Tidak ada yang salah dengan kehidupan Emil saat ini. Pria itu berhak mendapatkan kebahagian yang sempurna, meski bukan dirinya yang menjadi pelengkap kebahagian itu. Terlalu tak tahu diri, jika dia berpikir Emil akan tetap mencintainya. Padahal, dulu dia sendiri yang memutuskan untuk pergi.
Seharusnya Chika bisa menerima ini. Memahami jika Emil mampu mencintai wanita lain usai kepergiannya. Tapi, rasanya kenapa begitu sakit, ketika melihat wanita itu di depan rumah Emil? Rasanya begitu sulit untuk menelan kembali air liurnya, tenggorokannya tercekat, air matanya nyaris terjatuh, kalau saja dia tidak mengedipkan matanya.
"Jalan saja, Pak!" perintah Chika pada sopir taksi. Dia tidak mau kehadirannya di sini disadari oleh Emil. Pria itu tidak boleh melihat dirinya.
Biasanya setiap ada waktu senggang, Chika akan melihat rumah itu, berdiri di depan pagar. Membayangkan sosok mantan suaminya sedang duduk santai di taman. Sayangnya, dia tidak pernah menjumpai itu. Rumah itu dibiarkan kosong selama bertahun-tahun oleh pemiliknya. Dan pagi ini, untuk pertama kalinya rumah itu berpenghuni. Namun, semua jauh dari yang diharapakan.
"Mommy angis?" seorang gadis kecil bertanya dengan nada polos. Bulu matanya berkedip berulangkali, seakan mencari kepastian dari raut Chika saat ini.
"Enggak, Mommy enggak nangis, kok!"
"Keyiyipan?!" ledeknya sambil mengusap air mata yang tumpah di sudut mata Chika. "Mommy jangan bo'ong, ya! jangan angis agi!"
Wanita itu tidak menjawab, dia justru menciumi puncak kepala gadis itu. Suara Chika tercekat, rasa sesak seakan ikut menghimpit di tenggorokannya, membuat dia tak mampu berbicara.
"Kayau mommy angis. Ayin nggak au cetulah!" ujarnya dengan suara tak jelas. Mungkin orang yang baru mengenal Airin tidak akan paham gadis itu berbicara apa. Namun, ini seorang Chika, wanita penyabar ketika menghadapi anak-anak.
Pelukan Chika semakin erat. "Airin mau ke MD nggak? atau Airin mau jalan-jalan ke Hartono Mall? kita bisa bikin bola salju di sana. Airin mau?" bujuknya, saat melihat wajah Airin cemberut.
"Tapi hanji, mommy nggak angis agi!" Airin mengulurkan kelingkingnya di depan wajah Chika. "atu tedih loh!" ungkapnya, sambil membenarkan anak rambutnya yang berantakan.
"Iya, Mommy janji. Nggak akan menangis lagi, di depan Airin."
Melihat wajah gadis itu sumringah, perasaan Chika semakin lega. Mungkin ini waktu yang tepat untuknya, melupakan masa lalu dan fokus apa yang ada di depan mata. Tidak terus menerus menyesali semuanya yang telah hilang.
Taksi yang mereka berdua tumpangi berhenti di salah satu sekolah Yayasan. Usai membayar Chika bergegas membawa Airin untuk masuk ke gedung sekolah. Sebenarnya, mereka berdua sudah terlambat. Namun, karena Airin sendiri putri dari pemilik yayasan. Jadi, siapa yang akan berani memarahinya.
"Kalian sudah sampai? Baru saja aku bersiap menjemput kalian." seorang pria tegap menghampiri Airin, lalu menggendong gadis yang baru berusia 4 tahun itu.
"Iya, baru sampai kok, Mas." Chika menjawab, lalu berjalan sejajar dengan pria tersebut. "urusannya sudah selesai?" lanjutnya bertanya.
"Belum sih, tadi aku izin keluar, rencana mau jemput kalian. Eh malah sudah di sini!" jelas pria itu.
"Airin mau ikut Mommy? atau ikut papi?"
Gadis itu tampak berpikir keras, seakan pilihan yang dilontarkan Chika itu memberatkan dirinya. "Mommy! Ayin mau itut Mommy!"
"Iya, deh. Papi ngalah kalau gitu. Airin hari ini ikut mommy!" pria itu kembali menurunkan tubuh Airin, lalu menatap ke arah Chika. "Misal Airin ganggu. Antar saja ke ruanganku."
"Tenang, Mas. Hidupku lebih banyak menyulitkanmu ketimbang mengurusi Airin!"
Pria bernama Ibnu Gangga Kusuma itu tersenyum tipis. Lalu bergegas kembali ke ruang rapat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Abie Mas
chika udh move on ya pnya suami dan anak
2022-07-18
0
Riyanacon
baru baca nih kak ella jd msh blm ketemu silsilah nya🙏🙏😁
2022-06-25
1
@Ani Nur Meilan
Apa Chika udah nikah lagi???🤔🤔
2022-06-20
0