Tidak ada waktu bagi Theo untuk berkubang dalam rasa patah hatinya. Theo malah semakin menyibukkan dirinya, agar tidak teringat perihal berakhirnya kisah cintanya dengan Mellisa. Meskipun Theo masih memiliki harapan untuk dapat kembali kepada Mellisa.
Usahanya memang telah berkembang pesat, tapi Theo masih bertahan dengan sepeda motornya. Tentu saja ia ingin kembali membeli mobil untuk dirinya sendiri, tetapi tidak sekarang. Ia hanya ingin mengokohkan usahanya terlebih dulu, dan membahagiakan keluarganya.
Bagi Theo, itulah yang terpenting sekarang. Jika usahanya telah berdiri dengan kokohnya, maka ia tidak perlu begitu khawatir dengan kelangsungan hidup dirinya maupun keluarganya nanti.
...****************...
"Masih belum ada kabar dari Mellisa?" Tanya Benny saat memasuki ruang kerja Theo.
Benny adalah teman Theo sejak SMA, dan Benny-lah yang membantunya sejak awal dalam mendirikan event organizer ini.
Theo yang sedang terfokus pada ponselnya langsung mendongakkan kepalanya ke arah temannya itu. Lalu matanya beralih ke tumpukan berkas yang diletakkan oleh Benny dimejanya.
"Udah dua tahun lebih, masih aja nyariin Mellisa terus. Dia udah nutup semua akses komunikasinya, bro. Elo harusnya sadar, itu berarti emang dia udah enggak mau ada kontak lagi sama elo."
Theo menghela nafasnya, lalu menegakkan posisi duduknya dan meletakkan ponselnya dimeja.
"Dia begitu karena orangtuanya, Ben. Dia cuma enggak pengen gue kenapa-napa."
"Ya udah kalo gitu, elo juga enggak usah nyari-nyari dia lagi. Dia juga palingan udah punya pacar, dijodohin mungkin sama orangtuanya. Percuma aja elo telusurin medsos temennya satu-satu, mereka juga enggak ada yang mau kasih tau kan?"
Benny berjalan mendekat dan berdiri disamping kursi Theo, dan menepuk pundak Theo beberapa kali.
"Udah cukup dua tahun ini elo nungguin Mellisa, udah waktunya elo move on. Sekarang elo udah sukses, banyak duit, jadi bos ya kan? Tinggal elo ganti aja tuh motor lo jadi mobil, dijamin cewek-cewek banyak yang ngantri dengan sendirinya."
Theo menyunggingkan senyuman, lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
"Gue enggak yakin bakal mampu, Ben. Dalam hati dan pikiran gue isinya masih kenangan gue sama Mellisa semua." Ucap Theo sambil menyandarkan kembali punggungnya dan wajahnya menengadah ke atas, menatap langit-langit ruangannya, seolah sedang meramalkan dirinya dimasa yang akan datang.
"Elo tuh sekolah aja yang pinter, giliran soal cewek malah jadi gobl*k! Itu tuh karena elo-nya aja yang sampai sekarang belum mau ngebuka diri buat cewek lain. Makanya isinya masih Mellisaaaaa semua. Yakin deh, ntar begitu elo ketemu yang cocok, bakalan jadi bucin lagi lo! Enggak bakal lo inget Mellisa-Mellisa itu lagi, yakin gue!"
Theo hanya tersenyum menanggapi perkataan Benny barusan. Ia sendiri pun tidak yakin, apakah nantinya ia dapat melupakan Mellisa dan menggantinya dengan pujaan hatinya yang baru?
"Udah buruan dicek berkasnya, gue butuh persetujuan elo sore ini. Gue mau balik ke ruangan, ada interview anak magang bentar lagi."
...****************...
Theo pulang larut malam ini, dan ini sudah biasa terjadi sejak kandasnya hubungannya dengan Mellisa. Setelah menggantung jas hujannya, Theo segera masuk ke dalam rumah dan mendapati ibunya yang masih terjaga sambil menonton TV.
"Mama belum tidur?" Tanya Theo sambil melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sebelah lebih dua puluh lima menit itu.
Ia pun segera berjalan mendekati sang mama dan mengecup pipi kiri mamanya.
"Belum bisa tidur, kayaknya karena siang tadi mama kelamaan tidur siangnya."
Martha lalu menyentuhkan tangannya ke arah wajah dan tangan Theo yang terasa dingin itu.
"Buruan mandi, mama siapin teh anget ya. Atau... kamu mau makan juga?"
"Nanti aja Theo siapin sendiri, Ma. Theo kepengen makan mie, mama tidur aja sekarang."
"Udaaahhh... kamu mandi aja. Mama yang akan bikinin kamu teh dan mie-nya."
...****************...
Theo menuruti perintah mamanya untuk segera membersihkan diri. Setelah selesai, ia segera turun ke bawah. Aroma kuah mie instan telah memasuki indera penciumannya saat menuruni tangga, dan tampaknya sang mama telah masuk ke dalam kamar untuk tidur.
Saat hendak menikmati mie instannya, terdengar suara pintu yang terbuka. Theo menengok dan mendapati Tania keluar dari kamarnya. Theo menyunggingkan senyuman. Tampaknya ia terlalu sibuk bekerja, sehingga tidak menyadari jika adik perempuannya sudah sebesar ini sekarang.
"Belum tidur?" Tanya Theo sebelum menyuapkan mie instan ke dalam mulutnya.
"Udah, cuma kebangun dan pengen minum aja." Jawab Tania sambil mengisi gelasnya dengan air mineral.
Setelah minum, Tania malah duduk disebelah Theo dan memandangi kakaknya
"Mau?" Theo menawarkan mie instan yang tengah dinikmatinya.
Tania menggelengkan kepalanya. "Abang balik malem mulu, weekend juga seringnya kerja."
"Ya kan acara-acara gitu kebanyakan pas weekend."
"Tapi kan abang udah punya banyak karyawan, apa masih harus abang ikut ngerjain juga?"
"Kenapa enggak? Abang bikin usaha ini kan karena abang yang suka."
"Tapi abang jadi enggak punya waktu untuk keluarga. Meskipun semua kebutuhan kami dicukupi sama abang, tapi kan abang juga harus ngeluangin waktu untuk kumpul sama keluarga. Kak Tito sama anak istrinya aja bisa, masa abang yang bos enggak bisa sih? Makanya mama papa suka gantian melek tuh, cuma demi nungguin abang pulang."
Theo terdiam sesaat, dan kemudian mengusap lembut puncak kepala adiknya. "Hm, abang akan sering-sering luangin waktu buat keluarga."
Tania menghela nafasnya, lalu memberanikan diri untuk berkata kepada Theo. "Bang, boleh enggak Tania... bantuin abang kerja?"
"Kenapa? Uang yang dari abang kurang ya?"
"Bukan gitu maksudnya, Bang." Tania menggelengkan kepalanya. "Tapi... selama ini kan semua orang di rumah tuh selalu menuhin kebutuhan aku. Pas kondisi ekonomi kita lagi enggak bagus pun, kalian tetep maksain aku buat masuk ke sekolah yang mahal."
Theo memberikan kode kepada adiknya untuk menunggunya sebentar agar bisa menyelesaikan makannya. Setelahnya, Theo baru memberikan penjelasan kepada adiknya.
"Kamu tau kenapa kita semua begitu ke kamu? Itu karena kami enggak pengen kamu merasa dibedakan."
"M-maksud abang?"
"Yah, kamu tau sendiri dulu abang Tito dan abang sekolahnya ditempat mahal semua. Bahkan kami juga difasilitasi mobil sama papa. Tapi setelah papa pensiun dan sakit, memang banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan papa. Tapi kami semua sepakat, kalo pendidikanmu juga enggak boleh terabaikan. Oleh sebab itulah abang Tito dan abang bekerja keras biar kamu bisa sekolah di sekolah yang bagus, sama seperti kami dulu. kamu juga kemarin abang tawarin mobil tapi enggak mau."
"Orang abang aja pakenya motor, masa aku minta minta mobil."
"Ya enggak masalah, kan abang yang nawarin."
Lagi-lagi Tania menggelengkan kepalanya. "Akunya juga enggak bisa nyetir. Tapi sekarang masalahnya bukan itu, aku... cuma pengen bantuin abang. Bisanya ya cuma bantuin abang, karena kalo bang Tito kan kerjanya di kantor orang."
"Kamu kalo mau bantuin abang, sekolah aja yang bener, lulus tepat waktu, enggak neko-neko, terus bahagiain mama papa. Itu aja."
"Tapi aku kan juga pengen punya kegiatan kalo pas liburan semester gitu, Bang. Sabtu Minggu gitu juga, bosen tau di rumah terus."
"Jadi kamu mau kayak part time gitu?"
Tania langsung menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Mau banget!"
"Yaudah, besok abang ngomong sama Benny. Biar dia yang atur kamu bisa bantuin diacara yang mana."
"Makasih, abangku yang ganteng!" Tania langsung memeluk Theo dengan erat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Hemi Imut
Andai aku yang di peluk😂😂😂
2022-06-14
1