Dream Job

Tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata bagaimana bahagia yang dirasakan Edelweis, gadis interaksi, cupu, gugup, peragu pemalu yang berhasil mendapat panggilan kerja sebagai jurnalis. Pekerjaan yang sangat didambakannya sejak lama. Mengkhayalkan dirinya menjadi jurnalis kolom terkenal.  Menjadi rebutan banyak media memiliki jutaan penggemar jika kolomnya dicetak dalam  jutaan ekslempar yang akan  disebar ke seluruh penjuru atau hmm, akan menjadi ratusan juta penggemar  kalau dicetak  ke seluruh dunia.

Pikirannya melayang jauh hingga tanpa sadar kakinya menyandung sesuatu betapa terkejutnya dia telah menendang pesanan tumpeng yang sedang dikerjakan ibunya.

Tanpa ayal tumpeng berhamburan  ke sana kemari.

Belum sempat menyembunyikan kejahatannya menendang tumpeng  dari sang ibu, suara yang sangat dikenalnya memarahinya dengan suaranya

 yang menggelegar"Edelweis!Apa yang kau lakukan? Apakah kau sengaja ingin mengirimku  ke instalasi gawat darurat?"

"Bu, aku tidak sengaja...."

"Aku tidak butuh alasanmu. Kau memang tidak punya perasaan! Patah pinggangku kalau aku  harus mengulangi membuat tumpeng itu lagi."

"Aku akan memperbaikinya, bu...."

"Kau mengiris bawang saja tidak bisa? Pekerjaanmu hanya melamun, menulis berkhayal. Kau pikir apa yang bisa kau lakukan dengan kebiasaan burukmu itu? Kerjamu hanya tidur-tiduran  menghabiskan waktu di kamar menghabiskan waktu dengan gadget, buku-buku tulisan-tulisan  yang berisi khayalan tidak bergunamu." ibu masih memarahinya dengan nada yang makin tinggi.

Wajah lelah kecewa tersirat dari wajahnya yang sudah mulai beranjak senja.

Sisa-sisa kecantikan masih terlihat di wajahnya walaupun uban keriput di sana sini mulai berebutan muncul di sana sini.

"Seandainya, ayahmu masih ada, dia akan sangat kecewa kepadamu. Habis kau dipukulinya dengan rotan."

"Bu, maafkan aku. akan kuganti."

"Kau ganti pakai apa? Tabunganmu tidak boleh kau gunakan. Kalau ada keadaan darurat , aku tidak ingin jantungku yang tadinya hanya bocor sedikit menjadi copot."

"Aku akan mengganti tabunganku bulan depan. Ibu tidak usah khawatir."

"Apalagi yang kau lakukan dengan Aksa?"

"Tidak ada."

"Jangan bohong! Terakhir kalian berdua mengamen di jalan tanpa sengaja menggores mobil orang."

"Bukan menggores bu, dia menarik kerah baju Aksa aku tidak terima, aku berusaha melepas kannya tanpa sengaja cincinku menggores sebagian kaca cat mobilnya."

"Mengapa dia menarik kerah baju Aksa?"

"Aksa mengetuk kacanya."

"Salah Aksa."

"Hmm, ya tetapi dia juga tidak seharusnya menarik kerah Aksa."

"Apakah kau sudah menyelesai kan hukumanmu dengan Aksa?"

"Sudah enam bulan penuh aku Aksa diperbudak di rumahnya. Dasar orang kaya sombong!"

"Jangan kau mengomeli apalagi merutuk yang memang menjadi salahmu Aksa. Sudahlah, biar kukerjakan ulang tumpeng ini. Masih ada waktu sedikit. Awas kau ulangi lagi kalau tidak ingin kurebus hidup-hidup!"

"Bu, berbelas kasih lah pada putrimu ini."

"Kau ceroboh kerap membuatku pusing."

"Biarkan aku mengganti tumpeng ibu."

"Jangan kau gunakan tabunganmu. Kau harus memikirkan masa depanmu."

"Lihat ini, bu...."

"Apa itu?"

"Bacalah....."

Wajah ibu terkejut membaca panggilan kerja untuk  Edelweis di sebuah majalah terkenal.

"Lentera Hati?" wajah ibu memanas. Siapa yang tidak mengenal majalah bergengsi yang dikenal seantreo  jagat?

"Bulan depan begitu aku menerima gaji pertamaku  akan kuganti tabunganku. Ibu tidak usah khawatir ya?" Edelweis mencium ibunya dengan mesra.

Airmata membasahi kedua pipi ibunya.

"Mengapa kau menangis, bu?"

"Akhirnya, kau berguna juga...." Ibunya menangis sembari mengembangkan senyumnya. Mengelus halus rambut putrinya yang hitam ikal.

"Bu...." Edelweis memasang muka dengan wajah ngambek merajuk disertai derai tawa sang ibu. Tawa bahagia yang memenuhi dadanya melihat keberhasilan putrinya menaklukkan kerasnya kehidupan  yang menempa mereka bereempat bersama Amarilis, putri bungsunya dan Basil putra satu-satunya, anak tengahnya.

Suaminya meninggal dalam  kecelakaan pesawat sejak itu  hidup mereka sekeluarga berubah total.

Amanda, ibu Edelweis sangat bersyukur ketiga buah hatinya sangat mengerti kondisi mereka yang berubah drastis.

Menerima pesanan makanan adalah hal satu-satunya yang dapat  dilakukan untuk menyambung hidup mereka berempat.

Menyekolahkan kedua anaknya menguliahkan putri sulungnya yang diterima di jalur tidak mampu mendapatkan beasiswa untuk membantu kelangsungan pendidikan putrinya.

Enam bulan menganggur setelah lulus kuliah akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai Jurnalis di Lentera Hati, majalah ternama.

Edelweis memesan sebuah tumpeng yang sangat indah. Dengan hiasan bunga mawar dari tomat, ukiran dua buah angsa dari mentimun hiasan warna warni dari aneka sayuran.

"Berapa kau pesan ini? Tumpeng ini terlihat sangat mahal. Jangan kau boroskan uangmu bagaimana kalau nanti dia meminta pesanan tumpeng seperti ini lagi?"

"Astaga! Aku tidak berpikir sampai situ?"

"Harga tumpeng ibu tidak lebih dari tiga ratus lima puluh ribu sudah lengkap dengan hiasan lauk pauknya sedangkan  tumpeng ini kau beli seharga lima ratus ribu tanpa lauk pauk?" ibu melihat bon pembayaran tumpeng tersebut.

"Kalau dengan lauk pauk harganya menjadi sembilan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah bahkan kalau ingin dengan udang ukuran besar tiger, vanamae atau  windu menjadi satu juta setengah."

"Mahal sekali. Baiklah akan kukatakan terus

 terang kalau tumpeng pesanannya rusak sebagai gantinya karena waktunya sempit terpaksa memesan tumpeng untuk menggantikan 

yang rusak."

"Terserah ibu saja. Aku mau  bersiap-siap  ke rumah Aksa mengabarkan berita bahagia ini."

"Jangan pulang malam, besok kau mulai bekerja."

"Iya, bu...."

Pagi yang penuh perjuangan. Jam weker mendadak rusak karena  Edelweis melemparnya dengan sekuat tenaga membentur dinding karena merasa terganggu dengan bunyinya yang berisik.

"Berisik!" geramnya dengan suara marah. Menarik kembali selimutnya sampai sebuah tangan yang dengan setia membangunkannya setiap pagi untuk menunaikan salat  subuhnya.

"Sebentar lagi, bu, lima menit lagi...."

"Tidak! Kau harus bangun sekarang. Salat, mandi pagi dan sarapan kalau kau tidak mau  terlambat bekerja."

"Akan kukerjakan nanti rumputnya bersama Aksa. Aku butuh tidur lebih lama setelah salat subuh."

"Ini sudah jam setengah enam. Kau mau sampai kantormu jam berapa? Memangnya kantormu menempel pada rumah kita? Ayo bangun!"

"Kantor apa sih bu?"

"Astaga! Kau lupa kalau sudah diterima bekerja di Lentera Hati sebagai jurnalis?"

Edelweis langsung bangun dari tidurnya. Seketika rasa kantuknya hilang.

"Aku harus masuk kantor jam delapan. Jam berapa ini?"

"Kalau kau terus bertanya sebentar lagi akan bergulir  menjadi jam tujuh."

Edelweis terlompat dari tempat tidurnya bergegas menyambar handuknya mandi secepat kilat. Menunaikan salat subuhnya dengan terburu-buru.

Mempersiapkan tasnya dengan serabutan. Mengisinya dengan semua hal yang diperlukannya  tidak melupakan gadgetnya.

Dia menyisir rambutnya dengan tangan karena tidak berhasil menemukan sisirnya syukurnya rambutnya dipotong dengan sangat pendek sedikit cepak ala Meg Ryan. Potongan rambut  yang sangat sesuai untuk tipikal orang yang malas dandan apalagi menyisir rambutnya setiap hari.

Kaus putih oblong warna tulang dipadukan dengan jeans dengan warna senada.

Tas cokelat kopi susunya dengan setia menemaninya. Dompet berwarna senada yang isinya beberapa lembar lima puluh ribuan seratus ribuan yang harus  dihematnya agar bisa  bertahan hingga dia menerima gaji pertamanya.

Memakan sarapannya dengan cepat karena ibunya tidak mengijinkannya keluar rumah kalau tidak menghabiskan sarapan dengan segelas teh manis hangat yang sudah disiapkan bersama pesanan makanan yang sudah diterimanya sejak pagi buta.

Dadanya kembang kempis. Impiannya menjadi seorang jurnalis majalah ternama, Lentera Hati. Gaji yang diterimanya tidak kurang dari empat juta lima ratus ribu rupiah untuk seorang fresh graduate seperti dirinya.

Tentu dengan imbalan kerja keras prestasi kerja sebagai timbal balik.

No free lunch. Semua nilai tergantung dengan seberapa besar bakat kapasitas  yang dimiliki seseorang.

Belum membayangkan travelling keluar negeri, fasilitas kantor untuk meliput tulisan yang ditugaskan kantornya.

Senyumnya mengembang, uang yang cukup kesempatan  untuk berkeliling dunia serta  peluang menjadi terkenal sebagai kolumnis berbakat membayang di pelupuk matanya.

"Hmm, maaf mbak, apa kita pernah kenal sebelumnya?" tanya pemuda seusia Basil yang duduk tepat di hadapannya mengenakan seragam putih abu-abu.

"Hmm, tidak mengapa?"

"Mbak dari tadi senyum-senyum terus ke arah saya. Saya pikir kita sudah kenal sebelumnya."

Wajah Edelweis berubah menghangat dia sangat yakin wajahnya merah seperti udang rebus

"Hmm, maaf sepertinya kamu teman adek saya ya, Basil?" sahutnya berbohong menutupi rasa malunya. Seandainya orang di depannya tahu kalau dia senyum-senyum sendiri seperti 

orang gila karena membayangkan karirnya yang cerah beragam khayalan indah yang memenuhi pikirannya, khawatir dia akan  didiagnosa Schizophrenia akut.

"Basil? Anak SMA mana mbak?"

"SMA 1?"

"Basil Dirgantara?"

Wajah Edelweis berubah syok. Pemuda di hadapannya benar-benar mengenal adiknya.

"Ah ya? Benar...."

"Jadi mbak kakaknya Basil?"

Edelweis mengangguk cepat.

"Aku sudah yakin,mbak pasti mengenalku walaupun aku tidak mengenal mbak. Mbak berbeda dengan Basil ya?"

"Oh ya?"

"Basil tidak suka senyum-senyum sendiri."

Wajahnya kembali memanas kali ini aliran darah  seperti  melawan gravitasi. Mengalir ke atas dengan cepat wajahnya merah padam menahan malu."

"Basil juga sangat rapi necis."

Tanpa sadar, Edelweis memperhatikan kaus oblong yang agak lecek karena  tertaruh di lemari tanpa digosok sebelum digunakan hanya dilipat ditaruh di lemari  karena  memang Edelweis tidak telaten melakukan pekerjaan rumah. Mengurangi waktu tidur, membaca menulisnya.

Adiknya tidak akan pernah berangkat ke sekolah kalau tidak dalam keadaan bersih, rapi wangi.

"Kak, aku turun dahulu, ya....Salam buat Basil."

Edelweis menganggukkan kepalanya dengan sangat lega.

Sesampai stasiun, dia menuruni angkot bergegas mentap kartu cashlessnya, setengah berlari berusaha mengejar kereta agar  tidak tertinggal menunggu kereta berikutnya.

Incarannya gerbang khusus muslimah walaupun dia belum berhijab, menunggu hidayah menyapa memaksa hatinya tetapi dia sudah sangat risi jika berada satu ruangan campur baur antara lelaki wanita.

Belum tensinya mendadak naik kalau ada lelaki tak bermoral memanfaatkan keadaan  untuk melakukan pelecehan seksual.

Ingin rasanya melemparnya dari  kereta tentu saja hal itu tidak mungkin dilakukan kalau dia tidak ingin berhadapan dengan hukum.

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Lebih baik naik gerbong khusus wanita kecuali kalau kereta kosong tidak ada peluang orang melakukan pelecehan seksual tentu tidak ada masalah berada di dalam gerbong  yang  sama dengan  kaum adam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!