yang dari tadi tidak mengeluarkan suara apapun. Aku melihat wajahnya yang biasa saja, tidak ada ekspresi sama sekali di wajahnya. Mungkin bukan hanya aku yang tidak menerima perjodohan ini tapi mungkin Mas Randi juga tidak menginginkannya. Aku kembali menundukkan kepalaku dan membiarkan mereka memperbincangkan tanggal pernikahan kita. Minggu depan itu bukan waktu yang lama, ini terlalu singkat bagiku. Namun jika aku tidak mengiyakannya aku takut dengan ancaman Ibu semalam. Kali ini aku telah berpasrah dengan takdir yang telah ditentukan untukku.

Pertemuan telah selesai aku melepas bajuku yang aku kenakan barusan. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Rasanya percuma jika aku menentang semua ini. Tanggal dan harinya saja sudah ditentukan oleh semuanya. Persiapan yang akan dilakukan oleh Ibu juga sudah matang. Walaupun pernikahanku nantinya hanyalah sekedar ijab kabul saja. Tidak ada acara yang akan diselenggarakan disini. Resepsi yang akan dilaksanakan berada di rumah calon suamiku. Aku menghapus bedak yang baru saja aku pakai di wajahku. Adikku Lara menghampiriku dan memelukku.

"Kak yang sabar ya aku tau kamu pasti tidak suka dengan pernikahan kamu, tapi kamu takut dengan Ibu kan mangkanya kamu menerimanya?"

"Lara ini semua sudah menjadi garis takdir Kakak."

"Lara sedih mendengarnya Kak begitu juga Adik yang lain."

"Sudahlah kalian masih terlalu kecil kalian tidak mengerti sayang."

"Vino dan Dio semalam mendengar Kakak dimarahi Ibu. Mereka ikut sedih Kak kenapa sih hidup kita semiskin ini sampai Kakak harus dijodohkan dengan lelaki tua itu?"

"Sssttt sudahlah Lara ini memang salah Kakak membuat Ibu marah sama Kakak."

"Tapi Kak Lara kasihan sama Kakak."

"Sudahlah Lara kamu kembali ke kamar kamu gih, lanjutin belajar kamu anggap saja kalau Kakak baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan hidup Kakak begitu juga dengan Ibu. Ibu pasti melakukan ini semua demi kebaikan Kakak. Kamu jangan khawatir ya." aku memberikan senyuman palsu kepada adikku yang masih kecil yang masih belum mengerti arti kehidupan yang sebenarnya.

Lara kembali menuju ke kamarnya sedangkan aku masih saja menatap wajahku di depan cermin yang tak pernah menjawab jika aku bertanya kepadanya. Cermin kau adalah saksi pertama yang melihat tetesan air mataku terjatuh di pipiku. Air mata yang sudah kesekian kalinya menyapu wajahku dengan sendirinya. Aku tidak menyangka bahwa minggu depan adalah hari pernikahanku dengan Mas Randi yang sama sekali tidak aku kenal. Bahkan untuk bertemu saja hanya barusan dia juga tidak mengajakku untuk mengobrol sepatah katapun. Bagaimana jika nanti aku menjadi seorang istri di sampingnya. Jujur saja melihat wajahnya saja aku sudah ketakutan. Apalagi harus tinggal seatap dengannya. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepadaku nantinya.

"Kriekkkk" Ibu membuka pintu kamarku yang belum terkunci.

"Nora kenapa kamu belum tidur?"

"Tidak apa-apa Bu."

"Ingat minggu depan adalah hari pernikahan kamu, kamu tidak boleh mengecewakan Ibu. Awas kalau kamu berniat kabur seperti semalam."

"Iya Bu."

"Kamu sudah makan?"

"Sudah." jawabku lirih.

"Ya sudah kamu tidur sudah malam."

Ibu memang mempunyai watak yang keras tapi dia adalah sosok Ibu yang perhatian kepada anaknya. Sebenarnya dia adalah Ibu yang baik hanya saja karena keadaan yang menekan dia untuk menjodohkanku. Dia tidak ingin anaknya hidup susah, namun caranya saja yang salah. Dia hanya ingin melihatku makan selayaknya dan hidup layak. Namun bagiku kebahagiaan itu tidak diukur dari harta. Entahlah apakah aku akan bahagia atau tidak dengan pernikahanku nanti. Aku hanya berharap suatu saat nanti ada keajaiban yang bisa membuatku tersenyum dengan lepas. Senyuman yang sudah kurindukan sejak dulu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!