Gangguan Kecil

"Feb, pinjam data laporan Minggu kemarin dong," ucap Hesti sembari menggeser kursinya ke arah Febry. 

"Oke, eh bentar. Hes, menurut kamu kejadian tadi pagi ulah iseng mahkluk begituan bukan sih?"

"Emm... kayanya sih iya. Mungkin nih ya dia pengen kenalan sama kamu haha."

"Malah ketawa, aku serius ih. Rada parno tau. Tapi beneran deh, pagi tadi itu Pak Ardi yang duduk di situ." Febry menunjuk ke arah kursi kosong milik Pak Ardi.

"Hal kaya gitu sih sudah biasa bebs, tapi nih kamu harus hati-hati sama makhluk cewek yang naksir sama Pak Ardi. Kalau aku liat sih dia agak agresif sama agak pemarah."

"Maksudnya gimana?" Febry membenarkan posisi duduknya.

"Jadi gini, aku kan sudah pernah bilang kalau Pak Ardi tuh di sukain sama mahkluk begituan. Nah si cewek ini gak suka kalau Pak Ardi dekat sama perempuan. Terlebih nih ya menurut aku, Pak Ardi tuh suka sama kamu, entah suka dalam bentuk cinta atau nyaman sebagai atasan dan bawahan aku gak ngerti. eemm intinya kamu sama Pak Ardi kan dekat. Nah kamu kudu ati-ati bebs. Soalnya si cewek ini Mayan galak," terang Hesti panjang lebar.

"Ah gak bener itu, suka apaaan. Orang ngeselin gitu juga. Tapi seriusan Hes? Kok aku jadi parno sih, aku kudu gimana jadinya?"

"Ngeselin tapi ngangenin kan? Y gak gimana gimana," ledek Hesti.

"Heleh embuh lah, Pak Ardi aja sudah bikin mumet masa cemcemannya bikin mumet aku juga. Aku mau ke produksi dulu, kamu ikut 

gak?" Febry bangkit dari posisi duduknya, lalu meraih buku yang berada di laci meja.

"Ikut! Bentar aku ngambil perlengkapan dulu."

Kedua sahabat itu lantas pergi ke ruang produksi. Bagi Febry ruangan produksi yang dingin terasa semakin dingin ketika ia melewati box besar berisi es batu yang biasa di gunakan untuk mendinginkan udang agar tetap segar. Ribuan karyawan terlihat tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mereka berdiri dibalik meja-meja panjang yang di depannya berisi tumpukan udang. Saat melintasi bagian sortir tanpa sengaja mata Febry melihat sosok aneh seperti tengah memperhatikannya. Sosok itu berdiri tepat di samping karyawan yang berada di pojok meja sortir. Febry terpenjat kaget ketika menyadari sosok yang memperhatikannya itu ternyata memiliki wajah yang rusak dan baju yang penuh darah. Ia lantas berlari kecil mengejar Hesti yang berjalan beberapa langkah di depannya.

"Hesti, tunggu."

"Kenapa?" Hesti memelankan langkahnya.

"Ka-kamu liat gak, itu yang di pojokan," Febry menunjuk ke arah pojok dengan lirikan matanya.

"husss... Jangan ditegur, biarin aja. Dia gak ganggu," Hesti memperingatkan.

Febry hanya mengangguk dan tetap melanjutkan langkahnya, ia tak berani melihat ke arah pojok lagi. Ia merasa jika keringat dingin tengah membanjiri tubuhnya. Seumur hidup baru kali ini ia melihat penampakan semengerikan itu. Ia lantas berfikir, bagaimana bisa Hesti tetap tenang melihat hal-hal mistis seperti itu setiap hari terlebih Hesti seorang indigo yang pasti sangat sensitif.

Mereka menuju ruang storage, saat memasuki ruang storage karyawan diwajibkan menggunakan jaket dan topi yang sudah disediakan di lemari khusus yang berada di depan ruangan. Febri dan Hesti lantas segera mengenakan jaket dan topi rajut tebal.

"Hes, kamu gak ngeri liat yang tadi?" 

"Sudah biasa aku, yang lebih seram dari dia juga sudah biasa." Hesti menjawab santai sembari mencari jaket miliknya yang berada di gantungan lemari.

"Dia memang penghuni sini?" Febry mulai penasaran.

"Dia bukan penghuni asli sini, dia pendatang. Kayanya dia dahulu korban kecelakaan lalu lintas di depan pabrik, terus y udah. Merasa di sini tempat yang nyaman jadi betah. Dia gak ganggu, beda sama cewek yang naksir Pak Ardi." 

Febry hanya menyimak serius ucapan Hesti, tapi jauh dalam hatinya ada ketakutan saat membayangkan hari-harinya akan sering bertemu hal aneh selama ia terus bekerja di pabrik ini. 

"Yuk ah masuk, keburu jam istirahat nanti."

Febry hanya mengguk lalu mengekor di belakang Hesti. Sesekali matanya melihat lihat ke arah sekitar, rasa penasaran dan takut menjadi satu dalam hatinya. 

"Rima, ada liat Pak Ardi gak? ilang mulu dari pagi," ucap Hesti pada Rima, salah satu Admin storage.

"Kayanya sih tadi di dalam. Gak tau masih di dalam atau sudah keluar."

"Hedeh, Pak Ardi nih bikin repot. Cus lah kita beb," ucap Hesty pada Febry.

Ruangan storage A dua kali lipat dinginnya dari ruang produksi, karena ruangan ini khusus untuk penyimpanan barang yang sudah dibekukan. 

Baru saja Febry dan Hesti ingin memasuki ruang storage A, Pak Ardi keluar sembari menggosok-gosok kedua tangannya karena kedinginan.

"Nah ini dia yang dicari-cari," ucap Hesti.

"Kalian di sini? Feb, sudah dikirim laporan yang diminta sama HO?" 

"Habis istirahat nanti dikirim, Pak. Ini mau minta data pengiriman barang dulu sama Rima." Belum sempat Pak Ardi menjawab, Febry sudah melangkah pergi menuju meja kerja Rima yang berada di luar ruangan storage. 

Meja admin storage dengan ruang produksi di sekat dengan pagar besi setinggi hampir tiga meter, saat Febry melangkah menuju meja Rima, tiba-tiba pagar dengan panjang dua puluh meter itu roboh. 

Bruukkkkkkk

Febry berteriak histeris karena pagar itu hampir mengenai tubuhnya.

Semua orang yang berada di sekitar situ kaget dengan suara nyaring akibat pagar yang jatuh dan segera menghampiri Febry yang terlihat masih sangat syok.

Termasuk Pak Ardi. Ia yang tengah berbincang dengan Hesti lantas langsung berlari secepat mungkin menghampiri gadis bertubuh semampai itu dengan perasaan khawatir.

"Kamu Ndak papa, Feb?"

"Ga papa, Pak," sahut Febry dengan tubuh yang masih gemetar.

Pak Ardi lantas meraih tangan Febry, lalu menuntunnya berjalan ke arah meja admin agar tenang. Suasana sekitar terlihat panik, semua bertanya-tanya, bagaimana bisa pagar yang terlihat baik-baik saja bisa ambruk dan nyaris mengenai tubuh Febry.

"Serius kamu gak papa, Feb?" Pak Ardi meyakinkan. Febry hanya mengganguk lemas.

"Feb, syukur gak sampe ngenain kamu. Aku sampe deg-degan," ucap Hesti yang baru saja datang.

"Iya gak papa."

"Emm... Ini mau nyebrang apa gimana kok masih di gandeng Pak?" Febry menunjuk sebelah tangannya yang masih di genggam erat oleh Pak Ardi.

Sontak lelaki itu salah tingkah dan segera melepaskan genggamannya.

"Gendeng koe Feb, masih sempat-sempatnya becanda. Ini aku ikutan gemetar. Coba tadi kamu ketindih pagar kan bahaya. Ya sudah sana, balik ke kantor aja. Bawa istirahat."

Pak Ardi memberi isyarat pada Hesti agar membawa Febry kembali ke ruangannya. Hesti menggaguk lalu menggandeng Febry. Mereka berdua pun lantas pergi meninggalkan ruangan yang Febry rasa semakin terasa dingin itu dengan perasaan yang masih berkecamuk.

****

"Feb, kamu tau gak?"

"Tau apa?" 

"Itu tadi ulah hantu cewek yang naksir Pak Ardi."

Febry Febry yang ingin memasukan suapan berisi nasi ke mulutnya lantas berhenti, membiarkan tangannya menggantung di udara. Mata belonya semakin membulat saat mendengar ucapan Hesti.

"Gimana tadi maksudnya?"

"Akukan sudah bilang , dia itu agresif. Dia gak suka sama kamu," terang Hesti dengan raut wajah cemas.

"Ja-jadi maksud kamu, itu tadi ulah hantu cewek yang naksir Pak Ardi?"

Hesti Mengangguk mantab.

Febry lantas terdiam, otaknya sibuk mengingat kejadian mengerikan yang baru saja ia alami. Bagaimana mungkin hantu bisa berbuat seperti itu.

"Kamu jangan nakutin, Hes. Terus aku kudu gimana?"

"Menghindar, menghindar dari Pak Ardi."

"Whattt?"

Feb aku balik duluan ya hari ini. Sorry gak bisa lembur bareng soalnya aku mau ke rumah sepupu aku malam ini ada acara," ucap Hesty sembari memasukan ponsel ke dalam tas rensel kecil miliknya.

"Iya gak papa, bebs." Febry menelan ludah, ia membayangkan harus menyelesaikan pekerjaan seorang diri di kantor adalah sesuatu yang mengerikan.

"Huft... Coba ini kerjaan boleh dibawa pulang." Ia menatap nanar tumpukan kertas di atas mejanya yang berisi laporan manual para admin produksi.

"Udah gak usah sedih, ada Pak Ardi yang nanti siap menemani," ledek Ryo sambil melirik ke arah Hesty lalu disambut tawa cekikikan oleh keduanya. Sedangkan Febry hanya tersenyum masam.

"Balik dulu ya, bebsss. See u." Hesty dan Ryo berlalu melewati Febry yang tengah sibuk merapikan tumpukan laporan, ia lalu mengeceknya satu persatu.

Suasana kantor benar-benar sepi, hanya terdengar suara mesin dari arah ruang produksi yang ada di belakang. Berkali-kali ia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi kembali buyar saat ingatan tentang penampakan di ruang produksi tadi melintas.

Ia bergidik ngeri, lalu menoleh kesana kemari mengamati sekitar. Berharap ada staf lain yang juga belum pulang, tetapi nihil. Matanya lalu tertuju pada jam dinding yang sudah menunjukan pukul 17.30. Febry kembali mengerjakan laporannya, kali ini ia mempercepat gerakannya. Tetapi kemudian ia berhenti dan tangannya merogoh sesuatu yang ada dalam laci meja kerjanya.

"Yes, ketemu." Mimik wajahnya berubah senang saat sebuah headset berhasil ia temukan. Ia lantas segera memasang benda kecil itu. Memutar lagu boy band BTS asal korea kesukaannya dengan volume lumayan nyaring. Ia berharap agar telinganya tidak mendengar suara-suara aneh yang kemudian membuatnya takut.

Sesekali mulutnya bergerak bernyanyi mengikuti lagu, untuk sesaat ia lupa akan rasa takut. Tetapi tak berlangsung lama Indra penciumannya mencium aroma bunga melati. Wanginya sebentar hilang lalu tercium kembali, begitu terulang terus hingga membuat  keberanian yang susah payah ia kumpulkan mendadak buyar.

Semakin lama aroma bunga melati itu semakin kuat, ia teringat akan perkataan orang. Jika mencium bunga melati berarti ada sesuatu disekitar kita. Febry lantas berdoa dalam hati, melafalkan semua bacaan yang mendadak hilang saat ketakutan. Jantungnya berdebar kencang, kejadian-kejadian mistis yang ia lihat dan alami selama bekerja seperti berputar putar dalam ingatnya dan membuat dirinya semakin ketakutan.

Lampu ruangan mendadak mati dan Febry berteriak ketakutan,"Aaaaaaa."

Lampu kembali menyala lalu sebuah tepukan dibahu kanannya membuat jantungnya semakin berdebar. Ia lantas menoleh ke arah sosok yang berada di sebelah kanannya.

"Pak Ardi?" Febry berucap kaget.

"Hoo. Opo-o, kaget?" Lelaki itu lantas melepas masker yang menutup mulutnya, lalu berjalan ke arah meja kerja yang berada di sebrang meja Febry.

"Pak Ardi y yang matikan lampu?" 

"Iyo, Lah kamu melamun apa gimana sampe aku buka pintu gak sadar?"

"Bukan melamun, aku make headset, Pak. Jadi gak dengar." Protes Febry.

"Pantes."

"Lagian Bapak, hoby bener ngagetin saya. Eh tapi bentar, ini beneran Pak Ardi bukan?" Febry mengamati lelaki di depannya itu dengan sungguh-sungguh."

"Lah iya lah, memang ada demit ganteng gini?"

"Fikss bener, baru percaya ini Pak Ardi beneran. Narsis sama ngeselin soalnya." Febry menarik nafas lega, ia lantas memasang headset yang tadi sempat terlepas lalu kembali menatap layar komputer dengan perasan lega, sementara Pak Ardi menggerutu kesal dari balik meja kerjanya.

