Sinar matahari begitu cerah menerangi kota Jakarta pagi ini. Lelaki yang baru saja selesai mandi itu tengah membuka lemari pakaiannya, tangannya lalu terulur untuk mengambil kaos berwarna hitam polos dan memakainya. Tak lupa jaket hitamnya juga.
Hari ini tidak seperti hari biasa, yang biasanya Nanggala sudah siap dan berangkat di pagi buta, tetapi kini jam menunjukkan pukul 07.05 saja lelaki itu masih di rumah, juga baru selesai mandi. Nanggala sedikit bangun kesiangan karena jujur saja, pagi tadi badannya terasa sedikit tidak enak. Tidak sedikit lagi, badannya panas, dia juga menggigil, kepalanya pun begitu sakit.
Memang, selepas sholat subuh tadi lelaki itu tidur kembali. Karena dia benar-benar merasakan tubuhnya tidak enak.
Kalau sakit begini, Nanggala jadi rindu dengan sang bunda. Dulu kalau dia sakit, pasti bundanya akan memanjakannya. Ah, bukan manja yang seperti itu. Bukan manja yang apa-apa minta di ambilkan, apa-apa minta di suapkan, apa-apa ini dan itu.
Bukan. Manjanya Nanggala, dia akan memeluk bundanya seharian.
Lelaki itu terkekeh mengingat kenangan manis dengan sang bunda. Dia benar-benar rindu.
Nanggala menatap pantulan dirinya di depan cermin, senyumnya meluntur perlahan. Wajahnya sedikit pucat, kepalanya masih saja terasa sakit dari lima belas menit yang lalu.
Ah, kenapa harus datang sekarang!
Nanggala sedang tidak bertenaga untuk melakukan hal yang biasa dia lakukan ketika sakit kepala yang luar biasa ini datang. Ya, sudah kurang lebih satu tahun dia seperti ini.
Lelaki itu mengabaikannya lalu berjalan keluar kamar, dengan ransel abu miliknya yang selalu setia berada di punggungnya, dan dia berharap sakit itu cepat mereda.
"Semangat bekerja, Nanggala!" Serunya menyemangati diri sendiri.
Lelaki itu melangkah menyusuri lorong-lorong kost-nya. Kamarnya berada di lantai paling atas.
Kost-nya itu memiliki 4 lantai, pun juga tidak luas. Meskipun dari jauh terlihat kotor, jelek, tetapi kost itu bersih. Hanya saja memang ini adalah gedung tua, jadi ya seperti itu. Dengan harga yang tidak terlalu mahal di kantungnya, dia akhirnya memilih tempat ini menjadi tempat tinggalnya dari setahun yang lalu.
Setelah berjalan lumayan lama, Nanggala mendongak, tidak jauh lagi dia sampai di toko kue milik keluarga Hardi. Toko kecil itu selalu ramai. Masih ingat bukan kalau kue atau camilan-camilan di sana sangat enak? Ya begitulah.
"Selamat pagi, Budhe!"
Nanggala menyapa ramah wanita yang kebetulan sedang berada di depan toko itu. Rupanya wanita cantik itu tengah menyiram bunga-bunga yang di rawatnya.
Senyumnya begitu manis menatap Thalia dengan balutan celemek berwarna merah maroon di hadapannya.
"Nanggala? Baru berangkat to?"
Anak itu yang mendengarnya lantas mengangguk.
"Loh, biasane kamu yo pagi-pagi banget wis berangkat? Telat?"
"Nggak Budhe, Nanggala jam kerjanya nanti siang."
Thalia masih mengerutkan keningnya bingung menatap anak manis di hadapannya. Masih bingung juga karena menangkap sesuatu yang berbeda di wajah manis itu.
Tubuhnya mendekat, "terus?"
"Nanggala pengen kesini bantu Budhe, hehe." Kekehnya kepada wanita itu.
Thalia tersenyum hangat lalu mengelus bahu Nanggala lembut.
Usapannya sangat lembut, sama seperti bundanya.
"Nanggala sakit, yo?"
"E-eh, enggak Budhe!"
Thalia terkekeh dan menepuk pelan lengan itu, "iyo iyo, ndak perlu teriak. Kamu beneran sakit pun bakal bilang ndak sakit sama Budhe."
Nanggala tersenyum kikuk dibalik topi putihnya.
"Koyo saiki. Iyo, 'kan?"
Sudahlah, Thalia memang selalu tahu, Nanggala tidak bisa menutupi dari wanita cantik itu.
Karena terkadang jika Nanggala jujur dan bilang dia sakit, Thalia pasti akan menyuruhnya istirahat di kamar Yodhan, dan tidak diperbolehkan melakukan apapun. Tetapi soal sakit kepalanya yang sudah selama setahun ini sering kambuh, dari mereka belum ada yang tahu.
"Yowis, ayo bantu Budhe."
Nanggala tersenyum senang mendengarnya, lantas membuat Thalia terkekeh melihatnya.
"Tapi kamu kudu makan dulu, ndak ono penolakan."
Dan selanjutnya, lelaki itu merasakan lengannya tertarik memasuki toko, dia pasrah saja ketika Thalia membawanya duduk di salah satu meja pengunjung.
"Bapak! Bawain sup ayam tadi kesini!"
Nanggala mendongak menatap seseorang yang berteriak seperti itu tadi.
Kalau dia makan di kursi pengunjung, makanan yang di hidangkan tidak lain dan tidak bukan seharusnya kue dan camilan-camilan kecil di dalam lemari kaca yang dapat dilihatnya dari sini bukan?
Tetapi apa tadi? Sup ayam? Apa pakde dan budhe akan beralih menjual makanan itu?
Pikirannya buyar dan teralihkan kepada Hardi yang baru saja datang dan membawa semangkuk sup ayam seperti yang dikatakan Thalia tadi.
"Nah, Nanggala. Di makan."
Anak itu beralih menatap Hardi bingung. Kok?
"Budhe kui emang pintar nebak, yo? Kebetulan banget, tadi Budhe entah kenapa pengin banget buatin sup itu, buat kamu."
Thalia mendudukkan tubuhnya di kursi depannya, "tapi dari pagi tadi Budhe nyariin kamu, biasane berangkat kerja pagi, eh ini kok belum keliatan. Dan ternyata kamu sakit."
Raut wajahnya berubah sedih. Pria yang sedari tadi masih setia berdiri kini ikut mendudukkan tubuhnya di samping sang istri, menatap Nanggala dengan mata sedikit melebar.
"Nanggala sakit?!" seru Hardi.
Anak itu mengerjapkan matanya beberapa kali, terkejut karena pertanyaan tiba-tiba yang di ucapkan dengan nada keras itu.
"E-eum, enggak enak badan aja, Pakde." Senyumnya kikuk.
"Oalah, kebetulan banget Buhde bikin sup ayam, di maem yo? Ben kamu cepet sembuh."
Nanggala tersenyum menatap semangkuk sup berkuah itu, terlihat sangat menggiurkan memang, dengan asap yang masih mengepul di atasnya. Apalagi masakan budhe Thalia. Ah, terbaik.
Anak itu mendongak lagi, "Nanggala makan di dapur aja ya, Budhe? Enggak enak disini kalau ada pengunjung datang."
Dia yang baru saja akan mengangkat mangkuk supnya itu terhenti ketika wanita di hadapannya memegang lengannya.
"Ngopo kamu kudu makan di dapur? Kamu 'kan juga pengunjung, pelanggan kami, yo ndak, Pak?"
Thalia tersenyum diikuti oleh suaminya.
Pengunjung? Jika pengunjung itu berarti dia harus membayarnya? Pikir Nanggala.
"A-ah, tapi Nanggala enggak punya ua—"
"Sshh!"
Nanggala lagi-lagi mengerjapkan matanya terkejut.
"Sing dijual di toko ini opo?"
Nanggala mengernyit.
"Kue."
"Terus?"
"Roti dan camilan."
"Terus kamu lihat ono tulisan sup ayam di jual disini?"
"Enggak."
"Jadi sing ndak dijual perlu bayar opo ndak?"
Nanggala menggeleng.
"Jadi kamu mau makan itu opo ndak?"
Kini Nanggala mengangguk.
Detik selanjutnya terdengar suara tawa kedua orang di hadapannya, membuatnya mengernyit bingung.
"Dasar, kamu ini nggemeske bangett."
Anak itu sedikit terkekeh dan meringis ketika pipi kanannya di cubit Thalia. Apa dia semenggemaskan itu?
"Uwis-uwis, ayo dimakan."
Nanggala mengangguk lalu meraih sendok yang tadi juga dibawa dari belakang oleh Hardi. Menyeruput kuah itu sedikit demi sedikit, dan ah ... rasa hangat langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Ada piring berisi nasi di sampingnya. Rasanya sangat enak dan segar.
Hardi dan Thalia yang melihat itu pun tersenyum. Mereka tidak ingin Nanggala sakit, mereka merasa sedih. Lelaki yang sejak setahun lalu di anggap seperti anak mereka sendiri. Mereka sangat menyayangi anak manis itu.
Thalia tahu, Nanggala tidak akan pernah mengatakan jika dirinya sedang sakit. Tetapi dia selalu tahu, wajah anak itu pasti akan berbeda jika sakit. Entah kenapa Nanggala memang seperti anak kandungnya sendiri.
"Rame banget, Yodhan nggak di ajak?"
Suara itu muncul dari balik pintu di belakang sana, dan menampakkan seorang lelaki dengan kaos putih dan celana bola pendeknya yang kini tengah berjalan mendekat ke arah tiga orang itu berada.
"Bubar! Bubar!"
Yodhan memajukan bibirnya menatap sang ibu. Kedua orang tuanya benar-benar beranjak dari duduknya dan melangkah pergi saat dia datang mendekat, meninggalkan Nanggala yang kini tengah terkekeh ke arahnya serta menghentikan suapan supnya.
Yodhan tersenyum dan tiba-tiba mendekat lalu duduk di kursi depan Nanggala, di kursi yang tadi di duduki ibunya.
"La, mau denger cerita nggak?! Tentang tante-tante hot yang di perempatan itu, lanjutan minggu kemarin gue cerita!"
"Yodhan ndak usah racuni otak suci Nanggala ya!!"
.......
.......
.......
"Selamat datang!"
Sapanya dengan senyum cerah kepada pengunjung yang baru saja memasuki pintu di depan sana. Shift-nya hari ini adalah pagi. Sebenarnya Nanggala itu shift malam, tetapi kemarin Sayas memintanya untuk bertukar, karena gadis itu pagi ini ada kelas juga kuis.
Dan berkat sup ayam yang buatan budhe Thalia kemarin, benar-benar membuat tubuhnya segar kembali. Namun dia banyak mengantuk kemarin saat shift malam. Ya, berkat obat yang di beri oleh budhe Thalia setelah dia makan itu, dia sangat-sangat mengantuk, padahal setelah itu dia langsung beristirahat dan tidur di kamar Yodhan seperti apa yang di perintahkan.
Namun tak apa, hari ini dia sudah sehat dan kembali fresh.
Nanggala kembali tersenyum saat pengunjung yang tadi datang itu menghampiri meja kasirnya sambil meletakkan beberapa barang belanjaannya disana.
Terlihat lumayan banyak, Nanggala dengan terampil memasukan barang-barang itu ke kantung keresek putih besar yang di pegang di tangan kirinya. Sangat terampil dan penataan barang di dalam kereseknya pun sangat rapi.
"Kamu ganteng sekali anak muda?"
Nanggala yang mendengar suara khas lansia itu pun menoleh, dia tersenyum malu, "nenek bisa saja."
Wanita tua itu juga ikut tersenyum, menurutnya memang lelaki muda di depannya itu memiliki wajah yang sangat tampan. Bukan hanya tampan, tapi juga manis. Dan sepertinya juga anak yang pekerja keras serta terampil.
"Terima kasih, selamat datang kembali!"
Nanggala sedikit membungkukkan kepalanya setelah nenek tadi juga mengucapkan terima kasih. Matanya lalu menatap ke bawah, menatap barang belanjaan itu terlihat sangat berat. Dia tidak tega, seorang nenek yang dari dia lihat saja umurnya pasti sudah lebih dari tujuh puluh tahun itu, membawa barang sebanyak dan seberat itu.
"Nenek? Nanggala antar sampai depan, ya?"
Nenek itu menoleh dan sedikit terkejut, lalu tersenyum tidak enak. Ingin menolaknya, tetapi kalah cepat dengan anak manis itu yang langsung mengambil alih keresek dari genggamannya.
Hingga mereka akhirnya berjalan beriringan menyeberangi jalan, dengan satu tangan Nanggala yang menggenggam keresek besar, dan satu tangan lagi menuntun tangan si nenek.
"Sampai sini aja, Nak. Nenek ke halte sendiri. Kamu lanjutin aja pekerjaanmu."
Nanggala sebenarnya ingin mengantar sampai halte, tetapi benar perkataan nenek itu, minimarketnya dia tinggal.
"Baik, Nek. Nanggala pergi dulu. Nenek hati-hati, ya?"
"Iya, terima kasih banyak, Nak."
Nanggala mengangguk dan tersenyum manis, dia melambaikan tangannya lalu mulai melangkah menyebrangi jalan lagi. Tubuhnya baru saja memasuki minimarket, dan dia bisa melihat sudah ada seorang pria yang menunggu di depan meja kasirnya.
Ah, dia berharap pria itu belum menunggu terlalu lama.
"Selamat datang!"
Suaranya yang sedikit keras itu membuat pria ber jas di depan sana membalikkan badannya.
Sebentar.
Terlihat familiar.
Nanggala seperti pernah melihat pria itu? Ah, dia mengabaikannya lalu tubuhnya dengan cepat memasuki meja kasir, kemudian mulai menghitung barang pria tadi yang terletak di atas meja.
"Nanggala Aksha?"
Suara yang tiba-tiba memanggil namanya itu seketika membuatnya menoleh. Pria itu tahu namanya? Apakah pria itu kenal dirinya? Dia saja tidak kenal. Tetapi dia memang merasa pernah melihat pria itu. Tapi siapa ... Dimana ....
"Saya?"
Terlihat pria itu mengangguk, "Nanggala, bukan?"
Nanggala mengangguk pelan, sedikit ada rasa takut memang melihat pria di hadapannya itu. Wajahnya sangat tegas. Dan tampan tentu saja.
"Bisa bicara sebentar?"
Kepalanya lagi-lagi mengangguk dan melihat pria itu berjalan menuju kursi yang terdapat di samping kaca disana, sebelum tadi mengambil sekaleng kopi yang dibelinya. Dia pun mengikuti pria itu.
Pria itu sedikit berbasa-basi kecil, tetapi Nanggala sedari tadi hanya menanggapi dengan anggukan, gelengan, menjawab iya atau tidak. Dia tidak tahu apa maksud pria itu menemuinya dan ingin berbicara dengannya.
"Saya kenal ayah kamu."
Nanggala yang tadi sempat menunduk seketika mengangkat wajahnya mendengar itu.
"Kamu juga pasti inget 'kan, dengan kejadian empat tahun lalu?"
Matanya seketika memanas, tangannya yang dia simpan di atas pahanya pun seketika terkepal kuat. Ah, perasaan ini ... Sama seperti perasaannya saat itu. Saat dimana menjadi kenangan yang menyakitkan bagi keluarganya.
Ya, empat tahun lalu. Kenangan kesedihan dan kesakitan yang bahkan akan terus dia ingat dan dia rasa sampai kapanpun.
Hingga perkataan atau cerita pria di hadapannya selanjutnya membuat dadanya terasa sesak, sakit, tidak percaya, dan rasa yang lain lagi yang membuat kepalanya tiba-tiba mulai berdenyut.
Benarkah?
"Bagaimana?"
Nanggala kembali meremas kedua tangannya yang dia sembunyikan di bawah meja. Bingung, marah, kesal, sedih. Dia benar-benar bingung, tetapi apa ada jalan lain lagi? Mungkin memang inilah, cara yang harus dia lakukan, cara yang bisa membuat rasa bersalahnya berkurang. Mungkin memang hanya dengan cara ini.
Meskipun memang sampai sekarang dia menolak kenyataan yang sudah terjadi. Karena dia yakin ayahnya bukan orang yang seperti itu.
Tidak Nanggala sadari kepalanya mengangguk pelan menyetujui semuanya, menerima semuanya. Dan dia berharap, semua ini memang yang terbaik untuknya. Dengan ini, dia berharap bisa menebus kesalahan empat tahun lalu itu.
Masa dulu. Yang membuat hidupnya menjadi seperti sekarang ini.
.......
.......
Lelaki berkaos putih yang di balut jaket denim itu menatap bangunan megah di depannya. Wajahnya sedikit menunduk dan sejenak berpikir, apa dia benar jika memilih semua ini? Lagi-lagi dia berharap jika semua yang dipilihnya ini memang benar.
Kakinya mulai melangkah mendekati pintu berwarna putih yang menjulang tinggi di depannya. Tangan kanannya menyentuh tombol di dinding samping pintu itu dan menekannya pelan, hingga terdengar bunyi bell rumah ini, dan tidak lama kemudian pintu itu terbuka lalu menampakan seorang wanita yang tersenyum ramah disana.
"Eum—"
"Nanggala?"
Belum sempat anak itu menyebutkan namanya, wanita dengan balutan celemek bunga di hadapannya memotong ucapannya, lantas membuatnya mengangguk pelan.
Wanita itu tahu namanya? Dan, dia seperti mengenal suaranya. Tapi dimana dia mendengarnya?
"Mari masuk, sudah di tunggu tuan di dalam."
Lagi-lagi Nanggala hanya mengangguk patuh dan mulai memasuki rumah, dia berjalan membuntuti wanita tadi. Matanya mengendar ke seluruh ruangan, rumahnya sangat luas dan interiornya juga sangat elegan, sangat indah.
Sampai akhirnya langkahnya terhenti diruang tamu, Nanggala melihat wanita di depannya itu membungkukkan tubuhnya ke depan. Entah siapa yang wanita itu beri salam, karena pandangannya memang sedikit terhalang punggung wanita itu.
"Panggil mereka kesini."
Wanita itu membungkuk lagi, setelah itu melangkah pergi dari sini, sehingga Nanggala bisa melihat seseorang yang tengah duduk dengan tegas di sofa sana.
"Duduklah."
Nanggala mengangguk dan mulai melangkah duduk di sofa yang berhadapan dengan pria itu. Pria yang di temuinya di minimarket pagi tadi.
Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke ruang tamu. Nanggala tidak melihat itu, karena sedari tadi kepalanya masih menunduk.
"Jadi, dia Nanggala, yang akan bekerja disini. Dan Nanggala," panggil pria itu yang membuatnya mendongakkan kepala, "dia yang akan kamu jaga."
Yang di sebutkan namanya itu lantas mengangkat kepalanya perlahan dan menatap ke arah depan, hingga mata mereka kini bertemu. Dan saat itu juga, tanpa sadar kedua sudut bibir Nanggala tertarik membentuk senyuman.
Doa Nanggala terkabul kah?
Dia ... bertemu lagi dengan gadis itu.
Apa ini semua sudah takdir?
Hingga lelaki itu merasa janggal, karena sejak tadi seperti ada yang terus menatapnya. Dia pun beralih menatap seseorang yang duduk di sebelah gadis tadi, dan memang benar, seseorang itu tengah menatapnya dengan tatapan dingin namun tak percaya.
Sama dengannya, saat mata mereka bertemu pun dia menatap mata lelaki itu tak percaya dan terkejut.
Matanya memanas, jantungnya berdegup tidak seperti biasanya. Sesaat dia teringat dengan kenyataan yang baru di dengarnya tadi pagi itu, dan dadanya seketika terasa sesak juga sakit.
"Jerga ....?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
...• To be continued •...
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
...Ceritanya makin bikin penasaran ngga sih? Atau makin aneh?...
...Ayo, mohon dukungannya ya biar Author makin semangat buat lanjut^^...
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
strawberry
bagus ceritanya....bikin penasaran... semangat othor nulisnya...👍👍👍
2022-07-24
1
nurjen
belum bisa mencerna arahnya
waduh masih misteri
2022-07-04
1