Tubuh Ineke membeku, wajahnya sesaat berubah pucat pasi. Tapi sayangnya tak mampu dilihat oleh Emil. Pria itu terlalu fokus memasukan barang-barangnya ke koper.
“Jangan bicara sembarangan, Emil! Mama tidak tahu tentang istrimu itu!” Inneke seakan tidak terima dengan tuduhan Emil, wajahnya merah padam menunjukan kemarahannya. Tanpa mengucapkan kalimat lagi, Inneke berjalan meninggalkan kamar Emil.
Usai melihat pintu kamarnya tertutup rapat, tangan Emil melempar kasar baju di tangannya. Padahal ia berharap bisa menemukan hal baru setelah mencetuskan tuduhan itu. Tapi, mamanya justru menghindar.
Seolah menyadarkan dirinya, jika kepergian Chika itu murni akibat kesalahannya. Bukan karena siapapun! Baik mama maupun Sheva.
“Pak Emil, barang-barang Sheva sudah siap!” seru seorang wanita dari balik pintu kamar, memberitahu.
“Tunggu di bawah aku akan segera turun,” sahutnya pada baby sitter Sheva.
Sejak istrinya pergi dari rumah, wanita itu dipekerjakan olehnya. Kania masih muda tapi sangat sabar dalam mengasuh Sheva. Dia begitu tulus mengasuh putranya hingga detik ini.
"Baik, Pak."
Emil cepat-cepat membereskan barangnya. Setelah semua selesai, ia lekas turun ke lantai satu, bersiap membawa putranya pergi dari Jakarta.
“Sheva, kasih salam sama Kakek dan nenek!” titahnya yang langsung dijawab anggukan kepala.
Anak kecil itu mendongak menatap wajah Ineke. Kemudian mencoba meraih telapak tangan sang nenek, bibir mungilnya mengecup punggung tangan wanita tua tersebut. Sampai Ineke merasa risih dan langsung menjauhkan tangannya. Wanita itu tampak kesal saat kecupan Sheva terasa basah di punggung tangannya.
“Sheva jangan nyusahin papa. Di sana papamu bekerja dan bakalan sibuk di toko!” pesan Yoga, sebelum anak kecil itu mencium tangannya. Sedangkan anak itu hanya bisa mengangguk. Terlalu lama jika dia harus menulis sesuatu di kertas.
Emil yang melihat tingkah mereka, tidak ingin berpamitan dengan kedua orang tuanya. Hatinya terkulai oleh sikap kedua orang tuanya. Ia pun langsung berjalan keluar rumah, membantu satpam memasukan koper- kopernya ke mobil.
Setelah semua siap Emil lekas meminta sang sopir untuk mengantarnya ke bandara. Kehidupan barunya bersama Sheva dimulai.
***
Cahaya matahari nyaris menghilang saat mobil Emil berhenti di depan bangunan rumah putih. Rumah sederhana dengan halaman luas dan rumput hijau yang tumbuh subur di sana. Dia sudah tidak sabar bermain bola bersama Sheva. Berteriak sekerasnya tanpa takut akan dimarahi tetangga.
Sudah lama Emil tidak datang ke tempat ini. Rumah yang dia beli 10 tahun silam. Tentu dari keringatnya sendiri. Bahkan, ia tak yakin kedua orang tuanya tahu tentang rumah tersebut.
“Alhamdulillah, mas Emil sudah datang ...” ucap seorang wanita yang berdiri menyambut kedatangan Emil.
“Putranya mana, Mas. Nggak dibawa?” selidiknya menatap ke arah mobil yang tadi mengantar Emil.
“Tidur, Bu.”
Wanita itu mengangguk, membantu Emil membawa barang-barangnya.
“Kamu bisa gendong Sheva, Nia. Biar aku yang bantu Bu Suti!” titahnya saat melihat Kania hendak menarik koper.
“Saya sudah masak makan malam buat Mas Emil dan Den kecil. Setelah ini, ibu mau pulang ya.”
“Hm, terima kasih, Bu,” ucapnya sopan.
“Bu, kalau ibu berkenan, berhubung saya sudah tinggal di sini bisakah ibu dan bapak ikut tinggal di sini juga? Masalah bayaran berapapun akan saya beri asal ibu dan bapak ikut tinggal di rumah ini.”
Bu Suti melangkah sambil menarik koper kecil milik Sheva. “Saya akan bicarakan dulu dengan bapak, Mas.”
“Makasih ya, Bu! Setidaknya Sheva punya keluarga baru di tempat ini! Dia pasti akan senang.”
Bu Suti mengangguk. “saya juga senang kalau punya keluarga baru, Mas. Semoga Mas Emil dan si kecil kerasan ya!”
Obrolan singkat itu berakhir. Emil memasuki kamar yang sudah dirapikan oleh bu Suti. Ia membuka ponselnya menatap nama Chika yang menjadi nama teratas di phonebooknya.
“Sebelum, maghrib aku tiba di Solo. Masih ingat nggak kamu dengan rumah ini? Kamu pulang ke sini ya? Sheva tertidur. Aku enggak tahu anak kita bakalan betah atau tidak!” Pesan itu kembali terkirim. Tapi masih sama seperti kemarin, hanya centang satu yang terlihat.
Selesai membersihkan diri, Emil keluar dari kamar untuk makan malam. Saat ia berjalan ke arah dapur, ia melihat Sheva duduk di depan tv bersama Kania.
“Sheva sudah makan, Nia?”
“Sudah, Pak! Dia baru belajar. Lahap sekali makannya,” jawab Kania, menatap Emil.
“Sheva, besok kita cari sekolah baru ya ....” Sheva hanya mengangguk lemah tanpa menatap Emil. Dia masih sibuk dengan soal yang diberikan Kania. Anak itu masih rajin belajar meski tahu saat besok pagi membuka mata, sang papa tidak akan memaksanya untuk pergi sekolah.
Malam semakin larut, setelah Kania menidurkan Sheva. Ia berniat untuk pergi ke kamarnya. Namun, saat melewati ruang keluarga ia melihat pintu depan terbuka lebar. Dengan santai ia berjalan ke arah pintu tersebut.
Tubuhnya terkesiap saat melihat bayangan Emil duduk di kursi teras. “Ya ampuun, Bapak! Bikin Nia kaget.” Bibirnya menggerutu.
Emil yang tengah duduk menoleh ke arah Kania. “Sheva sudah tidur?”
“Sudah, Pak. Kelelahan.”
“Nia.”
“Ya. Kenapa, Pak?”
Emil mematikan puntung rokok di tangannya, lalu menatap Kania lembut. “Menurutmu ... Apa Sheva ... tidak akan bisa bicara selamanya? Guru Sheva yang di Jakarta menyarankan untuk menyekolahkan di SLB. Bagaimana menurutmu?”
Kania termangu menatap Emil. “Sheva punya otak cerdas. Dia bisa mengerti apa yang disampaikan oleh gurunya. Kenapa mereka mengatakan itu?” Ada nada kesal saat Kania mengatakan itu. “Bapak percaya saja, jika Sheva diasuh dengan tepat. Dia akan secepatnya bisa berbicara.”
“Tapi dia hampir 6 tahun.”
“Sheva tidak akan mati besok, Pak! Waktu Sheva masih banyak. Jangan memvonis Sheva seumur hidupnya tidak akan bisa berbicara!” Kania menarik napas dalam. “Maaf kalau saya bicara kasar. Tapi, Bapak juga harus percaya, kalau Sheva anak pintar. Jangan justru membuat Sheva terlihat tidak berarti apa-apa!”
Emil diam, jemarinya dengan pelan menyugar rambutnya kebelakang. “Terima kasih sudah mengingatkan aku. Jujur aku kesal saat mendengar ucapan mereka. Aku bisa saja kuat. Tapi Sheva? Bagaimana dia melewatinya nanti.”
Suasana kembali hening, sampai suara dedaunan yang bergoyang diterpa kencangnya angin terdengar di pendengaran mereka berdua.
“Pak Emil sudah makan?” Kania bertanya pelan. Emil hanya mengulum senyuman tipis. “Bapak harus makan! Bu Suti sudah masak banyak hari ini.”
“Apa kamu mau menemaniku makan malam?” tawar Emil.
“Emmm ... boleh, Pak?”
“Tentu.” Emil beranjak. “Jangan samakan di sini dengan Jakarta. Anggap saja ini rumahmu sendiri!” Emil berjalan memasuki rumah. Sedangkan Kania masih menatap punggung Emil yang semakin menjauh dari pandangannya.
“Wanita mana yang sudah tega membuang pria seperti ini?!” Ia mengikuti jejak langkah Emil, yang memasuki rumah. “Bodoh!” gumamnya, dengan sudut bibir tertarik ke atas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
fima12
kok gak kamu nikahin aja Kania emil, kek nya dia baik kok
2022-08-20
0
Abie Mas
kemasi aja emil utk kania
2022-07-18
0
️W⃠️️CeMeRLa️nG🌹
sheva mengalami speech delay biasanya terapi dan konsul dengan dokter yg tepat akan sangat membantu proses bicara si anak
2022-07-12
0