Sekitar 45 menit kemudian, barulah Dona sampai di kantornya. Dengan perlahan, ia mengarahkan mobil kecilnya ke parkiran yang ada di basement 1.
Berada dalam parkiran yang masih sepi, membuat jantung wanita itu mulai berdebar keras. Ingatannya kembali melayang pada kejadian hampir 5 tahun yang lalu. Hal ini membuatnya mulai berkeringat dingin, dan ia pun tergesa meraih tas tangannya. Ia mengeluarkan sebuah botol kecil dan hampir membukanya, ketika tangannya menggenggam botol itu dengan lebih erat.
Gigi-giginya bergemeretak keras. Jantungnya masih berdebar, tapi keringat dinginnya perlahan mulai menghilang. Perasaan panik mulai tergantikan dengan emosi lain. Pengalaman masa lalunya semakin lama bukannya semakin membuatnya trauma, melainkan rasa marahlah yang perlahan-lahan mulai muncul menggantikannya. Terutama sejak ia mengetahui kebenarannya sekitar 1 tahun lalu dari Michele.
Jika saja peristiwa satu tahun lalu tidak terjadi, mungkin ia sudah tidak ada di dunia ini. Dan mungkin, ia tidak akan memiliki tujuan lain dalam hidupnya.
Memandang botol di tangannya, Dona mengembalikannya ke dalam tas. Ia menggigit bibir bawahnya keras.
Tidak. Ia tidak akan menyerah semudah itu, b*ngsat! Kau lihat saja nanti, aku akan membalasmu suatu saat nanti. Aku akan membalasmu yang telah membuatku kehilangan semuanya!?
Beberapa menit kemudian, barulah Dona keluar dari mobilnya. Dengan tenang, ia melangkahkan kakinya ke arah lift yang akan membawanya ke lantai 45.
Baru saja ia meletakkan tas tangannya dan juga kantong plastik berukuran besar di meja, terdengar suara bentakan yang keras dari seorang wanita.
"Amari!? Akhirnya kau datang juga!"
Tampak seorang wanita berumur sekitar 4 tahun di atasnya menghampiri dirinya dengan terburu-buru. Ia membawa sebuah map tebal, yang sepertinya berisi laporan keuangan bulanan perusahaan.
Dengan kasar, wanita itu melemparkan map tebal itu di meja Dona sambil berteriak marah. Drama ini membuat beberapa kepala menoleh ke sumber suara, padahal situasi masih pagi dan para karyawan pun belum mulai bekerja.
Kejadian yang sudah biasa ini ditanggapi Dona dengan tenang. Selama bekerja di bawah Michelle Green, ia sudah terbiasa menghadapi kemarahan wanita itu yang tidak pada tempatnya. Entah mengapa, tapi sepertinya Michelle cukup terancam dengan dirinya, padahal ia sama sekali tidak pernah menunjukkan keinginan ambisius untuk menggantikan posisi wanita itu.
Berlagak polos, Dona mengerjap-kerjapkan kedua matanya. "Apalagi kesalahanku kali ini?"
Geram, Michelle menujuk map tebal itu dengan kukunya yang berkutek merah.
"Jumlahnya tidak sama dengan jumlah yang ada di sistem. Apa kau tidak mengeceknya dulu sebelum menyerahkan laporan ini!?"
Perlahan, Dona meraih laporan itu dan dengan cepat, matanya menangkap yang dimaksud oleh atasannya. Jari-jarinya pun dengan lincah mulai membuka layar komputernya dan mencari data-data yang dimaksud dalam emailnya. Saat menemukannya, bibirnya tersenyum samar.
"Kalau Anda lupa Michelle, ada dua piutang yang meminta pembayarannya diundur dua hari setelah laporan itu saya serahkan pada Anda. Dan hal ini pun telah dikonfirmasi oleh pihak marketing, finance dan juga klien yang bersangkutan. Sistem tentunya telah mencatat pemasukan ini tiap akhir bulannya secara otomatis, yang tentunya akan membuat jumlahnya berbeda."
Dengan tenang, Dona mencetak beberapa lembaran approval dan juga jurnal yang telah dikoreksi. Setelah mengeceknya cepat, ia menyerahkan hasil cetakan itu pada Michelle yang menerimanya dengan marah.
"Saya dapat langsung mengkoreksinya di sistem jika Anda mau."
Senyum Dona yang menyebalkan membuat Michelle mendengus kasar, dan membalikkan tubuhnya. Ia memasuki ruang kantornya dan membanting pintunya kencang.
Suasana yang tegang langsung mencair ketika terdengar perkataan seseorang.
"Dia masih termasuk muda, tapi tampaknya daya ingatnya sudah melemah."
Komentar itu menimbulkan deru suara tawa yang pelan dari para karyawan yang menyaksikan kejadian itu. Salah satu dari mereka menoleh pada Dona dan berkata pelan. "Aku heran, kau masih sabar menghadapinya, Amari. Jika aku jadi kau, mungkin aku sudah menghadap Pak Aiden sejak dulu."
Menanggapinya, Dona cuma terkekeh kecil. "Masalah biasa saja. Tidak perlu sampai Pak Aiden tahu."
Rekannya yang bernama Kate melongok dari kubikalnya. Tampangnya terlihat kesal. "Kau yakin? Semakin lama, dia semakin menjengkelkan menurutku. Dia jadi semakin sering mencari-cari kesalahanmu, Don."
Justru komentar dari teman-temannya ini membuat Dona tidak nyaman. Ia sama sekali tidak mau membesar-besarkan masalah ini, terutama karena ia berusaha untuk tetap low profile dengan kondisinya saat ini. Percikan api yang kecil, jika dibiarkan maka lama-kelamaan akan semakin membesar.
"Tidak juga. Mungkin dia ada masalah pribadi. Selama aku tidak merasa terganggu, maka hal itu tidak akan menjadi gangguan. Dan aku tidak ingin masalah sepele seperti ini manajemen sampai tahu. Aku harap kalian menghargai keputusanku ini, teman-teman."
Perkataan Dona yang tegas, membuat rekan-rekannya hanya mend*sah lemah. Mereka tidak mungkin membantu seseorang yang memang tidak mau dibantu. "Terserah kaulah!"
Reaksi teman-temannya malah membuat Dona tertawa. Sambil sumringah, ia mengeluarkan sebuah kotak yang berukuran cukup besar dari kantong yang dibawanya tadi.
"Jangan marah, dong! Lihat, aku membawa sesuatu untuk kalian!"
Melihat kantong makanan tersebut, para rekannya mulai mengerubungi kubikal Dona. Dan sambil menikmati kue yang dibawanya, salah satu dari mereka berkomentar ketika melihat tulisan dari kotak itu. "Don, nama toko kue ini sama seperti namamu. Apakah kau sadar?"
Sambil tersenyum samar, Dona mengangguk kecil. "Ya. Aku juga baru sadar. Amari sepertinya nama yang cukup umum ternyata."
***
Sementara itu, di suatu tempat.
"Tuan, Anda yakin akan terus melakukan ini?"
"Ya."
Tampak di depannya, duduk seorang pria yang sedang memainkan dua butir bola kecil dari besi dengan sangat lincah di jari-jemari tangan kirinya. Pria itu duduk dengan sangat anggun, dan hanya tampak senyum samar di bibir merahnya.
"Kalau saya boleh tahu, apa alasannya?"
Pertanyaan itu menghentikan pria tersebut memainkan bola-bola besinya. Masih sambil tersenyum samar, kedua matanya yang tajam memandang ke arah pria yang masih berdiri di depannya.
"Apa keputusanku mengganggumu, Brasco?"
Orang yang dipanggil Brasco menelan ludahnya dengan susah payah. Meski telah bekerja di bawah pria ini selama lebih dari 10 tahun, tapi ia masih belum terbiasa dengan tatapan tajamnya.
Hal yang cukup menganggu adalah karena warna mata pria itu yang cukup aneh. Kedua bola matanya berwarna ungu dan ada sedikit warna amber di dalamnya, membuat bola matanya seakan bersinar seperti seekor kucing. Hanya para pria keturunan Berlusconi-lah yang memiliki warna mata aneh ini, membuat keluarga konglomerat itu sangat terkenal di dunia bisnis Eropa selain karena sepak terjangnya yang cukup mengerikan. Bisa dikatakan, keluarga Berlusconi adalah mafia di dunia bisnis.
Tidak jarang, mereka menghalalkan segala cara untuk menghancurkan lawan bisnisnya. Dari mulai mempailitkan perusahaan mereka, sampai mengambil tindakan pemb*nuhan. Selama ini, keluarga Berlusconi selalu lolos dari endusan para predator hukum. Hal ini karena power-nya yang sangat kuat dan sama sekali tidak ada bukti yang mengarah secara langsung.
Mereka main aman, dan selalu menggunakan tangan orang lain dalam menghabisi lawan-lawannya.
Tidak ada yang namanya 'keluarga' dalam kamus Berlusconi. Yang ada hanyalah 'uang' dan 'perusahaan raksasa' mereka. Dan hal ini berlangsung turun-temurun sejak dulu. Sampai salah satu dari mereka akhirnya memutuskan untuk memutus lepas rantai itu dan orang yang melakukannya, saat ini sedang duduk di depan pria yang dipanggil Brasco tadi.
"Saya hanya mengkhawatirkan Anda, Tuan."
Terkekeh kecil, pria itu menoleh dan memandang jendela yang menampilkan pemandangan jalanan yang mulai ramai. Tatapannya terlihat datar dan pria itu belum menjawab apapun.
"Tuan?"
Pria itu akhirnya menoleh dan bangkit perlahan dari duduknya. Menatap kedua bola besinya, ia akhirnya menyerahkannya pada Brasco.
"Simpan bola besiku, aku akan mengambilnya lagi nanti."
Kembali menelan ludahnya, Brasco memandang atasannya kembali. Tatapannya terlihat nanar.
"Memangnya Anda mau ke mana lagi kali ini?"
Memasang kacamata hitam yang menutupi kedua bola matanya, pria itu terkekeh pelan dan menepuk bahu Brasco dengan bersahabat.
"Tidak jauh. Kirim semua laporan pekerjaan hari ini ke emailku, aku akan mempelajarinya nanti. Kau bisa menghubungiku di atas jam 20.00. Dan Brasco, jangan sampai ada yang mengikutiku. Arrivederci."
Setelah itu, pria tersebut pun keluar dari ruangan dan menutup pintunya pelan. Meninggalkan Brasco yang masih tertegun dan memegang bola besi yang terasa dingin itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
catdoll_11
kalau masalah akuntansi..
behh nyerah gue baru baca beberapa kata aja udah pusing, beneran..
2022-06-09
0