Zehan bertanya saat Mia menjelaskan maksud pertemuan mereka hari ini. Bryan, yang duduk di hadapan Zehan mengangguk.
"Iya, Zehan. Kamu kan selalu bantu aku di saat aku susah. Cuma kamu yang gak pernah ninggalin aku gitu aja. Teman-teman aku yang lain gak ada yang mau bantu sama sekali. Aku bisa sejauh ini berkat kamu. Jadi, kalo bisa ... aku pengennya kita besanan."
Zehan mengangguk. Dia menoleh untuk melihat istrinya di samping. "Gimana, Ma?"
Ghia mengangkat kedua alisnya. "Kalo aku mau aja, sih. Cuma, ya, anak-anak kita mau atau enggak. Mereka yang jalanin 'kan? Jadi, harus tanya mereka dulu."
Semua orang dewasa itu mengangguk setuju. Bryan beralih pada dua anak yang hanya diam mendengarkan orangtuanya berbicara.
"Lucas, kamu mau gak nikah sama Freya pas besar nanti?" tanya Bryan.
Mia yang mendengar suaminya berbicara secara langsung, memukul lengan pria dewasa tersebut.
"Sakit, Ma."
"Kamu, sih. Mana ngerti dia nikah-nikah."
"Ngerti, kok. Ngerti 'kan, Lucas?"
Yang ditanya menggelengkan kepalanya, tapi kemudian dia mengangguk. Mata kecil nan tajam itu menatap kedua orangtuanya dengan polos. "Nikah itu ... kayak Mama sama Papa?"
Bryan mengangguk. "Iya. Nanti, kamu bisa jaga Freya sampai tua."
Mendengar itu, Lucas tersenyum dengan lebar. Dia berdiri dan menarik-narik tangan Freya.
"Freya, kalo kita nikah, berarti kita bisa sama-sama terus. Kata Papa sampai tua. Freya mau nikah sama Lucas 'kan? Harus mau! Lucas maksa."
Freya kecil sudah sedikit paham tentang arti "menikah". Kulit putihnya berubah menjadi merah saat Lucas terus memaksanya mengatakan iya.
"Freya, kalo diam berarti mau. Oke! Papa, Freya mau nikah sama Lucas."
Bocah itu tersenyum bahagia, sedangkan orang yang diajak untuk menikah, semakin menundukkan kepalanya. Tidak berani mengeluarkan kata apapun.
"Yuk, Pa. Nikah sekarang."
Semangat yang ditunjukkan oleh bocah berusia tujuh tahun ini membuat semua orang dewasa yang ada di sana menggelengkan kepalanya.
"Gak sekarang juga, Lucas. Semangat bener kamu," kata Zehan sambil tertawa.
"Jadi, kapan? Lucas harus cepat-cepat nikah sama Freya, biar Lucas bisa jaga Freya 24 jam!"
Mata anak laki-laki itu bersungguh-sungguh. Menunjukkan tekad bahwa dia akan menjaga anak di belakangnya dengan serius. Orang yang berdiri di depannya tersenyum lembut.
"Kamu bisa jaga Freya, kok. Walaupun bukan 24 jam. Nanti, waktu kamu besar, baru kamu bisa jaga Freya selamanya. Oke?" Bryan berbicara dengan penuh perhatian dan kelembutan. Memberi pengertian kepada anaknya yang memiliki semangat besar.
Lucas melirik ke belakang, di mana Freya berada. Lalu dia kembali beralih pada Bryan. Anak itu mengangguk mantap.
"Oke, Pa."
Ghia tersenyum melihat kesungguhan Lucas. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati Lucas. Tubuhnya sedikit dia rendahkan untuk menyamakan tingginya dengan Lucas.
"Janji, ya, sama Tante. Kamu bakal jagain Freya, sekarang dan seterusnya."
Lucas mengangguk. Dia mengangkat kelingkingnya di depan wajah Ghia. "Janji!"
Ghia tertawa dan ikut mengangkat jari kelingkingnya. Mereka saling menautkan jari. Membentuk sebuah janji yang tak akan pernah diingkari.
Setelah pembahasan tentang menjadi besan, kedua keluarga itu memutuskan untuk makan malam bersama dan kembali ke rumah masing-masing sebelum jam 10 malam.
Zehan dan Bryan adalah teman satu SMA. Mereka menjadi teman dekat sejak kelas dua. Saling membantu satu sama lain saat mereka membutuhkan pertolongan. Ketika kuliah, mereka memilih jurusan yang sama, yaitu bisnis dan berada di universitas yang sama. Karena letak universitas yang jauh, Zehan dan Bryan memutuskan untuk tinggal di kos yang dekat dengan kampus.
Saat mereka tumbuh dewasa, Bryan terlebih dahulu menikah. Setahun kemudian, Zehan menyusul Bryan. Meskipun Bryan lebih cepat menikah, dia memiliki anak hampir bersamaan dengan Zehan. Oleh karena itu, Lucas lebih tua dua bulan daripada Freya.
Di saat Lucas berusia 5 tahun, perusahaan Multifinance yang dibangun oleh Bryan mengalami perosotan. Dia terlilit hutang karena salah satu karyawannya mencuri uang perusahaan dan kabur dari Indonesia sehingga Bryan kesulitan untuk mencarinya.
Bryan berusaha mencari teman-teman yang dulu telah dia bantu. Bryan tidak ingin mengemis atau mengungkit kebaikannya. Akan tetapi, situasi Bryan saat itu mengharuskannya untuk meminta bantuan kepada orang-orang yang pernah dia tolong.
Namun, semua itu sia-sia. Tak satu pun dari mereka membantu Bryan. Mereka semua menjauh dan mematikan ponsel mereka saat melihat nama Bryan muncul di layar ponsel mahal milik mereka. Beban pikiran Bryan semakin bertambah, terutama Mia, istrinya yang suka menghabiskan uang terus menuntutnya menghasilkan lebih banyak uang tanpa memberikan pengertian dan dukungan untuknya.
Sampai suatu hari, Zehan datang ke rumahnya bersama dengan Ghia dan Freya. Sudah dua tahun mereka tak bertemu karena kesibukan masing-masing. Di saat itulah, Bryan menceritakan semua masalahnya pada Zehan, meskipun sebenarnya dia ragu meminta bantuan pada Zehan karena selama ini, Zehan jarang meminta bantuan padanya.
Dengan wajah tersenyum, Zehan berkata bahwa dia akan membantu perusahaan Bryan dan menjalin kerjasama dengan perusahaan Zehan. Sejak itulah, keadaan Bryan berbalik. Dia menjadi pengusaha sukses berkat bantuan Zehan.
"Ma. Ada telepon."
Lucas berteriak dari ruang televisi. Dia tengah bermain game yang tersambung dengan televisi. Bunyi telepon terus menggema. Lucas menjadi kesal karena ibunya tak kunjung muncul untuk mengangkat telepon.
Dengan malas, Lucas bangkit dari duduknya. Berjalan mendekat ke arah telepon berbunyi. Dia mengangkat telepon itu dan menyeret paksa suaranya untuk bertanya.
"Halo? Siapa?"
"Tuan Lucas? Saya Bibi Inem. Tuan Bryan ada di rumah?"
Terdengar suara yang bergetar di seberang sana. Lucas melirik telepon itu, kemudian dia berteriak memanggil ayahnya.
"Papa! Bibi Inem telepon!"
Lucas terus memanggil Bryan sampai dia mendengar bunyi pintu terbuka. Bryan turun dari atas dengan wajah mengantuk.
"Kenapa? Kamu kok belum tidur?" tanya Bryan. Mulutnya terbuka lebar mengeluarkan uap kantuk.
"Nih, Pa. Bi Inem nelpon."
Lucas menyerahkan telepon tersebut pada Bryan. Lelaki itu menerima telepon tersebut.
"Halo?"
"Tuan Bryan ...."
"Ya? Ada apa? Kenapa kamu nangis?"
Lucas yang belum pergi dari sana mendengar pembicaraan ayahnya dan Bibi Inem dengan serius.
"Tuan Zehan dan Nyonya Ghia ... kecelakaan."
Waktu terasa berhenti sebentar. Mulut Bryan tak bisa bergerak untuk memberi respon. Otaknya masih memproses informasi yang baru saja dia terima.
"Tuan Bryan, saya dan Nona Freya sekarang di rumah sakit. Tuan Zehan dan Nyonya Ghia masih di ICU."
"Pa!"
Bryan tersadar dari lamunannya karena Lucas menggoyangkan lengannya. "Ya. Saya ke sana sekarang."
Setelah diberitahu alamat rumah sakit tempat Ghia dan Zehan berada, Bryan pergi bersama dengan Lucas sementara Mia menjaga rumah.
"Bi Inem."
"Freya."
Bryan dan Lucas tiba di rumah sakit. Wajah mereka dipenuhi peluh karena berlari dari parkiran.
Lucas melihat Freya yang diam di samping Bi Inem. Baju yang dipakai oleh Freya masih sama dengan baju yang dia pakai saat mereka keluar untuk makan malam.
"Frey ...."
Lucas berjalan mendekati Freya. Keadaan anak itu terlihat suram. Dia menunduk dengan tatapan lurus ke arah kakinya. Tak ada air mata yang mengalir di pipi Freya, tapi Lucas tahu ... Freya menangis di dalam hatinya.
"Frey. Tenang, ya. Semua baik-baik aja, kok."
Lucas merangkul bahu Freya. Memberi kata-kata penenang untuk Freya agar anak itu tak lagi menundukkan wajahnya.
Freya melihat Lucas yang sudah duduk di sampingnya. Dia melemparkan senyuman untuk Lucas, tapi meski dia tersenyum, mata Freya tak dapat menutupi kesedihannya.
"Gak papa, kok. Ada Lucas di sini."
Lucas memeluk Freya dengan erat. Di dalam pelukan Lucas, Freya menutup matanya dengan erat. Jika tidak, air mata akan jatuh dan membasahi baju Lucas dan dia akan ketahuan jika tengah menangis.
Tubuh itu bergetar di dalam dekapan Lucas. Tangan yang tak begitu besar itu terangkat dan menepuk-nepuk bagian belakang kepala Freya. "Gak papa. Nangis aja."
Meskipun Lucas menyuruhnya untuk menangis, Freya tetap menahannya. Karena dia takut, jika dia menangis, suasana akan semakin pundung.
"Ghia sama Zehan kenapa bisa kecelakaan, Bi?" tanya Bryan.
Bibi Inem menjawab, "Abis pulang dari makan malam dengan Tuan Bryan, Nyonya sama Tuan pergi lagi. Katanya ada masalah sedikit di perusahaan. Harus ngecek langsung. Bibi udah larang. Lagian hampir tengah malam, tapi Tuan Zehan maksa dan Nyonya Ghia minta ikut karena takut Tuan Zehan pergi sendirian. Terus gak lama, rumah dapat telepon dari rumah sakit katanya Nyonya sama Tuan kecelakaan mobil."
Di depan ruang ICU, Bi Inem menjelaskan apa yang dia ketahui kepada Bryan. "Ada tiga saksi mata yang lihat kejadian itu. Mereka bilang waktu itu mereka lagi nongkrong dan rencana mau pulang. Terus, pas mereka mau nyebrang, tiba-tiba ada truk yang nerobos lampu merah, karena waktu itu jalanan lagi sepi. Eh, tau-taunya, mobil Tuan Zehan lewat dan memang lampunya hijau. Jadinya, truk itu nabrak mobil Tuan Zehan sama Nyonya Ghia. Kenceng banget, kata mereka. Sampai mobilnya keputar dua kali."
"Sopir truknya di mana?" tanya Bryan.
"Tiga saksi tadi udah manggil polisi, tapi sopirnya udah kabur."
Bryan sangat marah. Kepalanya menghadap ke atas, melihat langit-langit rumah sakit. Napasnya keluar dengan keras. Matanya memerah ketika membayangkan sahabatnya ditabrak oleh sopir yang tidak bertanggung jawab.
Beberapa saat kemudian, pintu ICU terbuka. Menampakkan seorang dokter yang melepaskan maskernya.
"Gimana, Dok? Baik-baik aja 'kan mereka?" tanya Bryan buru-buru.
Dokter tersebut melihat ke sekitar. Wajahnya tampak menggelap dan bahunya terlihat jatuh. Dia melihat Bryan yang berdiri di depannya. Dengan suara lembut dan bersalah, dokter tersebut berbicara.
"Maaf, Pak. Terjadi pendarahan yang cukup banyak dan beberapa organ vital rusak akibat benturan yang cukup keras. Kami telah melakukan semua hal, tapi keduanya ... tidak bisa diselamatkan."
Tubuh Bryan menjadi lemas, bahkan kaki-kakinya tak sanggup menopang tubuhnya lagi. Laki-laki dewasa itu bergerak menuju dinding untuk menyangga dirinya.
Bryan jarang menangis, bahkan ketika ayahnya meninggal pun, Bryan mampu menahan tangisnya. Akan tetapi, kali ini ... Bryan tidak dapat menahan aliran air asin yang jatuh dari pelupuk matanya. Bryan menangis dengan menahan suaranya.
Bi Inem yang duduk di samping Freya, memeluk kuat Nona mudanya. Anak itu menangis dengan kencang setelah lama menahan diri. Suaranya menggema di lorong rumah sakit, tapi sang dokter tak ingin menegurnya. Tak berniat menyuruhnya untuk diam.
Lucas memeluk Freya dengan erat bersama dengan Bi Inem. Dengan lembut, Lucas mengulang beberapa kali kalimat yang sama.
"Tenang. Semua baik-baik aja. Ada Lucas yang jaga Freya. Ada Lucas yang nemenin Freya. Jangan sedih, ya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments