Tak lama setelah menghabiskan makanannya, Hendri keluar dan berpapasan dengan Fitri di depan pintu.
"Mas Hen, mau ke mana?" tanyanya.
"Cari angin," jawabnya singkat tanpa menoleh, terus saja berjalan menuju ke mobilnya.
"Makanannya sudah habis belum?" Fitri kembali berteriak, tapi tidak digubris oleh Hendri, membuat wanita kecil itu berlari menyusulnya.
"Kenapa kau masuk?" Hendri mengerutkan alisnya ketika Fitri tiba-tiba saja masuk ke mobil.
"Mau ikut," jawab Fitri dengan polosnya.
Kerutan kening Hendri tampak semakin dalam karena tak habis pikir melihat tingkah wanita yang dianggapnya bocah itu. Tanpa pikir panjang ia menancap gas membelah jalan dengan kecepatan tinggi, berharap wanita di sebelahnya itu akan ketakutan, tapi usahanya nihil, tidak ada reaksi apapun dari Fitri, bahkan wanita itu tampaknya begitu senang.
"Ck." Hendri mencebikkan bibirnya merasa dipertemukan dengan wanita aneh.
"Bundaa ... Engkaulah muara kasih dan sayang!"
"Apa pun pasti kau lakukan!"
"Untuk anakmu yang kau sayang!" Fitri terus bersenandung dengan teriakan yang keras menyanyikan lagu dari penyanyi Erie Suzan, membuat kuping Hendri seakan ingin pecah mendengarnya, buru-buru ia memasang earphone di telinga agar terhindar dari suara nyaring yang tak jelas dari Fitri.
Melihat Hendri merasa terganggu, Fitri tertawa cekikikan, setidaknya dengan ia melakukan hal itu, sedikit bisa menutupi rasa sedih dari pria yang baru ditinggal mati oleh istri tercintanya. Masa bodoh dengan penilaian Hendri terhadapnya, asal bisa berguna sedikit untuk orang lain, ia sama sekali tak memikirkan pencitraan dirinya sendiri.
Mobil Hendri akhirnya berhenti di sebuah restoran, yang tak lain adalah restoran miliknya.
"Kamu mau bekerja? Bukankah tadi bilang cuma mau cari angin?" Fitri tampak kebingungan. Hendri sama sekali tak menjawab pertanyaannya, membuat Fitri sendiri mau tak mau mengikuti langkah kaki pria itu.
"Selamat siang Pak Hendri." Semua karyawannya menyapa dengan kalimat yang sama, tapi tidak ada satu pun dari mereka mendapat balasan sapa dari Hendri. Sementara Fitri seperti orang dungu yang terus menunduk mengikuti ke mana perginya pria itu.
Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya tiba di atap gedung.
"Hah ... lelahnya. Kenapa jauh sekali?" Fitri menyeka keringat di dahinya.
Hendri tak menghiraukannya, terus saja berjalan dan memanjat ke atas menikmati pemandangan kota.
Fitri pun tak tinggal diam, tidak ada yang tak bisa ia lakukan, bahkan memanjat adalah hal gampang baginya.
"Cukup bringas, benar-benar tidak takut apapun." Hendri hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Fitri.
"Wah, ternyata sangat indah." Fitri tampak tertawa lepas dengan semilir angin yang menerpa tubuhnya.
"Tuhan! Beri aku bahagia!" teriaknya sekeras mungkin, lagi-lagi membuat alis Hendri tertaut mendengar teriakannya.
"Dasar bocah," gumamnya sembari melepaskan pandangan ke daratan lepas yang penuh akan bangunan tersebut.
setelah puas berteriak, Fitri pun mendekati Hendri, duduk bersebelahan tanpa rasa canggung. "Kenapa Mas Hen diam saja?" tanyanya.
"Aku datang memang dari awal tidak berniat untuk berteriak."
"Kenapa? Apa salahnya jika berteriak? Percayalah, itu akan membuatmu jauh lebih baik."
"Tidak, terimakasih," jawab Hendri datar.
Fitri pun manggut-manggut mengerti, walau bagaimanapun, tidak mungkin lelaki dingin seperti Hendri bisa satu selera dengannya.
Beberapa menit dalam diam, akhirnya Hendri bersuara dan berkata, "Apa yang membuatmu menerima perjodohan ini?"
Deg!
Seketika jantung Fitri berdetak kencang mendengar pertanyaan itu. Benar juga, apa yang membuatnya bisa menerima perjodohan itu?
"Kalau kamu sendiri, Mas. Kenapa terima begitu saja dan mau menikahiku?" Fitri balik bertanya.
"Itu permintaan istriku, bagaimana caraku menolaknya?"
"Sesederhana itu?"
"Jika tidak? Apa kamu pikir aku akan menikahi bocah bau kencur yang tak sesuai denganku?"
"Bocah bau kencur? Jadi seperti itu aku di matanya?" batin Fitri sembari dengan cepat mengalihkan wajah, perkataan Hendri cukup membuat matanya berembun.
"Tiba-tiba saja tak enak badan, aku pulang duluan ya." Tanpa ingin menatap suaminya, ia berlalu begitu saja dengan menahan rasa sesak di dada, setelah melewati satu tangga, di sanalah tangisnya benar-benar pecah tak tertahankan, kenapa lagi-lagi ia tetap saja tak berguna di mata orang lain?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments