Minggu siang ini terlihat sangat mendung, banyak awan hitam yang menutupi hampir seluruh langit di atas sana. Sang matahari enggan untuk menampakkan dirinya, padahal jam saja masih menunjukkan pukul setengah satu siang.
Lelaki itu sedikit terkekeh ketika melihat gadis yang duduk di atas karpet itu sedari tadi sangat fokus membaca buku. Sama dengannya, dia pun tengah belajar meskipun hari ini minggu.
"Kak?"
Yang di panggil menoleh dan tersenyum.
"Kemarin di temenin sama siapa di taman?"
Lagi-lagi gadis itu masih tersenyum dan membolak-balikkan kertas buku yang sejak tadi di bacanya.
"Sama orang baik."
Jerga menatap sendu wajah gadis itu. Yang dia dengar dari bibi, kemarin malam kakaknya berjalan-jalan sendiri lagi ke taman bermain yang memang sedikit jauh dari rumah.
Ini sudah kedua kalinya gadis itu pergi tanpa di ketahui orang rumah.
Dan bibi bilang, ada telepon masuk ke nomornya namun saat itu dia ada les dan ponselnya tertinggal di rumah. Beruntung ada bibi yang menjawab panggilan telepon itu, dengan dia yang memang sedang resah karena nona mudanya tidak ada di rumah.
Jerga juga beruntung gadis itu di temukan oleh orang yang baik, dia hanya takut terjadi apa-apa dengannya.
"Orangnya baik, ganteng, baik kayak Jerga."
Lelaki itu lantas terkekeh.
"Jangan keluar sendiri lagi, ya? Tunggu Jerga ataupun Bibi kalau Kakak pengen keluar."
Yang di beri perintah mengangguk, lantas membuat Jerga tersenyum lagi.
"Jia cuma pengen beli susu strawberry …" lirih gadis itu namun masih bisa di dengar.
Kembali menatap sendu, Jerga lantas turun dari ranjangnya dan mendudukkan dirinya di samping gadis itu.
"Kan udah Jerga beliin ini, masih banyak juga di kulkas."
Tidak lagi memasang raut wajah sedih, Jia sekarang ini tersenyum lebar dan mengambil sekotak susu strawberry di atas karpet lalu langsung meminumnya. Ya, susu yang baru Jerga belikan tadi pagi.
Jerga tersenyum tipis menatapnya, tangannya terangkat untuk merapikan rambut gadis itu, hingga suara ketukan pintu kamarnya membuat perhatiannya teralihkan.
"Di panggil tuan buat makan siang."
Jerga mengangguk mengerti, "makasih, Bibi."
Wanita itu mengangguk dan tersenyum sangat ramah, lalu pergi lagi dari hadapan keduanya. Di lanjutkan dengan Jerga yang beranjak dari duduknya, tak lupa mengajak Jia juga bersamanya. Lelaki itu keluar kamar sambil menuntunnya lembut menuju ruang makan yang berada di lantai satu rumahnya.
"Duduk."
Baru saja tiba, suara dingin itu sudah menyambut Jerga dan langsung saja dia melangkah mendekati meja makan, tangannya menarik salah satu kursi dan menyuruh Jia duduk disana, sedangkan dia menarik kursi di samping gadis itu.
"Kak, makan dulu. Susunya buat nanti."
Jerga menurunkan lembut kotak susu yang masih di minum si pemiliknya itu, dan si pemilik tentu saja menurut. Senyumnya mengembang dengan cantik sambil memandang lelaki yang duduk di sampingnya.
"Nggak usah bercanda kalian!"
Jerga yang masih saling memandang dengan Jia pun menoleh, ketika baru saja suara cukup keras itu terucap. Dia menatap tidak suka seseorang yang tiba-tiba berbicara seperti itu tadi, dan mulai menyendokkan lagi beberapa suap nasi dan lauk ke mulutnya.
Sesekali juga Jerga menyuapkan daging sapi miliknya kepada Jia yang duduk di sampingnya ini. Hanya dia yang kesal ketika seseorang tadi berkata seperti itu, kakaknya tidak. Gadis itu masih asik dengan makanannya, namun wajahnya sekarang terkesan murung dan sedih. Tetapi tidak lama kemudian tersenyum lagi ketika menatap matanya.
Hal itu membuat seseorang berbaju putih dengan renda di sekitar lehernya itu menatapnya malas. Sama halnya dengan lelaki yang duduk di sampingnya, lelaki berperawakan tinggi, anak pertama dari keluarga ini.
"Besok, kalo kamu dapet nilai jelek lagi, Papa tambahin les kamu."
Jerga yang sejak tadi menyuapi sang kakak itu menoleh, lalu menatap tak terima pria berwajah tegas yang duduk di meja ujung.
Dia tahu perkataan itu untuk dirinya. Untuk siapa lagi?
"Pa ...."
"Apa? Mau melawan?"
Jerga hanya bisa menunduk, menghela napasnya lirih, pasrah, menerima. Dari pada di tambah les yang tambah banyak? Dia tidak mau. Lesnya sudah cukup banyak, ah bukan cukup lagi, bahkan lebih. Seringkali merasa otaknya benar-benar seperti ingin pecah.
Sehari saja terkadang ada 3-4 tempat les yang harus Jerga datangi. Pulang sekolah juga terkadang dia bisa sampai malam. Pagi belajar di sekolah, sampai sore atau bahkan malam. Setelah pulang sekolah dia belajar di tempat les. Pulang hampir tengah malam saja dia masih harus belajar lagi di rumah sampai pagi.
Tidak jarang hidungnya akan mengeluarkan darah. Ya, mimisan. Sudah biasa bagi diri Jerga.
"Hari ini hujan, biar nanti Papa telepon guru les kamu buat dateng ke rumah aja."
Sekali lagi anak bungsu di keluarga ini hanya bisa menghela napasnya pasrah. Tidak mau melawan, dan tidak akan bisa.
Karena kalau Jerga melawan, entah apa yang terjadi kepadanya selanjutnya.
"Jia makan yang bener dong!"
Suara keras dari Jihan membuat ketiga orang yang berada disini menoleh kepada yang namanya di serukan. Jihan, anak kedua di keluarga ini, orang yang masih sama dengan yang berteriak beberapa menit yang lalu itu.
Jerga yang melihat itu langsung saja menurunkan tangan Jia yang saat ini seperti tengah kesusahan memotong daging sapi di piringnya, membuat nasinya tercecer kemana-mana, dan karena itu yang membuat Jihan berteriak lagi.
Lelaki itu berusaha menghentikan tangan Jia, masih dengan gerakan lembut.
"Kak, Jerga suapin aja ya?"
Gadis itu menoleh dan selanjutnya mengangguk senang. Tubuhnya saja sedikit dia hadapkan ke samping, ke seseorang yang beberapa detik lalu menawarkan untuk menyuapinya.
"Urusin tuh kakak lo!"
"Lo juga kakaknya kalo lo belum lupa."
Jihan terkekeh sinis mendengar jawaban dari adik bungsunya yang saat ini tengah telaten menyuapi gadis di hadapannya itu.
"Gue nggak punya adik gila, gangguan mental, stres, gila—"
"Kak!"
"Jangan teriak sama kakakmu!"
Jerga menatap tak percaya sang ayah.
Yang duluan memulai siapa? Dia juga tidak akan seperti itu jika kakaknya tidak melontarkan kata-kata yang membuatnya sakit seperti ini. Dia sesak, bukan salah gadis itu jika dia seperti ini.
"Jangan bilang Kak Jia gila lagi." Lirihnya dingin masih menatap Jihan sinis.
"Dia emang gila, 'kan?"
Suara berat itu membuat Jerga menoleh.
Lelaki yang sejak awal sarapan tadi tidak membuka suaranya sedikit pun. Kakak tertuanya.
"Kalian semua yang gila. Ayo, Kak."
Menarik dengan cepat lengan Jia, Jerga berniat membawanya pergi dari meja makan penuh setan ini. Inginnya sih pergi sekalian dari rumah, tetapi dia tidak bisa.
"Duduk!"
Teriakan pria kepala keluarga itu bahkan tidak di dengar sedikit pun oleh Jerga yang kini sudah berjalan kian menjauh. Lelaki itu menulikan pendengarannya dan masih menuntun lembut lengan Jia, berjalan menaiki anak tangga.
Lebih baik dia ke kamarnya lagi.
"JERGA ABHICANDRA!!"
.......
.......
.......
Di kamar bernuansa abu-abu lah kini mereka berada. Lebih baik Jerga kembali ke kamarnya lagi, dari pada di meja penuh setan itu. Keluarganya setan semua jika Jerga boleh mengatakannya. Dia sudah lama tidak kuat, namun dia bisa apa? Dia anak paling kecil di rumah ini, yang bisanya disuruh menurut ini dan itu.
Keinginannya dari dulu Jerga membawa kakaknya pergi dari rumah neraka ini. Benar-benar tidak ada yang bisa di sebut baik hati atau malaikat.
Mereka boleh membencinya, tetapi jangan Jia. Gadis yang saat ini tengah terbaring sambil terlihat menghitung bintang-bintang yang tertempel di langit-langit kamarnya.
Jerga sedikit terkekeh kecil. Kakinya melangkah menuju sang kakak di sana, mendaratkan tubuhnya dan duduk di sampingnya. Hal itu membuat si gadis yang sadar ada pergerakan di sampingnya pun menoleh, lalu kemudian bangkit dari tidurnya.
"Jerga nggak papa??"
Lelaki itu menoleh dan tersenyum, merasakan lembutnya usapan Jia pada puncak kepalanya.
"Nggak papa, Kak. Jerga disini buat Kakak."
"Papa ...."
Jerga seketika memeluk tubuh kakaknya saat gadis itu merubah raut wajahnya menjadi sangat ketakutan. Kedua lututnya saja dia naikan.
Jia menyembunyikan wajah takutnya pada pelukan adiknya, sambil memeluk boneka kelinci putih yang selalu dia bawa kemana-mana.
Dapat dia rasakan kakaknya sangat ketakutan, tubuhnya saja mulai gemetar.
"Sstt ... Jerga disini ...."
Lelaki itu beberapa kali mengusap lembut punggung Jia untuk menenangkannya.
"Papa nggak marah sama Kakak, papa marah sama Jerga."
Jerga merasa pelukannya merenggang, hingga sedetik kemudian ada dua tangan yang memegang kedua sisi pipinya.
Bonekanya sudah terjatuh begitu saja di atas sprei abu-abu miliknya.
"Tapi Jia nggak mau Jerga dimarahin Papa ..." mata gadis itu mulai berkaca.
Kata-kata yang terucap beberapa detik lalu dengan tulus itu membuat Jerga menatap haru sang kakak. Wajah polos itu, tatapan polos itu, suara polos itu, membuat hatinya benar-benar sesak.
Dia sangat menyayangi gadis itu, lebih dari apapun. Karena, hanya dia yang gadis itu punya. Dan, hanya gadis itu yang dia punya.
Jerga sudah benar-benar benci dengan keluarga ini. Dia tidak boleh lemah, dia harus melindungi gadis yang saat ini masih memegang kedua sisi pipinya. Namun sedetik kemudian, raut wajah Jia berubah takut. Ah sepertinya bukan takut, terlihat seperti cemas dan khawatir.
"Bonny?!"
Jerga mengikuti arah pandang Jia, dan detik selanjutnya dia terkekeh kecil lalu mengambil sesuatu yang dia temukan di samping tubuhnya. Sesuatu yang tadi gadis itu taruh begitu saja saat mengkhawatirkannya.
Kini Jia mengkhawatirkan benda berwarna putih yang sering di panggilnya 'Bonny'.
"Bonny disini, Kak ...."
Jia masih dengan wajah khawatirnya, menatap sedih si Bonny yang baru saja di serahkan adik lelakinya itu. Dia merebutnya dengan cepat dan memeluknya erat, matanya bahkan masih berkaca. Raut wajahnya begitu sedih.
Jerga menatapnya sendu. Di tatapnya sang kakak dan boneka putih itu bergantian, hatinya begitu sakit. Dia tidak tega melihat kakaknya seperti ini.
'Maafin Jerga nggak bisa jagain kakak ...' batinnya.
Tangannya terulur dan menyentuh sisi kiri kepala Jia lalu mengelusnya lembut. Mengelusnya dengan sayang, bahkan secara tidak sadar pandangan matanya juga mulai buram.
Brak! Brak!
Keduanya terlonjak kaget saat mendengar gedoran pintu yang cukup keras itu dari luar.
"Jerga! Buka pintunya!"
Lelaki yang di serukan namanya hanya mendengus kasar, dia memang tadi mengunci pintunya saat mereka masuk.
"Nggak! Maafin Jia!! Jia minta maaf, hiks ... Mama!!!"
Jerga lagi-lagi menoleh cepat, kini dia menatap kakaknya khawatir. Ini yang biasa terjadi ketika sang ayah berteriak di rumah, meskipun bukan teriak untuk gadis itu.
"Kak, Kak, tenang ... Jerga disini."
Lelaki itu terus berusaha menenangkan Jia yang kini tengah sangat ketakutan. Kedua tangan gadis itu bahkan mulai memukuli kepalanya sendiri, sambil sesekali menutupi kedua telinganya.
"Kak! Jangan kayak gitu!"
Jia masih memukuli kepalanya dan menangis, sebelum semua itu terhenti saat Jerga lebih mendekat ke arahnya dan memeluk tubuhnya erat.
"Jerga disini, Kak ... Jangan kayak gini ...."
Suaranya melembut, mengelus lembut punggung sang kakak yang sudah mulai tidak berontak lagi. Tubuh mungilnya meringkuk takut di pelukannya. Jerga bisa merasakan jaket birunya diremas kencang oleh kedua tangan gadis itu.
"Hiks ... Maafin Jia ...."
"Kak, sstt ..." Lelaki itu berbisik lembut lagi dan mengeratkan pelukannya. Dia bisa mendengar isakan kakaknya.
BRAK! BRAK!
"JERGA!!"
Dan lihatlah, Jia semakin menyembunyikan kepalanya pada dada milik Jerga sekarang. Gadis itu sangat ketakutan dengan teriakan kencang ayahnya.
"Kak, Jerga keluar dulu ya?"
Lelaki itu merenggangkan pelukannya, menatap Jia sambil tersenyum hangat. Tetapi tatapan gadis itu masih ke bawah, sesekali melirik ke kanan dan ke kiri sambil mulai menggigiti kuku jarinya.
"Jangan digigit ...," Jerga menurunkan pelan tangan itu, "nanti luka."
Jia tetap diam saja, tubuhnya masih gemetar karena ketakutan. Dan kini beralih memeluk erat Bonny.
Jerga menatapnya sendu, lalu saat dirasa kakaknya sedikit tenang, lelaki itu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu kamarnya. Untuk membukanya, untuk apalagi?
Cklek
Pintu terbuka dan langsung menampakan sosok dengan wajah yang tengah menahan marah di hadapannya. Tanpa kata pria itu menarik kencang tangan putra bungsunya. Menariknya keluar dari kamar.
Plak!
Jerga tersentak kaget dan mulai merasakan pipi kanannya sangat perih.
"Bagus orang tua lagi ngomong di tinggal pergi?"
Bahunya naik turun.
"Papa nggak pernah didik kamu kayak gitu!" lanjutnya keras dengan mata yang menatap marah sang putra.
Jerga masih terdiam dengan rasa sakit di pipinya, "Jerga emang nggak pernah hidup dari didikan Papa."
Plak!!
"Anak kurang ajar!"
Tamparan kedua baru saja Jerga dapatkan di pipi kirinya. Lengkap sudah. Benar-benar perih, tamparan sang ayah memang tidak main-main. Dan dia sudah biasa merasakan ini.
Pria bermarga Abhicandra yang sejak tadi menatap anak bungsunya marah itu seketika menundukkan kepalanya, saat dia merasakan ada yang memeluk kaki kirinya.
"Jangan sakiti Jerga, Papa ... hiks."
Suara gadis itu bergetar sambil memeluk erat kaki kiri ayahnya dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih memeluk Bonny. Sedikit ada perasaan takut yang dia rasakan.
Dhamar menghela napasnya kasar, kepalanya sudah terangkat lagi ke atas dan menatap Jerga yang kini menatap sedih gadis yang masih memeluk kakinya.
"Minggir kamu!"
Kakinya dia hempaskan keras sambil tangannya dengan kejam menjambak rambut yang dihiasi bandana pink itu ke belakang, sehingga melepaskan tangan yang sejak tadi memeluk kakinya.
Gadis itu pun terdorong ke belakang.
"Kak!"
Jerga beralih mendekati Jia lalu memegang kedua sisi kepala gadis itu yang tadi terkena jambakan ayahnya. Dan pasti itu sangat perih.
Jerga benci ayahnya.
"Papa stop sakitin Kak Jia?! Kak Jia itu anak Papa!"
"Oh, bagus kamu teriak sama Papa!"
"Kalo mau pukul, pukul Jerga aja! Jangan pernah pukul Kak Jia!"
Dhamar terkekeh sinis, "nggak usah ngatur Papa kamu!"
Jerga semakin menatap ayahnya tak percaya. Dia sangat benci dengan ayahnya, ayahnya tidak pernah menyayanginya, juga Jia. Dia merasa kalau dia bukan bagian dari keluarga ini, karena dia dan kakaknya di perlakukan berbeda dengan kedua kakaknya yang lain. Mereka seperti anak emas sang ayah.
Sedangkan Jerga? Tidak pernah di perlakukan selembut itu. Entah apa yang membuat ayahnya sangat membencinya. Dia terkadang juga sedih memikirkan itu, kenapa dia dan Jia di perlakukan berbeda?
Karena nilai sekolah?
Jerga bahkan terus berusaha untuk membanggakan nama sang ayah. Dengan giat belajar, mengikuti les yang tidak hanya satu atau dua, dia mengikuti semua itu, dia menerima semua itu, semua yang diperintah ayahnya tanpa adanya bantahan. Tetapi kenapa ayahnya tidak pernah bersikap lembut kepadanya? Pasti selalu dengan, ya ... kekerasan.
Bahkan kakaknya, gadis yang saat ini masih meremas erat jaketnya untuk yang kedua kalinya. Jia juga sering terkena pukulan tangan sang ayah, meskipun dia seorang perempuan. Tega-teganya bukan? Ayahnya memang benar-benar bukan manusia.
Jerga tidak apa-apa setiap hari mendapat pukulan atau tendangan dari ayahnya. Tetapi jangan Jia, gadis yang bahkan tidak akan pernah melawan apa yang dilakukan sang ayah kepadanya. Gadis itu hanya menangis dan menutupi kedua telinganya, atau bahkan hanya menunduk dan memeluk erat boneka miliknya.
"Dasar anak gila."
Jerga menatap ayahnya benci.
Bisa-bisanya ayahnya berkata seperti itu kepada anak perempuannya sendiri? Bukannya menjaga dan melindunginya, pria itu malah menyakitinya dan melontarkan kata-kata tidak pantas seperti itu.
Kata-kata yang sangat tidak pantas di ucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya.
Jerga dapat merasakan kepala Jia semakin bersembunyi di dadanya, serta tangan yang sejak tadi hanya meremas jaketnya kini sudah memeluk pinggangnya sangat erat. Gadis itu ketakutan.
Dia pun mengusap tangan kakaknya lembut untuk menenangkan gadis itu.
"Seharusnya kamu emang Papa kurung. Anak gila nggak tau diri."
"Cukup, Pa!"
Dhamar menoleh menatap putranya marah.
"Kak Jia anak Papa! Kak Jia kayak gini juga bukan kemauan dia!"
Jerga benar-benar sudah muak, dia merasakan pelukan di pinggangnya semakin erat.
"Seharusnya kalo Papa emang seorang ayah, orang tua, Papa didik kita dengan benar! Bukan dengan kekerasan!"
Lelaki itu bisa melihat rahang ayahnya mengeras, matanya melebar tajam, lalu kakinya maju selangkah mendekat ke arahnya.
"Makanya Jerga bilang, Jerga emang nggak pernah hidup dari didikan Papa."
Dia benar-benar tidak peduli akan tatapan itu.
"Kalo Papa bukan orang tua Jerga, Jerga juga nggak akan pernah menghormati orang kayak Papa."
"JERGA!!!"
Anak itu tahu apa yang selanjutnya akan dia terima, dia pasrah saja, dia hanya tidak suka ayahnya berkata seperti itu kepada kakaknya.
Lebih baik tubuhnya yang menerima kesakitan, jangan tubuh kakaknya, ataupun hati kakaknya.
"Pa."
Jerga dapat mendengar suara itu, dia juga dapat merasakan belum ada pukulan di kepala atau tubuhnya.
Dan suara itu tentu saja membuat keduanya menoleh, namun tidak dengan gadis yang saat ini masih memejamkan mata dan bersembunyi di pelukan adik lelakinya.
"Guru les Jerga udah dateng." Ucapnya tenang.
Wajahnya datar menatap ayahnya, dan beralih menatap kedua adiknya, masih dengan pandangan yang sama.
Kakak tertuanya, Janan Abhicandra. Lelaki yang tidak banyak bicara dan selalu datar. Tentu saja lelaki itu juga membencinya dan membenci gadis di pelukannya. Memang siapa yang menyayanginya di keluarga ini?
Mendengarnya, Dhamar yang sudah menurunkan tangannya yang tadi hendak menampar lagi putra bungsunya itu, kini menatap tajam kedua anak yang berada di bawahnya. Pria itu menghembuskan napasnya kasar, tubuhnya berlalu pergi menuruni anak tangga sebelum memerintahkan sesuatu untuknya dengan nada dinginnya.
"Masuk kamar."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
...• To be continued •...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
...Hai hai!...
...Mohon dukungan dan semangatnya ya~!...
...ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments