Jafar terbangun dengan rasa pening di kepalanya yang belum hilang. Kedua matanya menyelidiki seluruh ruangan yang sangat ia kenal. Jafar menatap punggung adiknya Ira, yang sedang membereskan kotak obat, bekas mengobati luka kakaknya.
"Kamu sedang apa?" tanya Jafar pada Ira.
Sontak Ira membalikkan badannya. Lalu, ia menatap sedih kedua mata kakaknya dalam-dalam. Ira merasa sangat bersalah karena membiarkan kakaknya bekerja terlalu keras sampai terluka seperti ini.
Seketika Ira menangis di depan kakaknya. Ia tidak bisa menahan air matanya itu untuk tidak keluar. Ia merasa sangat bersalah untuk Jafar.
Jafar sangat mengerti mengapa Ira menangis. Ia hanya bisa menghela nafas dan bangkit untuk memeluk adiknya dan menenangkan.
"Jangan menangis! Aku baik-baik saja. Berhenti menangis! Kamu sangat jelek kalau menangis," ujar Jafar.
"Maafkan aku... maafkan aku..." lirih Ira hanya itu yang mampu ia ucapkan saat ini.
"Kenapa kamu meminta maaf. Sudah sudah. Tidak papah."
Namun, Ira terus saja menangis dan tidak bisa berhenti. Hatinya terasa begitu sakit melihat kakaknya harus menderita sejauh ini.
Sementara Iskan hanya bisa menguping mereka dengan berpura-pura tidur. Walau terkadang Iskan egois, namun ia sangat mengerti dengan keadaan ini. Tanpa Iskan sadari, air mata keluar dari kedua sudut matanya.
Iskan hanya berpikir, kenapa hidup begitu tak adil kepadanya dan saudar-saudaranya. Ia hanya lelah dengan semua ini. Iskan selalu menyalahkan kedua orang tuanya untuk kehidupannya yang sekarang. Sehingga ia tidak bisa lagi mempercayai orang dewasa karena kedua orang tuanya yang tega meninggalkan mereka seperti ini dan pergi dengan ego mereka masing-masing, tanp peduli lagi padanya dan saudara-saudaranya.
Esoknya, Ira menyiapkan sarapan. Iskan dan Tina bersiap ke sekolah seperti biasa. Sebelum itu, Jafar dengan berat hati menghadapi Iskan ingin mengabarkan bahwa ia tidak bisa ikut study tour lusa nanti. Karena hari ini adalah hari terakhir untuk pendaftaran.
"Iskan? Kakak mau ngomong sesuatu..." ujar Jafar dengan gelagap.
"Aku tidak akan pergi. Karena itu, berhentilah bekerja terlalu keras dan jangan sampai terluka. Aku tidak papah," sela Iskan dengan wajah datarnya sambil melahap sarapannya.
Jafar merasa sangat bersalah karenanya. "Maafkan Kakak..."
Seketika Iskan menjadi marah mendengar permintaan maaf dan penyesalan dari Jafar. Ia melempar sendoknya di atas meja dan menatap sinis pada Jafar.
"Jangan meminta maaf! Aku sudah sangat muak dengan hidupanku. Jangan membuatku merasa lebih muak dengan bersikap seolah-olah kau menggantikan ayah! Ini sungguh menyebalkan. Aku hanya tidak ingin hidup seperti ini, tapi bukan berarti... kamu hatus terluka seperti ini!" bentak Iskan mengungkap perasaanya sambil menangis untuk kali pertamanya di depan Jafar.
Jafar tertegun mendengar ungkapan adiknya itu. Ia tidak bisa berkata apapun untuk menenangkannya. Sementara Iskan, langsung bergegas pergi ke sekolah setelah marah-marah pada Jafar.
"Iskan!" panggil Ira, namun Iskan tak mempedulikannya.
Tatkala Tina hanya diam mendengarkan dengan hati sedih. Tina berharap, kalau semua ini tidak pernah terjadi. Dan andaikan saja orang tua mereka tidak bercerai dan meninggalkan mereka. Mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.
"Sudahlah, nanti juga dia akan baik lagi seperti semula. Kakak istirahat saja untuk beberapa hari kedepan dan jangan bekerja. Setidaknya sampai kakak sembuh, apa kakak mengerti?" tukas Ira memperingati Jafar.
"Baiklah. Aku mengerti," balas Jafar mengiyahkan supaya Ira tak perlu mencemaskannya.
"Kakak jangan terluka lagi. Kakak harus berjanji kalau kakak tidak akan pulang seperti semalam," sambar Tina mengacungkan jari kelingkingnya.
Jafar tersenyum lebar untuk adik bungsunya itu dan menerima janji kelingkingnya.
"Iyah, kakak janji."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments