01. Nanggala Aksha

Lelaki itu sedikit memincingkan matanya kala cahaya kerlap-kerlip sangat menusuk penglihatannya. Dia berusaha menegapkan tubuhnya dan melanjutkan langkahnya ke meja yang tak jauh darinya, tak lupa juga dia membawa nampan berisi minuman yang akan di antarkannya kesana.

Orang-orang yang ada di sana wajahnya tak bisa di kenali. Mereka semua memakai topeng dan beberapa tengah asik dengan kegiatannya sendiri.

"Silahkan."

Ucapannya beberapa detik lalu membuat semua yang ada di sana terdiam dan menatapnya. Dia pun bingung, ada apa? Apa ada yang salah dengannya? Hingga perasaan bingung itu kian bertambah saat beberapa dari mereka mendekatinya dengan ekspresi wajah yang terkesan datar.

"Uhuk!"

"Uhuk! Kalian ... apa-apa—"

Sulit … Kenapa dia sangat sulit bernapas? Seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya dan itu benar-benar membuatnya tersiksa.

Dia terbatuk beberapa kali hingga dia bisa merasakan baju bagian atasnya basah, beberapa kali juga dia terbatuk karena cairan itu yang terus menerus di masukan secara paksa ke mulutnya.

"Maafin saya ...."

Matanya membulat, refleks punggungnya terangkat dan berposisi duduk. Napasnya sedikit terengah-engah dengan tangan kanan mulai terangkat untuk mengusap pelipisnya yang basah oleh keringat.

Mimpi itu lagi …

Sudah beberapa kali dia bermimpi dengan mimpi yang sama, namun tak sekalipun dia ingat kejadian di mimpi itu. Dia memang merasa mimpi itu adanya kejadian yang sudah tejadi, tetapi dia sama sekali tidak mengingatnya.

Menghela napasnya panjang, dia lalu meraih gelas berisi air mineral di meja samping ranjang tidurnya, meneguknya dalam jumlah yang banyak sampai isinya habis tak tersisa.

"Siapa … Kalian siapa?" Monolognya.

Matanya memandang lurus ke depan, namun tatapannya kosong, napasnya masih sedikit tersenggal. Raut wajahnya seketika berubah saat sakit yang luar biasa itu mulai datang dan menyerang kepalanya.

"Ahss!"

Gelas di genggamannya jatuh begitu saja di atas ranjangnya, kedua tangannya kini lelaki itu gunakan untuk memegangi kepalanya dengan kuat. Hingga lama kelamaan menjadi tarikan di rambutnya.

Sangat sakit.

"Akhh, Bunda … sakit." Lirihnya meringis.

Kapan semua ini akan berakhir? Sampai kapan dia harus merasakan sakit luar biasa di kepalanya saat malam seperti ini? Tidurnya sering kali terganggu, dan bahkan dia bisa membuka matanya hingga fajar datang.

Sekarang waktu baru menunjukkan pukul satu pagi, dan sakit di kepalanya akan bertambah dari waktu ke waktu.

Lelaki itu dengan gerakan cepat beranjak dari ranjang tidurnya dan berjalan ke dinding dekat lemari bajunya. Tubuhnya jatuh meringsut di sana dan dia pun mulai melakukan hal yang selama ini dia lakukan bila sakit itu datang.

Dak! Dak!

Ah … Rasanya sangat puas membenturkan kepalanya sendiri ke dinding, seperti sakit yang di rasanya bisa hilang saat itu juga.

Dak! Dak!!

Semakin keras benturannya semakin merasa puas yang dia rasakan, meskipun kini kepala bagian kanannya terasa basah dan ada juga yang menetes ke lantai kamarnya. Apalagi kalau bukan darah?

Kegiatannya perlahan terhenti, lelaki itu beralih menyandarkan punggung ke dinding yang sejak tadi dia gunakan untuk membenturkan kepalanya itu. Napasnya kembali terengah dan mata sayunya mulai memanas.

"Bunda … sakit."

"Bunda, Nangga sakit ..."

Bibirnya bergetar, dia memejamkan matanya dan saat itu juga cairan bening yang sejak tadi menggenang pun jatuh membasahi kedua pipinya.

Kenapa dia sangat lemah? Ah, dia benci dengan dirinya sendiri.

