"Baiklah, aku mengerti. Jujur, aku tidak bisa menolak perjodohan ini. Itu karena aku tidak ingin menyakiti perasaan Tante Erna dan membuatnya malu dihadapan Bundamu. Sebab, beliau sudah bela-belain memilihku untuk menjadi salah satu dari calon istrimu. Jadi, mari kita membuat kesepakatan!" ujar Puspita.
"Baiklah. Jika memang kau benar-benar mau membuat kesepakatan denganku. Semalam, aku sudah membuat perihal-perihal yang harus kita lakukan nanti. Jadi, kau tinggal menanda tanganinya saja. Silahkan, bacalah!!!" ujar Evan sambil menyodorkan ponsel pintarnya kearah Puspita.
Dan Puspita pun mengambil ponsel tersebut. Kemudian membaca satu persatu perihal-perihal yang telah dicantumkan oleh Evan. Dan harus diperhatikan serta dilakukan olehnya saat mereka resmi melakukan pertunangan nanti.
Adapun perihal terpenting yang dituliskan oleh Evan itu. Salah satunya harus dan tak boleh dilanggar adalah tidak adanya sentuhan fisik yang melebihi batas normal. Seperti adegan cipika-cipiki saat mereka akan bertemu nanti.
Setelah membaca semua poin-poin yang telah dituliskan oleh Evan itu. Puspita pun setuju tanpa banyak bertanya lagi. Dan langsung menanda tangani surat perjanjian itu.
Evan tersenyum senang dan bahagia sekali. Karena berhasil menemukan gadis yang menurutnya bisa ia ajak untuk bersandiwara nantinya.
"Terima kasih untuk ini. Aku bahagia bisa bertemu dengan orang sepertimu. Yang bisa aku ajak untuk bersandiwara nantinya." ucap Evan sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Puspita. Sebagai tanda terimakasihnya.
"Terimakasih juga. Tetapi sebaiknya, kau jangan terlalu bahagia dulu. Sebab, kita baru saja akan memulai sandiwaranya. Kita belum tahu masalah-masalah apa saja nantinya yang akan dihadapi. Bukan begitu?!!" jawab dan tanya Puspita memastikan.
"Oh iya, kau benar juga. Apa yang akan Bunda rencanakan setelah tahu kalau kita sudah sama-sama klik untuk di jodohkan ya??!" ucap tanya Evan sambil berpikir.
"Anggap saja kita sedang bermain peran disebuah film romantis. Kita ikuti saja dulu alur ceritanya okey...!" jawab Puspita menenangkan.
Namun dihatinya berkata lain daripada yang lainnya.
"Evan-evan... Kau masih terlalu polos. Sehingga, belum mengenalku seperti apa. Tetapi, kau sudah begitu percayanya padamu. Suatu saat, dan seiring berjalannya waktu. Kau pasti akan tahu siapa aku. Dan setelah saat itu tiba, akan ku pastikan kau sudah jatuh kedalam pelukan ku." ucap batin Puspita mulai licik.
"Oh iya, ngomong-ngomong... apa keuntungan yang akan aku dapatkan dari kerjasama ini?!" tanya Puspita mencoba bernegosiasi.
"Jika kau berhasil memainkan peranmu dengan baik. Aku akan memberikan dua puluh lima persen saham perusahaan ku padamu. Bagaimana, apa kau setuju?" jawab dan tanya Evan meminta persetujuan.
"Em... boleh juga. Aku terima. Deal!!!" jawab Puspita sambil berjabat tangan dengan Evan tanda setuju.
"Dua puluh lima persen???! Heh! Jika bisa menguasai semuanya. Kenapa tidak ha..ha..?!!!" batin Puspita tertawa licik.
"Baiklah. Karena sudah siang dan sekarang kau sudah resmi menjadi rekan kerjaku dalam proyek sandiwara ini. Mari kita makan siang! Aku akan mentraktirmu." ucap Evan sambil berdiri dari duduknya.
"Hm... baiklah. Ayo, aku ada rekomendasi tempat makan yang memiliki pemandangan indah. Apa kau mau ke sana?" tawar Puspita ikut berdiri dari duduknya.
"Tentu saja, ayo!!! Kau pasti tahu semua tempat yang rekomended kan. Sedang aku hanya pendatang di kota ini. Jadi, sudah pasti aku serahkan semuanya padamu." jawab Evan
"Ya...ya... kupikir kau mengajakku, karena kau tahu tempat makan yang enak tadi." ucap Puspita memberenggut dan menatap malas kearah Evan yang sudah memasuki mobilnya dan duduk di kursi penumpang bagian depan.
"Lagi pula, mobil aku sudah dibawah sama Bundaku. Jadi, kau harus mengantarku kemanapun aku mau. Dan sekarang, Aku lapar. Kau harus mengantarku makan. Sebagai ucapan terimakasih telah mau bekerjasama denganku. Maka, aku akan mentraktirmu nanti. Oke?!" jawab Evan lagi dengan gaya santainya.
"Sayangnya, itu terdengar seperti tidak adil Pak Evan. Yang adil itu, kau kan pria... Maka kau dong yang menyetir untukku!" ucap Puspita sambil memeluk dada tepat didepan mobilnya.
"Yah... baiklah. Kali ini kau bisa menang dariku karena aku mengalah. Itu semua aku lakukan untuk menjaga reputasi seorang pria." ucap Evan keluar dari mobil. Dan berpindah tempat untuk duduk di kursi kemudi.
"Begitu dong... kan adil. Dan lebih enak dipandang mata." ucap Puspita sambil duduk dengan nyaman di kursi yang ditempati Evan tadi.
Setelah selesai memasang sabuk pengamannya masing-masing. Evan pun mulai menghidupkan mesin mobil milik Puspita itu. Kemudian memutar arah dan keluar dari pekarangan counter tersebut.
Tak lupa pula, Evan membunyikan klakson mobil. Sebagai tanda pamit pada Ellia. Dan hanya dibalas senyuman manis oleh Ellia.
Melihat sikap ramah dan sopan Evan pada karyawati rendahan dari tantenya itu. Puspita mendelik kesal karenanya.
"Kenapa membunyikan klakson pada karyawati rendahan seperti itu?" tanya ketus Puspita.
Mendengar pertanyaan bernada ketus itu. Evan memandang sejenak wajah Puspita.
"Memangnya salah? Dia kan juga manusia dan pastinya punya perasaan. Jadi dengan begitu, dia juga pasti akan sangat menghargai kita." ucap Evan.
"Iya, aku tahu. Tapi, apa penting penghargaan dari karyawati rendahan seperti dia?!" ucap Puspita masih dengan nada ketusnya.
"Baiklah. Aku sedang tidak ingin berdebat hanya karena masalah sepele. Jika kau tak ingin mendapat penghargaan darinya. Biar untukku saja penghargaan itu. Bereskan...?!!" ucap Evan berkesimpulan.
"Terserah kau saja. Aku sangat mengenal gadis itu. Sebentar lagi, dia pasti akan besar kepala dan membanggakan dirinya dihadapan teman-temannya. Membosankan sekali." ujar Puspita
Tanpa sadar, didalam mobil yang terus melaju dengan kecepatan sedang. Puspita dan Evan terus membicarakan Ellia.
"Benarkah kau sangat mengenalnya?" tanya Evan serius.
Namun, karena kesal dan cemburu. Puspita tak menangkap maksud dari pertanyaan Evan barusan padanya itu. Karena itulah, Puspita mengangguk pasti. Sedang dalam hati Evan telah menyusun rencana lain dibalik jawab yang diberikan oleh Puspita itu.
"Em... memangnya, kenapa gadis itu harus besar kepala dan bangga diri hanya karena mendapat klakson dariku seperti itu?" tanya Evan sambil tersenyum geli sendiri.
"Ya... karena dia baru saja mendapat perhatian kecil dari pria tampan sepertimu. Masa begitu saja kau tak mengerti sih...!!" jawab kesal Puspita dan dengan nada yang sedikit terdengar membentak.
"Eits... jangan marah-marah dong Mba'!" ucapa Evan sedikit terkejut. "Benarkah aku setampan itu Mba'?" tanya Evan lagi dan pura-pura memandang kearah lain untuk menyembunyikan senyumannya.
"Apa Bapak tidak merasa tampan? Tapi, baguslah jika Bapak tak merasa. Setidaknya, Bapak tidak akan bersifat narsis nantinya. Dan membuat para wanita yang mendekatimu akan menjadi ilfil." tanya dan jawab Puspita sendiri.
"Wah... benarkah itu? Bukankah kata ilfil itu sangat jauh dari diriku. Meski aku bersikap narsis dihadapan para wanita. Secara, wanita mana yang sanggup menolak ketampanan wajahku ini?!" ucap Evan mencoba bersikap narsis dan mengetes tanggapan Puspita atas pandangannya itu.
Didalam perjalanan menuju tempat makan yang dimaksud oleh Puspita. Evan dan Puspita terus berbincang dengan berbagai topik yang tak tentu arah. Hingga sampai saat makan dan mengantarkan pulang Evan kembali ke rumahnya.
Evan juga membuka topik tentang hal-hal yang tidak disukai dan yang ia sukai. Bahkan tentang dirinya yang hampir sepenuhnya palsu. Agar Puspita ikut mengungkapkan hal serupa padanya. Tentang dirinya yang sebenarnya.
Hal itu memang sengaja dilakukan Evan pada Puspita. Agar dia bisa lebih cepat mengenal wanita itu. Dan mampu mengendalikannya suatu hari nanti disaat ia berulah. Ataupun melanggar perjanjian yang telah mereka sepakati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments