Hari senin.
Ah, hari yang sangat menyebalkan, Jerga melepaskan helm full face-nya dan menaruhnya di kaca spion, kepalanya dia tolehkan ke belakang, serta tangan kanannya yang juga terulur ke belakang.
"Yuk Kak masuk?"
Terlihat gadis di sampingnya ini mengangguk. Matanya bergerak kesana-kemari, sesekali menunduk. Jerga tahu gadis itu masih takut, karena hari ini memang pertama kali dia masuk sekolah lagi.
Hari pertama dengan kondisinya yang seperti ini.
Awalnya, Jia memang di larang Dharma untuk melanjutkan sekolah, tetapi Jerga memohon kepada ayahnya itu untuk memperbolehkan kakaknya sekolah lagi. Sebab Jerga tahu, kakaknya masih bisa sedikit mengerti, masih bisa sedikit menangkap. Karena beberapa kali dia belajar dan di temani gadis itu, ya memang paham, mengerti. Paham dengan apa yang disampaikannya.
Maka dari itu, Jerga memohon kepada Dharma untuk memperbolehkan Jia bersekolah lagi. Dengan janji, jika gadis itu tidak merepotkan belajarnya di sekolah. Maksudnya, tidak mengganggu.
Dan Jerga tentu saja juga berjanji, dia percaya Jia tidak akan seperti itu, atau dalam artian kasar 'mengganggunya'. Mengganggu dalam hal belajar ataupun yang lainnya, hingga akhirnya kepala sekolah juga mengizinkan itu.
Entah, Jerga pikir akan sulit mendapatkan izin dari sekolah. Tetapi nyatanya segampang itu.
Ah, ayahnya. Jerga langsung mengerti. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh ayahnya itu?
Sebenarnya alasan lain Dharma tidak memperbolehkan Jia untuk bersekolah lagi karena akan merepotkan, juga karena, dia malu. Malu dengan kondisi mental gadis itu.
Jerga bersyukur akhirnya mereka masih memperbolehkan kakaknya untuk melanjutkan sekolah. Tetapi, masih ada yang dia takutkan, murid-murid disekolah. Apakah mereka akan menerimanya? Dia takut, Jia akan di-bully. Karena anak-anak di sekolahnya … itu berbeda.
Jerga berharap, tidak akan terjadi hal seperti itu.
"Jerga disini, Kak ...."
Lelaki itu menurunkan telapak tangan Jia yang sejak tadi mencengkram lengannya. Menggenggam telapak tangan itu dengan erat, mengusapnya lembut guna menenangkannya.
Terlihat Jia mengangguk pelan, membuat Jerga tersenyum menatapnya. Tangannya terangkat lagi untuk merapikan anak rambut gadis itu yang sedikit berantakan karena helm tadi. Keduanya kini mulai melangkahkan kaki mereka memasuki gedung megah dan luas berwarna putih ini. Namun sebelum itu Jerga menghembuskan napasnya lirih.
Tidak akan ada apa-apa kan?
Belum banyak siswa-siswi yang terlihat berkeliaran di koridor, karena memang bell masuk pelajaran pertama masih lama.
Dan, yang Jerga takutkan terjadi juga.
Saat mereka berjalan melewati koridor, banyak yang berbisik-bisik sambil menatap mereka dengan tatapan yang ... yah, seperti itu. Bukan dirinya, lebih tepatnya menatap gadis yang berjalan di sampingnya ini.
Tatapan-tatapan yang seperti itu, yang terkadang membuat Jia takut bertemu dengan orang-orang, dan membuatnya kadang tidak bisa terkendali. Tidak terkendalinya juga bukan mengamuk atau marah, tetapi gadis itu akan menangis, bahkan menjerit.
Semakin panjang koridor dan tangga yang mereka lewati, semakin banyak pula yang membisikkan Jia di sepanjang jalan. Bahkan, ada juga yang terang-terangan mengatai gadis itu dengan kata-kata yang tidak pantas.
"Jiaaa~"
Panggilan yang lumayan keras itu membuat kedua orang yang hampir sampai di kelas menoleh ke belakang.
Jerga menatapnya malas. Tidak seperti Jia, dia menatap lelaki yang tengah berlari ke arahnya dengan senyum senang.
"Aaaa gue kangen Jiaa~"
Lagi-lagi tatapannya malas menatap lelaki yang kini tengah merubah raut wajahnya menjadi cemberut itu saat sudah sampai di hadapannya.
"Pagi amat lo berangkatnya tumben?"
"Tuh, mas galak nggak sabaran banget!"
Jerga beralih menatap seseorang yang tadi memang berjalan di belakang lelaki itu. Jalannya santai, tidak seperti lelaki di hadapannya yang berlari kencang.
"Males gue berangkat sama lo sumpah!" ketusnya di belakang sana. Batinnya berkomat-kamit ingin sekali membuang lelaki di sampingnya ini.
"Acca lucu!"
Mereka bertiga menoleh menatap gadis yang baru saja berkata dengan senyuman manisnya tadi, sambil memuji lelaki yang berdiri di hadapannya.
"Accen lucu nggak?"
Jia beralih menatap seseorang yang berdiri di samping lelaki yang dipujinya tadi, kepalanya mengangguk cepat. Senyumnya bahkan tidak luntur sedikit pun.
Jia bisa tersenyum juga jika bersama mereka.
Jerga bersyukur mereka masih mau berteman dengan kakaknya. Bahkan saat dia memberitahu jika kakaknya diperbolehkan sekolah lagi, mereka terlihat sangat senang. Dan katanya, mereka nantinya akan selalu ada untuk kakaknya jika apa-apa terjadi dengan gadis itu di sekolah.
Ah, Jerga terharu mendengar itu.
Karena dia pun sebenarnya ragu, apa dia bisa selalu menjaganya jika di sekolah atau tidak. Mereka saat ini sudah menginjak kelas tiga SMA bukan? Jadi Jerga bukan khawatir tentang karena menjaga kakaknya belajarnya jadi kacau, tetapi khawatir tentang tidak bisa menjaga kakaknya karena belajarnya.
"Acca lebih lucu dari Accen!"
"Dih."
Yang di panggil Accen itu hanya melirik sinis. Tidak mau berdebat, karena dia pasti akan kalah jika berdebat dengan anak itu.
Orang yang tidak mau kalah dalam apapun, pasti akan merengek seperti anak kecil jika itu terjadi. Apalagi kalau soal bermain game. Dia selalu mengalah untuknya, dari pada lelaki itu merengek terus?
Menurut Accen, Acca adalah orang yang menyebalkan.
Tidak-tidak.
Menurut Rasen, Haksa adalah manusia yang paling menyebalkan di muka bumi ini.
Sedangkan Jerga, dia hanya memutarkan kedua bola matanya, lalu membalikan badannya dan menarik lembut lengan Jia untuk memasuki kelas.
Saat baru saja Jerga dan Jia memasuki kelas, benar saja, banyak pasang mata yang langsung menatap mereka saat ini. Seperti tadi, tatapan aneh sambil sesekali berbisik-bisik dengan orang-orang di samping mereka.
Jerga menghela napasnya, kepalanya menolah menatap Jia yang saat ini tengah menunduk takut.
"Pagi, Jia!"
Lelaki itu kembali menolehkan kepalanya ke depan, menatap gadis yang tengah tersenyum sangat manis sambil mendekat ke arah dia berdiri.
Gadis yang memanggilnya dengan senyuman manis itu sudah sampai di depannya. Lebih tepatnya di depan kakaknya.
Dan tatapannya berubah sendu.
"Yora disini buat Jia."
Gadis berambut pendek itu bisa melihat dari mata yang sejak tadi ditatapnya kalau itu adalah tatapan takut. Dia tersenyum tipis.
Dan Jerga paham, kakaknya masih takut dengan orang-orang sekitar meskipun dulunya mereka dekat. Seperti Yora, gadis itu adalah sahabat dekat Jia, tetapi entah kenapa Jia juga takut dengannya. Mungkin karena memang sejak kondisinya seperti itu, Jia kan selalu di rumah, tidak pernah bertemu dengan siapa-siapa.
Ah, kalau untuk Rasen dan Haksa tadi, kenapa Jia bisa tersenyum juga dengan mereka, ya karena mereka dekat. Terkadang memang mereka berdua berkunjung ke rumahnya.
Jerga bersyukur, masih menyisakan orang-orang sebaik mereka di sekolah ini, yang tidak ikut membenci atau bahkan mem-bully kakaknya karena kondisi gadis itu yang sekarang.
Yora kembali tersenyum tipis saat tangan Jia yang tadi digenggamnya tadi di lepaskannya pelan. Dia lalu menatap mata itu sayu, dia juga sakit melihat sahabatnya seperti itu.
"Sorry, Ra."
Gadis itu mendongak, seketika tersenyum manis menganggapi itu, "gue ngerti, Jer."
"Sorry juga gue nggak ada buat Jia waktu itu," Yora menghela napasnya sejenak, "dia jadi takut sama gue juga." Lirihnya.
Jerga hanya tersenyum mendengarnya, langkah kakinya mulai di gerakkan menuju bangku Jia, sebelum tadi menjawab tidak apa-apa kepada gadis berambut pendek itu. Jerga sedikit menggeram saat sampai di samping bangku kakaknya. Tangannya pun sedikit terkepal.
Bagaimana tidak? Yang dia lihat saat ini, meja kakaknya penuh dengan coretan spidol berwarna hitam, dengan tulisan yang hampir semua adalah kata-kata umpatan.
Matanya memanas.
"Nanti Jerga bersihin ya, Kak?"
Jia yang sedari tadi menunduk itu mendongakkan kepalanya menatap Jerga di sampingnya yang masih setia menggenggam tangannya. Dia pun masih setia mencengkram erat lengan lelaki itu.
Mata Jerga melirik bangku disebelah Jia, lalu kemudian melirik jauh ke depan sana menatap seseorang yang kini sudah memalingkan wajahnya saat mata mereka bertemu.
Jerga tersenyum kecut.
Sahabat kakaknya. Teman satu bangkunya, bahkan sekarang sudah tidak mau satu bangku dengan kakaknya. Dasar munafik.
"Ada gue, Jer." Tutur Yora yang baru saja duduk di bangku depan.
"Makasih banyak, Ra."
Yora yang mendengarnya kembali tersenyum, "lo kayak sama siapa aja, Jer."
Setelah memastikan Jia duduk dengan benar, Jerga tersenyum sekilas. Ah, andai dia juga berada di kelas ini, itu akan sangat mudah untuk memantau kakaknya setiap jamnya. Sayangnya kelasnya bukan disini, tetapi kelas sebelah.
Meskipun di kelas Jia sudah ada Rasen dan juga Yora yang dapat dia percaya, tetapi Jerga benar-benar tidak ingin merepotkan kedua orang itu.
Jerga kembali melempar senyum kepada kakaknya, "Kak, Jerga ke kelas dulu ya?"
Jia masih menundukkan kepalanya, jarinya kembali lagi ia gigiti, membuat Jerga menurunkannya dengan lembut Lagi-lagi lelaki itu tersenyum sendu, tangannya terulur untuk mengelus puncak kepala kakaknya. Semoga dia bisa menjaga kakaknya dengan baik di sekolah.
Yora yang duduk di bangku depan itu juga ikut tersenyum. Merasa sedih melihat sahabatnya seperti sekarang ini. Gadis yang pintar, cerdas, sama seperti Jerga.
Dari gaya bicara Jia memang terlihat seperti orang biasa pada umumnya. Bisa menangkap, bahkan kadang bisa menjawab dengan benar. Tidak seperti orang yang memiliki gangguan mental lainnya. Hanya saja memang terletak pada sikapnya, yang terkadang berubah-ubah atau tidak terkontrol. Juga sering menangis.
"Ribut lu ama gue!"
Kegaduhan itu membuat anak seisi kelas menatap dua orang yang baru saja memasuki kelas. Sama halnya dengan Jerga dan Yora, sementara Jia masih saja menunduk sambil kembali mengigiti kuku jarinya lagi.
"Kalian sehari aja nggak ribut bisa nggak sih?"
Lelaki dengan wajah songongnya itu berjalan menghampiri dua orang yang menatapnya dengan malas disana.
"Nggak bisa, Ra. Rasen tuh sukanya ngajak berantem mulu sama gue."
Mendengar itu membuat Yora yang bertanya seperti itu tadi langsung memutarkan bola matanya. Sudah tidak heran lagi dengan lelaki bernama Haksa itu.
"Pergi sana lo! Kelas lo bukan disini!"
"Iyee ah, bawel!"
Rasen meliriknya sinis disana sambil meletakkan tas sekolahnya di bangku paling depan. Siapapun tolong hilangkan saja manusia bernama Haksa itu dari bumi ini.
"Jia~ Acca ke kelas dulu yaa, nanti istirahat sama Acca, oke?"
"Jia sama gue."
"Ya elah pelit amat lo, Jer!"
"Terserah gue dong."
"Iye dah, yang kembar mah beda."
"Nggak ngaca."
Yora kembali merotasi kedua bola matanya. Dia bisa melihat setelah itu Haksa ditarik lengannya oleh Jerga untuk keluar kelas, menuju ke kelas mereka yang ada di sebelah. Karena bell masuk juga sepertinya sebentar lagi akan berbunyi.
Gadis itu kembali menatap Jia, lalu tersenyum menatapnya yang sejak tadi hanya menundukkan wajahnya itu.
Senyumnya mengembang lebar dan seketika tubuhnya sudah duduk dibangku yang berada di samping Jia dan membuat gadis itu menoleh kaget.
"Sekarang Yora duduknya sama Jia."
Gadis itu hanya menunduk, bola matanya melirik kesana-kemari. Yora mengerti, Jia mungkin masih belum terbiasa dengannya. Meskipun sudah di katakan jika mereka dulu adalah sahabat dekat.
Tapi Yora akan terus berusaha, berusaha agar sahabatnya itu mempercayainya juga. Mempercayainya jika dia juga salah satu orang yang akan melindunginya. Dia tidak peduli apa yang akan dia terima juga setelah ini. Bukan hal yang tidak mungkin jika dia tidak mendapat bully-an karena dia masih mau berteman dengan Jia.
Ya, Yora memang bisa melihat bagaimana anak kelasnya menatapnya. Dia sudah tahu jika mereka tidak suka dengan Jia. Namun lagi-lagi, dia tidak peduli tentang semua itu.
Yang dia akan lakukan mulai saat ini hanyalah menjaga sahabatnya.
.......
.......
.......
Jam menunjukkan pukul setengah dua siang, beruntung hari ini sepertinya memang tidak akan hujan. Langit berwarna biru masih membentang luas di atas sana, dan saat ini Nanggala berjalan menyusuri trotoar jalanan kota Jakarta. Tiga puluh menit lagi jam kerjanya dimulai.
Memang Nanggala sering berangkat tiga puluh menit lebih awal, jika tidak ada kendala. Dia akan selalu tepat waktu atau bahkan sudah tiba walau jam kerjanya belum mulai.
"Maaf, Kakak."
Nanggala sedikit terkejut ketika dengan tiba-tiba ada yang menubruk tubuhnya dari belakang. Lelaki itu lantas memutar tubuhnya, dan seketika senyumnya pun mengembang menatap mata cantik itu.
Tubuhnya dia jongkokkan menyamai tinggi anak itu, "nggak papa, lain kali hati-hati ya?"
Anak kecil itu mengangguk paham sambil tersenyum sangat manis, lantas membuatnya mengangkat tangannya lalu mengusap puncak kepala anak itu gemas.
Ah, dengan posisinya sekarang ini, sekilas mengingatkannya dengan gadis yang di temuinya waktu itu. Gadis cantik berambut panjang yang di temuinya di taman bermain. Gadis yang lugu.
Apa mereka akan bertemu lagi nantinya?
Nanggala berharap … Iya. Dia ingin bertemu lagi dengannya. Senyumnya mengingatkannya dengan seseorang.
"Aduh maaf, Dek. Anak saya lari-larian ya?"
Lamunan Nanggala buyar dan refleks tubuhnya bangkit lagi, dia tersenyum menatap kedatangan wanita yang sudah bisa dia pastikan adalah ibu dari anak kecil tadi.
"Cilla udah Mamah bilang jangan lari-lari! Aduh maaf sekali lagi ya, Dek?"
"Nggak papa, Bu."
Setelah mengucapkan maaf beberapa kali, wanita tadi itupun pergi sambil menuntun anaknya. Nanggala masih tersenyum sambil menatap punggung keduanya yang kian menjauh, pun dengan dirinya yang juga ikut melanjutkan langkahnya.
Tidak terasa Nanggala sudah sampai di tempat kerjanya dengan tulisan khas minimarket terpampang jelas di atas sana dengan huruf yang besar.
"Siang!"
"Eh, Nanggala? Udah dateng?"
Anak itu mengangguk sambil membenarkan tas ranselnya di pundak, "iya, Kak."
"Cepet banget sih? Masih lama loh."
"Nggak papa, Kak. Nanggala 'kan bisa bersih-bersih dulu."
"Humm, yaudah deh."
Perempuan berambut panjang itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ekor matanya mengikuti pergerakan Nanggala yang sudah melangkah ke ruang ganti, lalu tidak lama kemudian lelaki itu keluar dengan beberapa alat pembersih yang berada di tangannya.
Tentu saja Nanggala sudah melepas topi, jaket dan juga ranselnya, dia menaruhnya di ruang ganti.
Masih dengan senyumannya, perempuan itu menatap Nanggala lagi yang kini mulai melakukan kegiatan bersih-bersihnya. Ada alat pel di tangannya, serta kain kecil berwarna putih dan penyemprot botol.
Sayas menghela napasnya lirih. Dasar Nanggala, kan bisa dilakukan satu per satu, lagi pula jam kerjanya masih lima belas menit lagi. Seperti itulah Nanggala yang Sayas kenal tiga bulan yang lalu.
Nanggala sudah bekerja disini selama tiga bulan, sedangkan dirinya sudah hampir tujuh bulan. Dia mengenal Nanggala sebagai anak yang ramah, murah senyum, baik hati, dan juga pekerja keras. Umurnya dan anak itu terpaut lima tahun. Dia saat ini kuliah, sambil bekerja paruh waktu disini.
Sayas juga kadang merasa kasihan dengan Nanggala. Anak itu sering membawa buku-buku belajarnya ketika dia shift malam, dan Nanggala selesai shift pagi. Dia sering melihat anak itu tengah belajar, tetapi saat di tanya bagaimana tentang sekolahnya, jawaban yang dia dengar dari anak manis itu adalah, "Nanggala nggak sekolah, Kak."
Begitulah jawaban yang Sayas dapat beberapa bulan yang lalu saat mendapati lelaki itu tengah belajar.
Sayas menghembuskan napasnya, "Nanggala udah makan?"
Sang empu yang sekarang tengah membersihkan kaca bagian dalam itu menoleh ketika di beri pertanyaan seperti itu.
"Udah Kak tadi. Kak Sayas Udah?"
"Udah dong~"
Mereka sama-sama terkekeh satu sama lain. Karyawan disini ya hanya mereka, mereka berdua. Jadi hanya ada dua shift.
Hingga waktu berlalu dan tak terasa jam kerja Sayas telah usai. Gadis itu kebetulan memang ada jam kuliah pukul setengah tiga nanti, dan dia akan berangkat dari sini langsung.
"Nanggala, Kak Sayas pergi dulu ya?" gadis itu menghampiri meja kasir, "kayaknya nanti Kakak ke sini lagi deh malem, ada barang yang Kakak tinggal. Berat kalo di bawa kuliah."
Mendengar itu, lelaki yang tadi tengah mengecek stok barang lewat komputer pun mengangguk dan tersenyum, "siap, Kak."
"Yaudah Kakak berangkat dulu, dah Nanggala!"
"Hati-hati, Kak!"
Nanggala tersenyum melambaikan tangannya menatap kepergian perempuan itu. Senyumannya lama-lama menipis, kepalanya menunduk. Senang sekali Sayas bisa pergi setiap hari untuk sekolah. Memiliki tugas, menghadapi ujian, belajar di kelas, bahkan mungkin bisa menghabiskan harinya di sekolah.
Dia juga ingin.
Nanggala mendongakkan kepalanya lagi, tidak ingin terlarut dalam kesedihannya.
"Selamat datang!"
Senyumnya lagi-lagi dia tunjukkan dengan ramah saat ada satu pengunjung datang.
Nanggala itu terlalu rajin ketika sedang shift, dia sepertinya tidak pernah berhenti sedetik pun saat sedang bekerja. Banyak hal yang dilakukan, seperti dia tidak pernah merasa lelah.
Hingga tidak terasa hari sudah semakin gelap, Nanggala melirik jam dinding yang menempel di dinding belakangnya, jam kerja terakhirnya dimulai lima belas menit lagi. Kali ini dia tidak terlalu terburu-buru, karena tempatnya memang lumayan dekat.
Ya, dimana lagi Nanggala bekerja larut malam begini kalau bukan di Cafe?
Terdengar bunyi lonceng ketika pintu minimarket dibuka seseorang dari luar, Nanggala yang tadi tengah melamun itu mendongakkan wajahnya cepat.
"Selamat datang!"
Terdengar bunyi berisik dari sana, Nanggala dapat mendengar ketiga orang yang tadi datang itu tengah membuka kulkas berisi macam-macam minuman. Lalu tidak lama ketiga orang yang dari dia lihat mereka ini masih anak dibawah umur, meletakkan dua botol minuman serta salah satu dari mereka meraih benda kecil yang berada di bagian meja kasir.
Nanggala menatap mereka intens. Wajah mereka masih sangat muda.
"Apa lo?"
Nanggala hanya menghela napasnya, "ngapain beli ginian?"
"Ya lo kira buat apaan lagi? Cepetan deh ah gue udah dewasa kali!"
"KTP."
"Ck! Nggak percayaan banget sih ini orang?!"
Nanggala kembali menghela napasnya panjang, menatap bergantian ketiga anak muda yang saat ini tengah memandangnya kesal.
"Kalian masih di bawah umur, ngapain kalian beli ginian? Belajar dulu yang bener, terus menikah, baru boleh. Kakak nggak akan jual ini buat kalian."
"Wah?" sahutnya tak percaya.
Anak lelaki berjaket kulit itu terkekeh sinis menatapnya, "nggak usah belagu lo! Nggak usah ngatur kita! Lo aja sana sekolah yang bener!"
Ah, sekolah lagi ....
Hey, seharusnya dia yang berkata itu kepada mereka kan?
Nanggala hanya menatap mereka tanpa ekspresi, dan mulai mengambil benda kecil tadi lalu ditaruh di belakang meja kasirnya untuk nanti di kembalikan ke tempatnya lagi.
"Heh, kita tuh pembeli disini! Pembeli adalah raja! Terserah kita dong?! Mau gue aduin sama bos lo kalo lo kerjanya nggak bener?!"
Nanggala menulikan pendengarannya yang sekarang mulai fokus mengamati layar komputer di hadapannya.
"Kalian beli permen aja."
Mereka kembali terkekeh sinis dan menatapnya dengan tatapan membunuh. Nanggala tidak peduli.
Kring!
"Selamat datang!"
Keempat orang itu menoleh ke sumber suara, pengunjung lain datang. Nanggala-pun memberi salam dan masih mengabaikan ketiga anak muda di hadapannya ini.
Mereka berdecak kesal.
"Balik aja lah!"
Nanggala hanya menatap kepergian ketiganya sambil menghela napasnya. Dasar, dia bisa melihat ketiga anak lelaki itu masih SMA, bahkan seperti lebih muda darinya. Dia menggelengkan kepalanya.
Kring!
Pengunjung lagi.
"Nanggala~!"
Ah, bukan. Itu suara Sayas.
Perempuan itu menghampirinya sambil berlari.
"Belum tutup? Kan udah waktunya tutup?"
Nanggala mendongakkan kepalanya untuk melihat jam yang berada di belakangnya.
Benar! Sudah waktunya tutup! Sial, gara-gara mengurusi ketiga anak tadi jadi terlewat waktunya. Sudah saatnya minimarket tutup, dan sudah saatnya juga dia berangkat kerja lagi.
"Ah iya! Aduh maaf Kak, tadi masih ada yang beli."
Sayas yang masih mengatur napasnya karena berlari tadi terkekeh. Maka dari itu tadi dia berlari, dia bisa melihat dari jauh jika minimarket masih buka, jadi Sayas cepat-cepat, takutnya Nanggala sudah akan tutup.
Ternyata malah lelaki itu masih ada pembeli.
"Udah kamu berangkat kerja aja, nanti telat. Biar Kak Sayas yang melayani dan tutup toko."
Nanggala menoleh cepat dan melihat gadis itu tersenyum manis meyakinkan dirinya.
"Makasih, Kak! Besok Nanggala teraktir Kak Sayas seblak dua!" Jawabnya tersenyum haru.
"Iya loh?? Asikk, dapet dua seblak! Haha, udah sana!" pecinta seblak kegirangan.
Nanggala tersenyum, lalu kini tubuhnya sedikit berlari menuju ruang ganti untuk mengambil tas, jaket dan juga topi putihnya. Dan saat anak itu melewati meja kasir lagi, dia melihat satu pembeli terakhir yang tadi datang itu tengah dilayani oleh Sayas.
"Nanggala pergi dulu, Kak!"
"Iyaa! Hati-hati!"
Ucapan keras Nanggala tadi membuat Sayas dan pembeli tadi menoleh ke arah lelaki itu.
Sayas terlihat melambaikan tangannya, serta pria yang membeli sekaleng kopi itu masih menatap kepergian Nanggala, yang selanjutnya beralih menatap perempuan di hadapannya.
"Siapa nama anak tadi?"
Sayas mendongakkan wajahnya, menatap pria tinggi di hadapannya bingung.
"Nanggala."
"Nanggala Aksha." lanjutnya.
Pria itu hanya mengangguk mendengar jawaban perempuan itu. Dia seperti tengah berpikir sejenak, dan detik selanjutnya bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis.
'Nanggala Aksha, ya? Kita bertemu lagi.'
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
...• To be continued •...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...Kira-kira, Nanggala ketemu lagi ngga ya sama si cantik di taman bermain itu?...
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Metazaaa
wahh ceritanya bagus , bikin penasaran terus
semangat ya author ..
dan kalau kakak author berkenan mau mampir di karya saya
2022-07-06
2