"Kapan sejak terakhir kali aku mendapatkan kepedulian dan perhatian seperti itu dari orang tuaku?" celetuknya dalam keadaan melamun memandangi punggung Hendri yang berlari kencang.
"Ck, bahkan sepertinya tidak pernah," lanjutnya lagi.
"Fitri!"
Terdengar namanya dipanggil oleh Hendri dengan nada yang tak biasa, itu nada yang menandakan bahwa suaminya benar-benar sedang panik. Langsung saja ia berlari menyusul untuk melihat apa yang terjadi.
Setelah tiba di depan kamar, ia melihat Hendri sedang memangku Dinda dengan wajah yang tak mampu ia gambarkan, lelaki itu seakan benar-benar ketakutan akan kehilangan.
"Mbak Dinda kenapa, Mas?" Fitri langsung bertanya.
"Kamu jaga Dinda di sini, aku akan kembali setelah menyiapkan mobil." Hendri melepaskan pangkuannya perlahan dan meninggalkan dua wanita itu di kamar.
Lima menit kemudian, Hendri kembali datang dan berlari menggendong Dinda keluar, sudah dipastikan pria itu ingin membawa istrinya ke rumah sakit.
"Kankernya semakin mengganas, kami tidak bisa berbuat banyak, ikhlaskan kepergiannya ya, Pak," ujar dokter dengan nada prihatin.
"Maksudnya apa, Dokter? Bisa tidak jangan bicara setengah-setengah." Bahkan dokter pun sanggup ia bentak ketika berhadapan dengan keselamatan istrinya.
"Istri Anda sudah tidak ada, Pak," kata dokter memperjelas.
Seakan dunia akan runtuh seketika mendengar hal itu, Hendri tak mampu lagi menopang tubuhnya hingga berdiri sempoyongan, Fitri yang berusaha untuk membantu, malah ikut terjatuh karena berat badan Hendri yang tak mampu ditopang oleh tubuh kecil Fitri.
"Innalillahi Wa inna Ilaihi Roji'un," gumam Fitri bersamaan dengan detak jantungnya yang berpacu dengan cepat.
Terlihat tatapan mata Hendri yang begitu hampa, ia bahkan tak mampu mendengar apa pun lagi.
"Ikhlaskan kepergian Mbak Dinda, Mas. Sudah takdir Tuhan seperti ini, kita tidak bisa mengelak." Fitri berusaha mengelus pundak suaminya untuk menenangkan.
Tak lama pundak Hendri dirasa bergetar oleh Fitri. Ya, lelaki yang tampak begitu kokoh ini pun akhirnya melepaskan rasa sakitnya dengan tangisan yang begitu pilu, itu kali pertama bagi Fitri melihat seorang lelaki menangis tepat di hadapannya. Betapa ia sangat mencintai istrinya itu.
"*Mereka adalah pasangan yang saling melengkapi, kenapa kau pisahkan mereka secepat ini, Tuhan*?" Ada rasa iba di hati Fitri melihat kepedihan Hendri saat ini, ia menyaksikan sendiri bagaimana Hendri memperlakukan Dinda dengan sangat hati-hati tanpa ada kesalahan, ia rawat dan ia jaga segenap jiwa raganya, tak kenal lelah sepulang dari bekerja, ia selalu menghampiri istrinya demi menanyakan apa yang Dinda inginkan, sungguh seorang wanita akan sangat beruntung jika jatuh di tangan lelaki yang tepat, ia akan menjadi ratu satu-satunya yang paling bahagia.
Dinda dikebumikan hari itu juga, banyak kerabat, teman, dan tetangga yang ikut melayat ke rumah mengucapkan bela sungkawa pada Hendri, sementara Hendri hanya bisa terdiam seribu bahasa tak menanggapi, hanya Fitri yang terus meladeni orang-orang yang datang.
Sehari sejak kepergian Dinda, Hendri masih saja meratap sepi di kamarnya, berbicara pun sangat jarang.
"Mas, waktunya makan siang, aku letakkan di sini atau mau kusuapi?" ujar Fitri sambil membawa satu nampan berisi sepiring nasi dan segelas air.
"Letakkan saja di sana," jawab Hendri dengan malas.
"Tidak, aku akan menyuapimu langsung." Fitri duduk di samping dan bersiap dengan sendok di tangannya.
"Letakkan saja di sana, aku tidak ingin makan."
Seketika Fitri menghela napas dengan kasar dan menatap lekat ke arah Hendri. "Mau sampai kapan? Sampai kapan kamu ingin seperti ini, Mas? Sampai kumis tipismu itu memutih baru kamu akan sadar, Mas? Mbak Dinda udah tenang, kamu jangan menyiksanya lagi dengan bersikap seperti ini, dengan mogok makan apa kamu pikir Mbak Dinda akan kembali? Sadar, Mas. Kita semua hanya manusia biasa yang sewaktu-waktu juga akan mengalami kematian, kamu pikir dengan kamu seperti ini akan mati dan akan menyusul Mbak Dinda di sana? Itupun juga harus melihat amalmu dulu, bagaimana jika Mbak Dinda di surga dan kamu di neraka, bukankah sama saja? Berharap bisa bertemu malah disiksa oleh malaikat, buka mata lebar-lebar sebelum memutuskan sesuatu." Akhirnya Fitri sampai pada puncak kekesalannya, semua ia lontarkan tanpa rasa takut sedikit pun.
Hendri terus menatapnya tanpa berkedip, mendengar celotehannya dan tiba-tiba mengerutkan alis. "Kamu sedang membicarakan apa?"
"Terserah, jika mau jadi orang gila, jangan ngajak-ngajak aku." Fitri meletakkan piring di atas meja lalu pergi begitu saja.
Hendri mengangkat alisnya menatap bingung ke arah perginya Fitri, ia pun meraih piring itu dan menyuap dirinya sendiri tanpa mengalihkan pandangan ke arah pintu, seakan menjadi dungu setelah mendapat celotehan dari Fitri, baru kali ini ia seakan diomeli oleh orang tua, padahal usianya terpaut jauh lebih diatas Fitri.
"Aku diajari oleh bocah?" gumamnya, lalu tersenyum kecut menghabiskan makanan yang diberikan oleh Fitri tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments