Saat pertama kali menjadi anak satu-satunya aku begitu di manja. Ayahku adalah seorang pria yang bertanggung jawab walaupun pekerjaan yang di tekuninya kadang hanya cukup untuk kami makan.
Ibuku hidup bahagia bersama ayah dan aku. Hingga lahirlah adik-adik ku yang membuat ayah tidak betah tinggal di rumah kami. Ayah sering menghabiskan waktunya dengan teman-teman atau dengan keluarganya. Meninggalkan ibu dengan tiga anak yang masih kecil-kecil.
Semakin hari Ibu menjadi sosok pemarah bagi kami anak-anaknya. Tak ada lagi tawa dan canda dari bibirnya. Hanya teriakan dan umpatan terdengar dari rumah sederhana kami.
Bertahun-tahun ibu hidup seperti itu walaupun ayah masih bertanggung jawab memberi ibu nafkah tapi hidup hanya bukan nafkah saja bukan..! Sampai pada akhirnya ayahku meninggal dunia. Mobil yang di kendarainya menabrak pembatas jalan dan ayah meninggal di tempat.
Aku dan kedua adikku menangisi kepergian ayah yang begitu mendadak. Sedangkan Ibu tak ada setetes pun air mata jatuh di pipinya. Ibu begitu tegar mengurus semua keperluan pemakaman dan mengurus kami yang tak bisa menerima kepergian ayah.
Setelah kepergian ayah, Ibu bekerja sebagai Asisten rumah tangga di sebuah rumah mewah yang jauh dari rumah. Ibu pulang setiap hari sabtu sore menemui kami yang hidup bertiga saja dirumah. Waktu itu usiaku sebelas tahun jadi ibu memintaku untuk mengurus kedua adikku yang berusia tujuh dan enam tahun.
Apakah kalian bertanya-tanya tentang keluarga kami yang lain..Kami tak punya siapa-siapa selain ibu, karena ibu dan ayahku menikah tanpa restu kedua orang tua mereka. Bahkan saat ayah meninggal tak ada satupun keluarga yang datang, baik dari pihak ibu atau ayahku.
Pernah sekali aku bertemu dengan adik bungsu ayahku. Dengan congkaknya dia berkata :
"Ketika ayahmu masih hidup saja kami tidak ingin menganggap kalian keluarga apalagi ayahmu sudah mati"
Anak usia sebelas tahun sudah mengerti rasanya sakit hati dan itu akan selalu ku ingat hingga aku dewasa kelak,batinku.
Sifat pemarah ibu semakin menjadi bahkan ibu sering memukul adik-adikku karena kelakuan nakal mereka. Tapi itu tidak pernah berlaku padaku. Ibu tidak pernah memukuliku walaupun umpatan kasar masih mampir di gendang telingaku.
Demi kedua adikku tetap mengenyam pendidikan aku rela hanya tamat sekolah menengah atas. Aku tidak ingin menambah beban ibu ku. Dari dulu sampai sekarang hanya aku anaknya ibu yang tidak pernah sedikitpun membantah ucapannya. Walaupun menurut hatiku diri ini benar aku tetap diam demi menjaga perasaan ibu.
Setelah aku bekerja ibu berhenti bekerja. Akulah yang meminta ibu untuk tetap tinggal di rumah supaya adik-adik ku ada yang mengawasi.
Setiap bulan aku mengirimkan semua gajiku,aku hanya mengambil uang lemburan yang tidak seberapa. Bahkan bisa berhari-hari aku hanya makan mie instan supaya uangku tetap cukup sampai akhir bulan.
Aku tidak pernah mengeluh karena aku tahu semua yang ku lakukan tidak sebanding dengan pengorbanan ibu yang membanting tulang untuk kami anak-anaknya.
Dua tahun merantau aku tidak pernah pulang bahkan saat hari raya. Karena masuk kerja ketika hari raya uangnya bisa menambah transferan untuk ibu.
Apakah ibu atau adik-adikku tidak komplain..? Tidak... mereka tidak pernah menanyakan apapun padaku. Pesan masuk hanya sebatas kapan mentransfer uang.
Jujur saja terkadang aku berfikir aku hanya sebatang kara di dunia ini. Tak ada tempat untuk sekedar merebahkan kepala saat hati tidak baik-baik saja..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments