Matahari mulai memanjat di timur, dia kembali setelah lelah di belahan bumi yang lain. Cahayanya mulai menyusup di sela-sela jendela, membuat Ayu mau tak mau memalingkan wajah ke arah berlawanan. Dia meringis tampak menahan rasa sakit. Samar-samar dia bisa mendengar suara kucuran air dari kamar mandi.
Batinnya bertanya-tanya mengenai orang yang mungkin berada di kamar mandinya. Dengan terpaksa dia mulai membuka mata, sangat berat namun rasa penasarannya lebih besar.
Kepala Ayu pening, badannya pun pegal-pegal. Sekujur tubuhnya seperti habis di pukul, sakitnya seperti habis olahraga berjam-jam untuk pertama kali setelah bertahun-tahun. Dia menggerakkan badannya sedikit demi sedikit berusaha meregangkan beberapa ototnya yang sangat kaku dan kram.
Sesekali Ayu mengerjap-ngerjapkan mata -- menahan dentuman-dentuman yang menyiksa kepalanya. Dia duduk lalu bersandar di kepala ranjang, tangannya memijit-mijit kening sambil mengingat beberapa potongan kejadian di ulang tahun Tamara. Tentang dia yang meminum alkohol untuk kali pertamanya. Tidak heran dia merasa sangat pening dan sedikit mual sekarang.
Satu hak yang aneh, kalau memang hanya alkohol maka mengapa dia merasa sekujur tubuhnya pegal dan ada satu bagian yang sangat nyeri. Dia kembali terpusat pada aliran air di kamar mandi. Matanya mulai menjelajah di setiap sudut ruangan, barulah dia sadar bahwa kamar yang ditempati bukan kamarnya. Kemudian beralih pada tubuhnya sendiri yang tampak polos tanpa balutan satu benang pun di dalan selimut.
Kini Ayu terbelalak, dia masih berharap bahwa apa yang dia pikirkan tidak benar-benar terjadi. Dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya, dia bangkit untuk meraih pakaian yang tercecer di lantai. Setelah memasang pakaiannya kembali, dia mulai menatap pantulannya di cermin-- berniat merapikan sedikit tampilannya.
Air mata mulai menetes di pipi Ayu. Dia hanya bisa menyesal dan mengutuk kebodohan serta kecerobohannya. Mau diapa, dia tidak mungkin mengembalikan bubur menjadi nasi. Dia menyisir rambutnya dengan tangan, lalu menghapus sisa air mata di pipinya.
Suara pintu kamar mandi terbuka membuat mata Ayu membulat. Dia menatap lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi yang hanya mengenakan handuk. Lelaki itu yang telah memanfaatkannya saat dia mabuk. Dia ingin marah dan memaki lelaki brengsek itu.
"Kamu sudah bangun?" Lelaki itu bertanya dengan senyum tampak santai.
Rahang Ayu mengeras, dia menahan amarahnya yang sudah sampai di ubun-ubun juga cairan hangat yang mendesak di pelupuk matanya. Dia tidak menjawab dan memilih melangkah menuju pintu keluar, meski langkahnya tidak begitu cepat karena rasa nyeri di pusat tubuhnya.
Lengannya dicekal. "Mau kemana?"
Dia menghempas tangan lelaki yang menahan langkahnya.
"I ... ayo bicara dulu!"
"Lepas!" bentak Ayu dengan suara serak berusaha melepas cekalan lelaki yang memegang erat lengannya.
"Hanya sebentar." Si Lelaki terdengar memohon.
Ayu menggeleng. "Nggak ada yang perlu dibicarakan."
"Since I was your first, Im sure we have to talk."
"It was just ONS, tidak penting sama sekali," kata Ayu berusaha membuat suaranya sesantai mungkin.
"Aku Alex." Lelaki itu menyebut namanya sebelum Ayu keluar.
Ayu melanjutkan langkahnya tidak peduli. Dia sudah tidak tahan lagi, dadanya sesak. Air mata yang dari tadi mendorong berhasil lolos mengaliri pipinya. Dia telah kehilangan segalanya.
Tangan Ayu bersidekap di depan perut ratanya. Dia berusaha menutupi bagian tubuhnya itu agar tidak terekspos. Beberapa mata memandang ke arahnya, dia tahu betul apa maksud dari pandangan itu.
Seorang wanita muda dengan pakaian yang agak terbuka keluar sari hotel di pagi hari dengan tampilan sedikit kacau. Kira-kira apa yang mereka pikirkan? Tentu saja, mereka tidak akan berpikir bahwa Ayu adalah perempuan baik-baik.
Setelah keluar dari hotel, barulah Ayu bingung bagaimana caranya dia pulang. Dia tidak memiliki uang ataupun telepon genggam. Dia hanya membawa diri, dirinya pun kini tidak utuh lagi. Menyadari hal itu, Ayu hanya menggigit bibir sambil terisak. Wanita malam saja tak semenyedihkan dirinya.
Suara langkah kaki yang berlari mendekat ke arah Ayu. Dia berbalik sebentar sebelum mempercepat langkah untuk memberhentikan Taxi.
"Hei, tunggu!" teriak lelaki bernama Alex itu, namun diacuhkan oleh Ayu. Dia cepat-cepat naik ke atas Taxi.
"Sudah jam berapa, Pak?" tanya Ayu pada supir taxi yang dia tumpangi.
"Udah hampir jam 8, Bu." jawab si Supir dengan mata menatap pantulan Ayu di kaca mobil.
Tubuh Ayu bersandar di jok mobil sambil meringkuk. Air matanya menetes disertai isakan, bahkan sedikit menjerit meratapi nasibnya. Dia adalah anak perempuan satu-satunya, orangtua dan saudaranya selalu menaruh kepercayaan dan tanggung jawab besar padanya. Sekarang, dia telah mengecewakan mereka.
Mengingat senyum Ibunya, tangis Ayu semakin pecah. Bagaimana bisa dia menatap mata Ibunya setelah ini?
"Pak, tunggu di sini, Ya. Uangnya ada di atas," ucap Ayu dan hanya diangguki oleh si Sopir Taxi.
***
Air hangat mengaliri tubuh Ayu, dia menggosok-gosok tubuhnya dengan keras. Sekuat tenaga Ayu berusaha menghilangkan beberapa kissmark yang ada di beberapa bagian tubuhnya. Dia menjerit mengingat apa saja yang mungkin lelaki gila itu lakukan padanya.
Sudah tiga kali Ayu menggosok tubuhnya dengan sabun, namun perasaan kotor masih menyelimutinya. Perasaan bersalah dan jijik bercampur di benaknya.
Usai mandi, Ayu melingkarkan handuk di badannya. Dia duduk di depan meja rias sambil mengeringkan rambut. Tiba-tiba dia menjatuhkan hair dryer dan menunduk sambil terisak. Rasa menyesal karena menyesap cairan memabukkan itu menghantamnya.
Sebenarnya Ayu tidak ingin berangkat bekerja. Matanya masih bengkak karena menangis, dia pun merasa tidak enak badan. Sayang, ada meeting yang harus dia datangi. Itu pun dia sudah terlambat.
Biasanya Ayu tidak mengenakan riasan, hanya pelembab wajah; lipstik , dan maskara, namun hari ini dia mengenakan riasan tipis agar mata sembabnya tidak tampak.
Dengan senyum yang tersungging, Ayu memasuki gedung kantor. Dia menyapa tukang parkir yang juga menyapanya, bertingkah santai seperti biasa seakan dia baik-baik saja. Jauh dalam lubuk hatinya, dia ingin berteriak dan menangis.
"Maaf terlambat, Pak!" ucap Ayu sedikit menunduk pada rekan kerja serta bos-nya.
"Duduk!" Seorang lelaki berkulit sawo matang dengan tubuh gempal mempersilahkan Ayu duduk.
Peserta rapat memusatkan perhatian pada Pak Robin. "Sales tahun ini masih stabil, tapi di beberapa area terjadi kemerosotan yang signifikan. Jadi sebenarnya kita bisa mendapat profit yang lebih tinggi kalo saja toko-toko ini bisa bekerja lebih baik." Mata Pak Robin menyenter pada beberapa staff manager yang kebetulan tokonya bermasalah.
"Belum lagi beberapa complain yang masuk gara-gara produk dan pelayanan. Kalo memang sudah tidak becus kerja, pintu terbuka lebar. Apalagi kalo sudah jam karet, harusnya datang lima belas menit sebelum jam kerja, justru datang 39 menit setelah jam kerja. Itu tidak siap kerja namanya, wajar kan sales menurun dan complain meningkat." Pak Burhan menjelaskan dengan hanya beberapa kali tarikan napas. Suaranya memang terdengar santai, namun perkataan sarkasme-nya bisa menusuk hingga ke relung jiwa.
"Wih, semalam pestanya sampai jam berapa?"
Ayu berbalik menatap Pak Tio,rekan kerja Ayu yang duduk tepat di sampingnya -- setelah rapat selesai. Dia mengerutkan kening seakan tidak mengerti.
"Aku sempat liat story instagram Karin, teman model ibu itu," ucap Pak Tio.
Ayu ber-oh pelan, tidak berniat menanggapi.
"Keliatannya seru, pantas susah bangun." Pak Tio terdengar sangat ramah.
"Bu Dan ia!" Ayu memanggil seorang wanita yang hendak keluar ruangan
Wanita itu berhenti, menunggu Ayu sebagai atasannya yang melangkah mendekat.
"Iya, Bu."
"Bagaimana bahan yang lainnya, apa masih bau?"
"Masih, Bu. Tapi, tidak separah biasanya. Tadi juga sudah dijelaskan sama pihak gudang kalo bau itu dari buah," ucap Bu Dania, "kebetulan tempat penyimpanan bahan baku penuh, jadi numpang di penyimpanan buah." Bu Dan ia melanjutkan.
Ayu mengangguk singkat. "Okay, yang penting udah clear. Cukup control terus, Bu. Kalo memang baunya sangat jelas jangan digunakan, takutnya ada complain."
"Baik, Bu."
"Audit lagi jalan, pastiin semua crew menjalankan SOP dengan benar, Bu."
"Baik, Bu. Mari, Bu! " Bu Dania menunduk sekilas pada Ayu sebelum berjalan menuju lift.
***
Jendela apartemen Ayu terbuka, wanita itu duduk sambil memeluk lutut di kursi malasnya. Sesekali dia menatap ke langit hitam yang berteman bulan separo. Napasnya pelan dan kadang disertai desahan kasar.
'Lelaki brengsek, beraninya dia mengambil keuntungan saat aku mabuk.'
Kutukan demi kutukan dilontarkan batin Ayu pada Lelaki yang diketahuinya bernama Alex. Bel apartemennya berbunyi, dia bangkit dengan ogah-ogahan.
Seorang wanita dengan topi dan kacamata hitam muncul di balik pintu. Ayu bergeser sedikit memberikan jalan pada Karin untuk masuk. Karin masuk dan langsung melempar tas tangan ke sofa.
"Semalam kemana aja?"
"Sorry, aku pusing jadi langsung pulang."
Karin yang sudah duduk di sofa menyilangkan kaki -- sambil mencomot camilan di stoples yang ada di meja. Dia menatap Ayu dengan tajam sambil menggeleng-geleng pelan.
"Nangis lagi? Untuk apa sih Yu, si Brengsek itu aja udah bahagia."
Ayu hanya tersenyum tak mau membalas. Mungkin Karin benar kalau si Brengsek itu memang sedang berbahagia dengan korbannya yang lain. Sayang, si Brengsek yang dimaksud Karin bukan si Brengsek yang Ayu tangisi.
"Tas sama Hp kamu, sampe lupa di Bar."
"Sorry!" Ayu cengengesan. Dia berusaha keras agar tampak bahagia di depan Karin.
Ayu sempat berpikir untuk bercerita dengan Karin tentang apa yang dia alami semalam. Tetapi, Karin pasti akan mengatakan bahwa aku terlalu berlebihan. Kalau menceritakannya pada Tamara, jauh lebih ribet lagi. Temannya itu pasti akan menyarankan untuk membawanya ke meja hijau. Pada keluarganya, itu bunuh diri, dia tidak mau orangtuanya kecewa dan terluka lagi.
Tidak ada yang bisa Ayu lakukan selain menyimpannya seorang diri. Meskipun dia merasa hancur dan tidak berguna.
"Sudah makan?" tanya Ayu pada Karin yang tampak lahap dengan camilannya.
Dia menggeleng. "Belum."
"Mau aku masakin?"
"Yang enak, tapi!"
"Siip!"
Karin ditinggalkan sendiri oleh Ayu. Dia memilih meraih remot TV dan memilih chanel yang ingin dia tonton. Sementara, Ayu sedang berkutat dengan alat dapur.
"Udah jadi aja, pasti serba instan!" cibir Karin yang dari tadi tidak menemukan chanel yang menarik menurutnya.
Ayu datang dengan dua piring spaghetti dengan saus bologna, yang memang keduanya terbuat dari bahan instan. Lebih cepat jadi menurut Ayu.
"Paling minta tambah lagi." Ayu mencibir Karin yang protes namun tampak anteng melahap makanannya.
"Wah, Stella bakal menikah ternyata." Karin berdecak kagum menatap layar kaca.
Ayu ikut menyimak pemberitaan salah satu acara gosip. Stella, artis yang lagi naik daun tampak menggelar prosesi lamaran dengan kekasihnya yang juga seprofesi dengannya.
"Kamu kenal?" tanya Ayu sehabis menyeruput spaghetti-nya.
"Kenal gitu-gitu aja, pernah ketemu beberapa kali," jawab Karin, "waktu masih pacaran sama Alex." Karin melanjutkan.
Mata Ayu membulat mendengar nama lelaki yang disebut oleh Karin.
"A-Alex? Yang se ...." Ayu menutup mulutnya sebelum keceplosan.
Karin mengangguk pelan. "Iya, Alex. Teman kecilnya Tamara, masa kamu lupa," lalu menambahkan, "astaga, kalian nggak pernah ketemu. Kamu sih sibuk terus, padahal dari masih kuliah pengen dikenalin nggak kesampaian."
Selera makan Atu tiba-tiba hilang. Dia memilih meletakkan makanannya di meja, berbeda dengan Karin yang masih lahap.
"Aku masih ingat kenapa Stella sama Alex putus, karena Tamara nggak suka sama Stella. Dasar aneh," kata Karin sembari menggeleng dengan gelengan-gelengan kecil khasnya.
Semakin Ayu mendengar cerita Karin mengenai Alex, semakin sesak pula dadanya.
"Lucunya Tamara pernah ngebet mau jodohin kamu sama si Alex itu, padahal dulu kamu masih pacaran sama si Arya brengsek itu." Karin terus bicara tanpa mengetahui air mata temannya sedang mengalir.
"Oh, astaga. Maaf!" ucap Karin setelah berbalik karena mendengar sebuah isakan. Lantas dia mendekat pada Ayu dan menyandarkan kepala Ayu dipundaknya.
"Okay, malam ini kamu boleh nangis. Cuma malam ini, air mata kamu terlalu berharga untuk lelaki brengsek seperti dia."
Ayu mulai menangis sesugukan dan membatin, 'Air mataku terlalu berharga untuk lelaki brengsek itu, tapi kenyataannya si Brengsek itu merebut sesuatu yang paling berharga dariku.'
***
Thx
Tbc 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
tru sukses
2023-01-29
0
fifid dwi ariani
trus sabar
2022-12-25
0
Fitria Kie
mampir thorr
2021-06-06
0