Bukan suara kicauan burung yang membangunkan Emil pagi ini. Bukan pula sinar mentari yang menerobos masuk melalui celah jendela kamar. Melainkan, sebuah gigitan kecil di lengan kanan yang terasa menusuk pori-porinya. Ia cukup paham siapa pelakunya, jadi membiarkan saja sampai Sheva bosan melakukan hal itu.
Meski kesadarannya sudah terkumpul sempurna, ia hanya mengusap kepala putranya dengan lembut, seakan memberi isyarat jika dia juga sudah bangun dari mimpi.
"Hem, bau apa ini ya? kok kaya bau parfum Sheva. Apakah Sheva udah mandi?" Emil melakukan kegiatan menghirup udara dalam-dalam, sambil perlahan membuka matanya. Begitu kelopak matanya terbuka lebar, pemandangan indah menyambutnya. Sheva tersenyum begitu lebar, lalu mendaratkan kecupan di keningnya. Seandainya kamu ada di sini, mungkin akan lebih baik lagi! batinnya, sesaat setelah Sheva menjauhkan bibirnya.
Senyum Sheva memudar dengan cepat. Emil yang melihat itu, ingin sekali memarahi Kania. Dia cukup paham penyebab Sheva murung. Pasti gara-gara seragam sialan ini. Sejak dulu Sheva memang menyukai belajar, putranya itu seolah mampu membaca keterbatasannya sendiri. Jadi dia harus pandai dalam bidang akademik. Padahal, Emil tidak pernah menuntut itu.
Kenapa nggak ditinggal saja, sih? Seragam ini kenangan buruk untuk Sheva, apa Kania sudah hilang kepekaan?! Helaan napas kasar keluar dari bibir Emil, tangannya dengan cekatan memeluk tubuh Sheva dengan erat.
"Sheva mau sekolah?".
Sheva mengangguk dengan cepat. Tangannya menarik-narik tangan Emil, seolah mengatakan pada sang papa untuk lekas beranjak dari ranjang.
"Oke, baiklah papa akan mandi dulu! Tapi, bisakah Sheva keluar kamar dulu? ini kawasan papa."
Emil versi kecil itu menggeleng, sambil menatap lekat ke wajah sang papa. Tangannya mendorong tubuh kekar itu untuk menjauh dari ranjang. Mengusir papanya untuk segera mandi.
Sebenarnya Emil sendiri masih bingung, harus memasukan Sheva ke sekolah mana. Terlebih, teman kenalannya di Solo tidak sebanyak di Jakarta yang bisa selalu up-to-date dalam memberinya informasi.
Dua puluh menit kemudian, Emil menggandeng tangan Sheva dan membawanya keluar kamar. Kaus berkerah warna putih serta celana jeans warna biru sudah membalut tubuhnya pagi ini. Frame kotak tampak membingkai wajahnya, menambah kedewasaan akan sosok Emilyan Caesar Handoko.
Kania yang melihat itu hanya mampu mengalihkan pandangan. Alarm ditubuhnya berbunyi, memperingati supaya tidak jatuh hati pada sang majikan. Terlebih itu papanya Sheva. Big No! Ada alasan tersendiri kenapa dia tidak boleh jatuh hati pada sosok Emilyan, dan tentu itu hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"Pak Emil, ini ada rekomendasi sekolah yang baik untuk Sheva!" Kania meletakan buku kecil di depan Emil.
"SLB atau YPAC?" Emil berusaha menebak, walau belum membaca sedikitpun catatan yang diberikan Kania.
"Bukan, Pak. Sekolah ini memang tidak begitu favorit. Tapi, kemungkinan besar bisa menerima kondisi Sheva. Kita akan menjelaskan secara detail kondisi Sheva saat ini. Sheva sudah bisa membaca, meski kita tidak pernah mendengar suaranya. Tapi itu dibuktikan; Sheva bisa menulis apa yang kita ucapkan!" Kania menatap Sheva yang sedang memperhatikannya. Ia pun mengulas senyum berusaha memupus kekhawatiran Sheva. Ia paham Sheva tidak suka dimasukan di sekolah anak berkebutuhan khusus.
"Kamu mau ikut?" selidik Emil, sembari menyuap makanan ke dalam mulutnya.
"Apa Bapak bisa menjelaskan dengan tenang pada guru Sheva?" Kania menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengambilkan sarapan untuk Sheva. "Semisal Bapak merasa sanggup mengatasinya. Saya akan menunggu di rumah."
"Kalau begitu kamu ikut saja! Aku tidak yakin bisa mengatasi orang-orang baru. Takutnya aku justru menghajar mereka karena menghina putraku." Ya, Sheva bisa saja tahan. Tapi, hatinya tidak sekarang Sheva.
Kania menganggukan kepala. Lalu duduk di sebelah Sheva, menemani anak asuhnya itu makan.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Emil meminta Kania dan Sheva untuk masuk mobil terlebih dahulu. Karena dia perlu mengambil ponselnya yang tertinggal di dalam kamar.
Dengan perasaan gembira Sheva berlari melompat-lompat menuju mobil. Kania yang melihat itu hanya menggeleng, menahan tawa.
"Masuk dulu, Shev! kita tunggu papa Emil di dalam!" Perintahnya sembari membuka pintu bagian penumpang, tentu saja pria kecil itu menurut. Dia langsung masuk dan duduk manis di kursi belakang.
"Nanti ... di sana jaga sikap ya! enggak boleh lari-lari kaya gitu, oke!" pesannya, sembari mengusap wajah Sheva dengan tisu basah.
Saat Kania hendak menutup pintu, pandangannya tak sengaja menemukan sebuah taksi yang berhenti di depan halaman rumah Emil. Sayangnya, saat dia hendak menghampiri mobil tersebut. Taksi warna biru itu justru kembali melaju.
"Ada masalah, Nia?" suara Emil mengejutkannya, cepat-cepat dia menutup pintu mobil bagian belakang. Lalu berpindah ke bangku samping kemudi.
"Nia, apa ada masalah?" ulang Emil, setelah duduk di bangku kemudi.
"Enggak kok, Pak. Di depan rumah tadi ada taksi berhenti, tapi saat Nia mau buka gerbang, taksinya pergi gitu aja, nggak jadi nurunin penumpang."
Emil tersenyum tipis. "bisa jadi salah alamat. Mau ke rumah tetangga sebelah, mungkin."
"Ya, bisa saja, Pak!"
Emil menatap Sheva dari kaca kecil di depannya. Merasa putranya sudah duduk dengan tenang di bangku penumpang, Emil lekas mengemudikan mobilnya, menuju tempat pertama yaitu, SD Harapan Bangsa. Berharap di sekolah yang baru, kondisi Sheva bisa diterima oleh guru dan teman-temannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Abie Mas
sklh baru
2022-07-18
0
☠ᵏᵋᶜᶟ尺მȶɦἶ_𝐙⃝🦜
jangan² yg naik taxi itu Chika🤔🤔Chika apa kamu g rindu sama sheva dan Emil😌😌
2022-06-18
0
Fa
sopo kuwi???
Chika🤔🤔🤔
2022-06-17
0