Nanggala benci dengan dirinya yang seperti ini. Dia merindukan bundanya, dia merindukan keluarganya. Sesaat dia teringat hal yang membuat keluarganya hancur seperti ini, dan mendadak dadanya sangat sesak mengingatnya.

"Nangga kangen bunda … Nangga kangen ayah."

"Nangga kangen kalian semua ...."

Lelaki itu terisak kecil sembari menikmati sakit di kepalanya yang mulai muncul lagi. Dia sudah lelah, dia sudah tidak kuat menanggung kesakitan ini sendiri, apa dia boleh menyerah?

Nanggala ingin sekali menyerah dan menyalahkan siapa saja yang membuat hidupnya seperti ini. Namun dia tidak mungkin menyalahkan mereka, kedua orang tuanya.

"Nangga butuh Bunda …."

.......

.......

.......

Angin pagi sangat menusuk melewati hoodie berwarna hijau mint-nya yang tidak terlalu tebal membalut kaos putih tipisnya dari luar. Matanya menatap sekeliling, banyak toko pinggir jalan yang belum buka.

Kepalanya mendongak ke atas. Ah, langitnya masih gelap. Tentu saja, jam baru menunjukkan pukul empat pagi.

"Selamat pagi, Nak Nanggala!"

Mendengar namanya di panggil, anak itu menolehkan kepalanya ke samping kanan. Sedetik kemudian dia tersenyum sangat ramah dan sedikit membungkukkan kepalanya.

"Selamat pagi, Budhe!"

Terlihat wanita yang mungkin seumuran atau bahkan lebih tua dari bundanya itu juga tersenyum ramah, dia melangkahkan kaki mendekatinya yang masih setia berdiri di depan toko di hadapannya.

Kedua tangan yang sejak tadi Nanggala sembunyikan pada kantung depan hoodie-nya dia keluarkan ketika perempuan itu sudah berdiri di hadapannya, dan tentu saja dia langsung menyalimi tangan itu. Lalu seperti biasa, selanjutnya wanita itu pasti akan menepuk-nepuk lengan ataupun bahunya.

"Ealah, ini masih pagi banget. Kamu udah mau berangkat?"

Nanggala tersenyum manis, "ah, iya Budhe. Lagian udara pagi juga seger."

Thalia hanya tersenyum hangat.

Dia kenal Nanggala, anak muda yang satu tahun lalu pindah di kost kecil yang terletak tidak jauh dari sini. Setiap pagi-pagi buta begini, atau setiap malam, pasti dia akan melihat sosok Nanggala yang berjalan berangkat atau pulang bekerja.

Anak itu juga tak jarang membantu disini, tokonya yang menjual berbagai macam cake dan camilan-camilan roti kering kecil lainnya. Ada juga yang tradisional, karena Thalia itu aslinya dari Jawa Tengah.

Umurnya masih sangat muda, seharusnya dia sekolah, belajar. Memikirkannya saja kadang membuat wanita itu ikut bersedih.

Dulu pernah, Thalia berkata pada Nanggala akan menyekolahkannya, tetapi Nanggala menolak. Anak itu tetap dengan mimpinya, bersekolah dengan uangnya sendiri.

Benar-benar manis. Lelaki dengan senyuman yang sangat manis.

Thalia tahu di balik senyuman manis itu, banyak sekali kepedihan yang tersimpan di dalamnya.

"Nanggala? Wis mau berangkat to?"

Kedua orang yang sejak tadi mengobrol kecil-kecilan itu menoleh ke belakang dan menatap siapa yang baru saja keluar dari dalam toko.

"Iya, Pakde." Nanggala mengangguk dan tersenyum lagi.

Pria bertubuh tinggi itu ikut mengangguk dan membalas senyuman anak di sana. Nanggala bisa melihat salah satu tangan pria itu menenteng sesuatu. Tote bag berwarna putih.

"Iki, nggo bekal kamu."

Nanggala menatap benda yang beberapa detik lalu disodorkan oleh pria di hadapannya.

Tangannya bergerak dengan lambat, kepalanya mendongak menatap bergantian suami istri yang tengah tersenyum manis di hadapannya.

"Em, Pak—"

"Ndak. Ndak ada yang ngerepotin. Wis, bawa aja, buat kamu sarapan."

Selalu seperti ini.

Pakde Hardi dan budhe Thalia sangat baik kepadanya, dan dia selalu merasa tidak enak. Meskipun mereka sering berkata, anggap saja mereka adalah kedua orang tuanya.

Baiklah, Nanggala sangat-sangat berterima kasih untuk itu, masih di pertemukan dengan orang-orang baik seperti mereka.

Tapi ... Nanggala sungguh masih merasa tidak enak.

"Terima kasih banyak, Pakde. Nanggala janji akan belajar dengan sungguh-sungguh."

Senyuman kedua sepasang suami istri itu mengembang, mendengarnya mereka sangat bangga.

Tentu saja mereka sangat mendukung pendidikan Nanggala, selalu menyemangati dan mendoakan lelaki manis itu agar bisa bersekolah lagi.

"Ndak perlu ngerasa ngerepotin atau sungkan. Pakde karo Budhe ngasih kamu itu ikhlas. Tapi janji yo? Kamu kudu belajar giat dan lanjutin sekolah kamu. Oke?"

Itu yang selalu Nanggala dengar ketika mereka memberikan sesuatu kepadanya saat mereka tahu dari raut wajahnya kalau dia merasa tidak enak. Sekali lagi,

"Nah, begitu dong!"

Terdengar tawa kecil mereka saling bersahutan di pagi yang masih gelap ini.

"Ojo terlalu banyak kerja hari ini, ojo sampe sakit. Kamu juga harus merhatiin kesehatan kamu."

"Tenang, Pakde. Nanggala anak yang kuat kok."

Lagi-lagi mereka tertawa kecil mendengar perkataan lelaki muda di hadapan mereka.

"Dasar, kamu itu rajin banget sih? Andai wong lanang males kae koyok kamu, Budhe bakal ngerasa seneng banget."

"Kamu tau ndak? Dia lebih ngerepotin."

Entah yang ke berapa kalinya mereka tertawa.

"Ah, jangan gitu Budhe. Mas Yodhan 'kan pintar."

"Iyo pinter, pinter ngapusi Budhe," wanita itu mendengus, "Yodhan ki melese pol. Bukane kuliah sing bener, malah kabur ke warnet dolanan game."

Nanggala terkekeh kecil mendengar ucapan kesal wanita di hadapannya ini, begitu juga sang suami yang berada di samping istrinya.

"Kalo bisa nih, Budhe bawa dia ke pasar terus nuker dia karo wedhus," dengusnya, "sekarang aja masih tidur, pengin banget Budhe siram wajahnya itu karo air panas."

"Uwis-uwis, Nanggala, kamu berangkat aja. Nanti keburu matahari naik."

Hardi menghentikan aksi curahan keluh kesah istrinya kepada Nanggala sebelum menjadi terlalu panjang. Anak itu akan bekerja, bisa-bisa nanti dia telat karena mendengarkan celotehan istrinya.

Dan lagi, adzan subuh juga belum berkumandang. Biasanya Nanggala akan sholat di masjid yang dia lewati di jalan nanti.

"Yowis, gih berangkat. Hati-hati, yo?"

Nanggala mengangguk dan tersenyum, "makasih banyak Pakde, Budhe. Nanggala berangkat dulu."

Kedua suami istri itu mengangguk bersamaan dan tersenyum, melambaikan tangannya, sambil terus melihat kepergian Nanggala sampai lelaki itu benar-benar hilang di tikungan jalan.

"Dia itu bener-bener anak baik hati. Semoga kebaikan selalu melindungi kamu, Nanggala."

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

...───• ~⸙ᰰ~ •───...

Suara-suara khas yang bersahutan saling menawarkan barang dagangan mereka terdengar sangat ramai pagi ini. Hari masih sangat pagi, namun tempat pertama yang Nanggala datangi untuk bekerja sudah seramai ini. Dengan udara yang masih sejuk, mungkin itu yang membuat pasar ini ramai oleh pembeli.

Nanggala berhenti sejenak sambil mengatur pernapasannya, tangannya terangkat untuk menyeka keringat yang mengalir melalui pelipisnya. Wajahnya kemudian mendongak dan menatap tumpukkan karung yang baru saja di bawanya dari depan.

"Nanggala? Masih banyak?"

Suara itu membuatnya menoleh, kemudian kepalanya mengangguk, "lumayan, Bang."

"Biar Abang aja yang selesein." Ujar lelaki itu lalu bangkit dari duduknya.

Nanggala yang melihatnya dengan cepat berjalan menghampiri lelaki itu, mencekal lengannya dan berdiri di depannya sambil tersenyum manis.

"Nanggala aja, Bang. Abang duduk aja, oke?"

Lelaki itu terkekeh mendengarnya, di tepuknya pelan lengan anak itu, "dasar, kelewat rajin lo."

Nanggala tersenyum.

"Yaudah sana, biar Abang yang tata barang disini."

Yang di perintahkan mengangguk lalu berlari kecil ke arah luar pasar, tepatnya menuju mobil pengangkut berbagai macam sayuran yang sudah di bungkus oleh karung. Lalu dia akan membawa karung-karung itu menuju ke dalam pasar yang nantinya akan di jual oleh bos yang membayar pekerjaannya ini.

Karungnya cukup besar dan isinya pun padat, jujur memang sangat berat untuk Nanggala. Lelaki itu membawanya dengan posisi di atas punggungnya. Terkadang dia sendiri sampai gemetar karena tidak cukup kuat menahannya.

Namun sudah menjadi resikonya, tanggungjawabnya. Dia yang meminta bekerja di pasar dan inilah pekerjaannya. Nanggala tidak boleh mengeluh dan menyerah.

Nanggala kembali tersenyum dan siap membawa karung berisi kumpulan wortel ini ke dalam pasar. Tangannya dia cengkram kuat pada karung itu, dan juga punggung yang sudah setengah membungkuk karena beban karung di atasnya.

"Nanggala, semangat!"

.......

.......

Waktu menunjukkan pukul 11 siang, langit di atas sana terlihat sedikit mendung. Dan kini Nanggala baru saja datang ke tempat kerja keduanya. Lelaki itu masuk lewat pintu belakang, ya karena memang pekerjaannya di belakang kalau jam segini.

"Bu?"

Yang di panggilnya itu menoleh. Wanita yang terlihat tengah sibuk dengan nampan besar yang di bawanya.

"Sana cepetan kerja! Udah mulai rame!"

"Baik, Bu."

Nanggala berjalan menuju ruangan kecil di dekat pot besar di sana, melepas hoodie-nya, tasnya, menaruh tote bag berisi makanannya, dan meraih celemek berwarna hijau lumut yang tergantung di dinding.

Baiklah, Nanggala akan memulai pekerjaan keduanya.

Lelaki itu melangkah lagi mendekati benda bundar berisi air yang sedikit besar di sana, serta di sampingnya sudah terdapat tumpukan piring bekas orang makan. Nanggala mendudukkan tubuhnya di kursi kecil lalu mulai mencuci piring-piring kotor itu. Sebentar lagi memang memasuki jam makan siang, pasti akan sangat ramai.

Meskipun ini adalah kedai kecil, tapi masakannya banyak sekali di minati, karena memang seenak itu.

Seenak itu tetapi Nanggala belum pernah sekalipun mencicipinya. Walau dia bekerja disini, tidak pernah ada makanan yang dia bawang pulang, atau dengan kata lain sebagai 'bonus'.

Tidak pernah. Ya seperti itulah, banyak sifat dan kepribadian bos yang di temuinya selama Nanggala bekerja ini dan itu.

Perutnya sudah sangat lapar jika dia boleh jujur. Nanggala memang belum makan apa-apa dari pagi, dan makanan yang di buat pakde Hardi saja masih utuh di kantung itu.

"Heh! Kamu mau kemana?! Pasti ke warnet lagi, 'kan?!"

"Terus apa masalahnya sama Ibu?!"

"Seenggaknya bantuin kedai dulu baru main!"

"Ah, berisik!"

Samar-samar, Nanggala mendengar percakapan yang sepertinya berasal dari dalam kedai. Pasti dia lagi. Anak pemilik kedai ini.

Anak yang masih duduk di bangku SMP, memang anak yang bandel. Sering pergi main, atau ke warnet. Sering juga Nanggala mendengar pemilik kedai itu memarahinya karena bolos sekolah.

Nanggala kadang berpikir, anak itu sudah enak bisa sekolah dan mendapatkan uang hanya dengan menengadahkan telapak tangan ke atas, tanpa tahu susahnya cari uang, dan susahnya untuk masuk sekolah. Bagi dirinya.

Kalau Nanggala diberi kesempatan seperti itu, dia benar-benar tidak akan menyia-nyiakannya.

Ya. Kalau.

Prank!

"Anjing! Ngehalangin aja lo!"

Nanggala-pun sama terkejutnya, piring yang sejak tadi di bersihkannya lepas begitu saja ketika ada seseorang yang menabrak kencang lengannya dari belakang dengan kaki. Dan tentu saja membuat piring itu jatuh serta hancur begitu saja.

Nanggala mendongak dan dapat melihat anak pemilik kedai itu yang menatapnya sinis, lalu tak lama pergi begitu saja dengan langkah yang cepat.

Tidak peduli dengan apa yang baru saja dia perbuat.

"Ya ampun, Nanggala!"

Anak itu yang tengah mengambil pecahan-pecahan piring tadi pun menoleh, menatap wanita yang tengah menatapnya dengan wajah yang tidak bersahabat disana.

"Yang bener dong kerjanya!"

"Maaf, Bu. Saya minta maaf."

Nanggala mulai berdiri dan membungkukkan badannya beberapa kali, untuk kesalahan yang tidak di perbuatnya.

Untuk yang kesekian kalinya.

Ah, sering dia seperti ini.

"Upah kamu saya potong ya!"

.......

.......

.......

Malam yang dingin, tadi sore hujan membasahi beberapa tempat di kota Jakarta. Air sisa hujan saja masih beberapa menggenang di jalan.

Jam menunjukkan pukul 22.45. Ya, sudah sangat larut tentu saja. Tetapi pekerjaannya baru selesai malam ini.

Nanggala begitu lelah. Namun dia senang, dia senang mencari uang dan di kumpulkan untuk mimpinya. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman, seolah hidup yang di jalaninya tidaklah seberat itu.

Srak! Srak!

Kepalanya menoleh ke samping kirinya saat suara itu tertangkap oleh indera pendengarannya. Matanya menatap sekelilingnya, dan dia tidak menemukan apapun. Hanya taman bermain yang hanya di terangi oleh lampu-lampu jalan.

Srak!

Lagi. Suara itu terdengar lagi.

Nanggala pun akhirnya mencari tahu sumber suara itu, kakinya melangkah memasuki area taman bermain dengan pandangan yang menyapu ke luasnya taman ini.

Tidak ada siapa-siapa, Nanggala tidak menemukan adanya tanda-tanda sumber suara tadi.

Hingga saat dia membalikkan tubuhnya, dia dibuat sedikit terkejut dengan sosok gadis berambut panjang yang tengah berjongkok sambil memainkan sendalnya. Dia pun tersenyum lalu berjalan mendekat.

Si gadis yang merasakan ada langkah mendekat seketika mendongakkan kepalanya dan refleks memundurkan tubuhnya.

"Nggak!"

Nanggala membulatkan matanya melihat reaksi gadis itu. Dari pakaiannya yang bersih dan terawat, tidak mungkin kalau gadis itu orang ... jalanan?

"Eum, tenang ya? A-aku bukan orang jahat." Ucap lelaki itu selembut mungkin.

Gadis itu masih menunduk takut sambil memeluk erat boneka putih di pelukannya. Hingga Nanggala merasakan gadis itu tak bergerak mundur lagi, dia pun memberanikan diri maju selangkah demi selangkah.

Tubuhnya dia jongkok kan pelan di depan gadis itu.

"Kamu ngapain disini? Udah malem."

Nada bicaranya sangat lembut, Nanggala tidak ingin gadis itu ketakutan karenanya. Dan dari penampilan juga wajahnya, sepertinya umurnya tidak jauh beda darinya. Apa dia hilang?

Tidak ada jawaban, gadis itu masih terus menunduk.

Nanggala tersenyum tipis lalu pandangannya turun ke bawah, senyumnya semakin manis ketika melihat salah satu kaki gadis itu sudah tidak memakai apa-apa. Ya, sendalnya tertinggal di depan kala tadi gadis itu mundur menjauhinya. Dan dari yang dia lihat, sandal itu memang awalnya sudah putus.

"Pakai sepatu punyaku, ya?"

Tangannya menunjuk sepatu putih yang tengah di pakainya, gadis itu sekilas melirik namun hanya sebentar, dia sepertinya terkejut saat melihat sepatunya lalu wajahnya berpaling dengan cepat.

"Enggak …" lirihnya namun masih bisa Nanggala dengar.

Nanggala yang melihat tatapan terkejut itu pun bingung, ada yang salah dengan sepatu putih bertalinya ini?

Dia menghela napasnya lirih lalu mengulurkan tangannya kepada gadis itu. Disini ada kursi, dia hanya ingin menenangkan sambil bertanya kenapa gadis itu keluar sendiri di hari yang sudah malam seperti ini.

Hingga tak berapa lama gadis itu mau menerima uluran tangannya, dan dengan lembut dia membawanya duduk di kursi yang berada di taman bermain ini.

Sempat merasa aneh tadi saat sekilas wajah gadis itu menoleh kepadanya. Kenapa seperti familiar?

"Rumah kamu dimana? Mau aku antar pulang?"

Yang di beri pertanyaan menggeleng lantas membuat Nanggala tersenyum lagi. Gadis itu memang sangat tertutup seperti ini? Ya memang, dia orang baru untuk gadis itu.

"Atau bawa handphone? Biar aku telfon keluarga kamu dan suruh jemput kamu disini."

Anggukkan itu membuat Nanggala tersenyum untuk yang ke berapa kalinya. Dia bisa melihat pergerakan gadis itu merogoh tas selempangnya, dan tak lama mengeluarkan benda pipih dari dalam sana, lalu memberikan benda itu kepadanya.

"Nomor satu ..." perintahnya lirih, sambil masih memeluk erat boneka kelinci putihnya.

Nanggala mengangguk mengerti lalu mulai membuka ponsel itu yang tidak bersandi. Dia langsung saja menekan tombol 1 seperti apa yang gadis tadi perintahkan.

Gerakan tangannya yang tadi akan mengangkat ponsel itu untuk di dekatkan ke telinganya seketika terhenti, matanya menatap lekat nama yang tertulis di sana, pun dengan napasnya yang mulai tercekat kala telepon itu sudah tersambung.

"Je—"

"Aduh, non Jia dimana? Bibi jemput ya, non jangan kemana-mana sebelum bibi sampai."

Bukan dia … Bukan suara yang Nanggala inginkan. Ataukah memang hanya namanya yang mirip?

Lamunannya pun buyar saat suara di sana terus memanggil dengan nama tadi.

"Eum, maaf. Jia bersama saya, dan s-saya bukan orang jahat." Jelas Nanggala terbata, karena takut saja dia langsung di tuduh.

Dan akhirnya setelah memberitahu posisinya sekarang ada dimana, wanita tadi pun menyuruhnya tetap bersama gadis itu sebelum dia menjemputnya.

Nanggala tidak keberatan, dia malah senang menemaninya dan ada rasa kasihan dengan gadis itu. Dan lagi, nama itu … Nama yang tadi tertera di ponsel itu membuat matanya memanas. Hatinya sakit mengingat nama itu.

"Makasih …"

Suara lirih itu lagi-lagi membuyarkan lamunannya dan membuatnya menoleh.

"Makasih baik sama Jia …."

Nanggala tersenyum hangat mendengarnya, dan kini tatapan mereka bertemu. Nanggala semakin tersenyum dan membuat gadis itu juga membalas senyumannya.

Cantik sekali.

Senyuman gadis itu benar-benar mengingatkannya kepada seseorang. Seseorang yang sudah tidak pernah bertemu lagi dengannya. Dan jujur dia merindukannya.

Melihat senyuman gadis itu seperti tengah berhadapan langsung dengan seseorang yang di rindukannya tadi.

"Kamu baik."

Senyumnya sangat manis, lalu tanpa sadar mata Nanggala mulai memanas menatap wajah itu. Dadanya terasa sesak.

Dan kenapa ... Jantungnya berdebar tidak seperti biasanya menatap senyum gadis itu?

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

...•To be continued•...

...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...

...───• ~⸙ᰰ~ •───...

...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...

...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...

...Vote sebelum membaca, dan komen setelah membaca ya~...

...Terima kasih untuk jejak kalian disini🙏🏻...

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Episodes
1 00. PROLOG
2 01. Nanggala Aksha
3 02. Sebuah Kebiasaan
4 03. Awal Baru
5 04. Bertemu Lagi Dengannya?
6 05. Sebuah Kepercayaan
7 06. Percaya Pada Langkahmu
8 07. Kamu Tidak Peduli Padaku
9 08. Terlalu Menyakitkan
10 09. Under The Rain
11 10. Tidak Apa-Apa
12 11. Melewati Hatimu
13 12. Disini Untukmu
14 13. Dalam Pelukan Ini
15 14. Hanya Kamu Seorang
16 15. Tidak Seperti Itu
17 16. Hari Lainnya
18 17. Strawberry & Kamu
19 18. Beautiful Starlight
20 19. Lebih Dekat
21 20. Harapan Untuk Esok
22 21. Bagaimana Mencintai
23 22. Seseorang
24 23. Dengan Caraku
25 24. Seharusnya Aku
26 25. Semuanya Terasa Hancur
27 26. Rahasia Menyakitkan
28 27. Dia Adalah
29 28. Pelukan Rindu
30 29. Malam yang Manis
31 30. Sehari dan Selamanya
32 31. Don't Cry
33 32. When You Love Someone
34 33. Dalam Diam
35 34. Aku Tidak Pernah Meninggalkanmu
36 35. Semua Tentangmu
37 36. U R
38 37. Tak Lagi Dibutuhkan
39 37. Tak Lagi Dibutuhkan
40 38. Tetap Bersamaku [1]
41 39. Tetap Bersamaku [2]
42 40. Maaf ...
43 41. Aku Disini Untukmu
44 42. Khawatir
45 43. Beautiful in Its Time
46 44. Terasa Sepi
47 45. Kesedihan yang Terpendam
48 46. Because I Miss You
49 47. Kembali Tersenyum
50 48. Sosok yang Baik
51 49. Don't Say Goodbye
52 50. 1000 Burung Bangau Kertas
53 51. Seandainya Kamu Disini
54 52. Last [EPILOG]
Episodes

Updated 54 Episodes

1
00. PROLOG
2
01. Nanggala Aksha
3
02. Sebuah Kebiasaan
4
03. Awal Baru
5
04. Bertemu Lagi Dengannya?
6
05. Sebuah Kepercayaan
7
06. Percaya Pada Langkahmu
8
07. Kamu Tidak Peduli Padaku
9
08. Terlalu Menyakitkan
10
09. Under The Rain
11
10. Tidak Apa-Apa
12
11. Melewati Hatimu
13
12. Disini Untukmu
14
13. Dalam Pelukan Ini
15
14. Hanya Kamu Seorang
16
15. Tidak Seperti Itu
17
16. Hari Lainnya
18
17. Strawberry & Kamu
19
18. Beautiful Starlight
20
19. Lebih Dekat
21
20. Harapan Untuk Esok
22
21. Bagaimana Mencintai
23
22. Seseorang
24
23. Dengan Caraku
25
24. Seharusnya Aku
26
25. Semuanya Terasa Hancur
27
26. Rahasia Menyakitkan
28
27. Dia Adalah
29
28. Pelukan Rindu
30
29. Malam yang Manis
31
30. Sehari dan Selamanya
32
31. Don't Cry
33
32. When You Love Someone
34
33. Dalam Diam
35
34. Aku Tidak Pernah Meninggalkanmu
36
35. Semua Tentangmu
37
36. U R
38
37. Tak Lagi Dibutuhkan
39
37. Tak Lagi Dibutuhkan
40
38. Tetap Bersamaku [1]
41
39. Tetap Bersamaku [2]
42
40. Maaf ...
43
41. Aku Disini Untukmu
44
42. Khawatir
45
43. Beautiful in Its Time
46
44. Terasa Sepi
47
45. Kesedihan yang Terpendam
48
46. Because I Miss You
49
47. Kembali Tersenyum
50
48. Sosok yang Baik
51
49. Don't Say Goodbye
52
50. 1000 Burung Bangau Kertas
53
51. Seandainya Kamu Disini
54
52. Last [EPILOG]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!