"Feb!"

"Febry!"

"Febryyyy!"

Tak ada jawaban dari si empunya nama. Lelaki berlesung pipit itu lantas melemparkan gulungan kertas ke arah Febry. Febry lantas menoleh dengan mulut yang maju sekian centi.

"Apa sih, Pak?"

"Kamu itu lho, di panggil gak dengar. Kamu masih lama Tah?"

"Hehe maaf. Lumayan, kenapa, Pak?"

"Aku laper ini, bikinin mie di pantry gih."

"Sekarang?"

"Engga, besok pas taun baruan. Ya sekarang

 lah."

"Emmm... Sebenarnya mau aja sih, tapi..,"

"Tapi apa?"

"Tapi temenin. Takut, Pak."

"Hedehhh, Yo wess ayo!" Pak Ardi kemudian bangun dari posisi duduknya lalu berjalan keluar ruangan di ikuti Febry yang mengekor dari balik punggung.

"Kok bikin dua, Feb?"

"Saya laper juga Pak," ucap Febry sembari menuang bumbu mie goreng ke dalam piring.

Pak Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya,"Dasar, bocah semprul."

Sesekali lelaki itu melihat benda pipih yang berada di tangannya, lalu kembali mengamati Febry yang tengah sibuk meracik mie instan. Dengan jantung berdebar dan sembunyi-sembunyi ia mengarahkan layar ponsel ke arah si wanita, lalu tersenyum puas saat sosok wanita itu sudah tersimpan dalam memori ponsel miliknya.

"Ini sudah matang mie nya, Pak." Febry menyerahkan piring berisi mie instan dan dengan sedikit kaget bercampur gugup Pak Ardi menerima piring tersebut. 

Mereka lantas kembali ke ruangan, melanjutkan pekerjaan sembari menyantab mie instan.

"Gini ya rasanya kalau nanti punya istri."

Febry yang tengah menyantap mie instan, tersedak kecil mendengar ucapan Pak Ardi.

"Kenapa kamu, Feb?"

"Engga... engga papa, Pak."

"Kira-in!"

"Kira-in apa?"

"Kira-in mau daftar jadi calon istri," ucap Pak Ardi santai.

"Engga lah, narsis bener."

"Eleh, engga...engga tapi ntar di tinggal nikah, mewek."

"Puja keong ajaib, nasib punya atasan narsis gini." Febry mengelus ngelus dadanya sembari tertawa.

"Emm tapi, Pak. Memang sudah ada 

calonnya?"

"Ada lah."

"Hooo iya, Tah? Orang mana?"

"Anda kepo sekali, ada lah, ntar kaget. Kamu kan kagetan," ledek Pak Ardi.

"Siapa yang kepo, iya kagetan. Ditambah punya atasan usilnya minta ampun, makin dah kaget tiap hari."

"Gak usah senang gitu lah Feb, nanti aku buat kaget bukan setiap hari lagi, tapi sepanjang hidupmu," Pak Ardi lantas meletakan piring yang sudah kosong lalu kembali ke meja kerja miliknya. Sementara Febry tak begitu menggubris ucapan Pak Ardi, dalam pikirannya Pak Ardi hanyalah seorang atasan yang suka bercanda dan lumayan narsis. Tetapi di lain pihak ada sebuah hati yang terus berdebar karena sosok wanita yang diam-diam telah mengusik hidup tenangnya selama ini.

"Pak Ardi masih banyak kerjaan?"

"Lumayan, kamu sudah selesai Tah?" Pak Ardi menoleh, menatap lawan bicara yang ada di seberang mejanya.

"Sedikit lagi selesai."

"Ya sudah, selesaikan gek lekas pulang," ucap lelaki yang terlihat tengah sibuk itu. Matanya kembali menatap layar komputer, tetapi bukan angka ataupun bilangan-bilangan yang terpampang dilayar komputer, melainkan game. Ya, ia sengaja berpura-pura masih ada pekerjaan yang harus ia kerjakan. Hanya demi menemani gadis yang entah sejak mulai kapan selalu membuatnya rindu. 

Ia sadar jika mungkin perasaannya hanya akan bertepuk sebelah tangan, tetapi ia justru menikmati perasaan yang tersembunyi itu. Baginya mencintai dalam diam adalah caranya, caranya untuk menjaga si wanita agar tidak lari, caranya untuk terus bisa melindungi si wanita dari hal menakutkan.

"Pak, Ayo pulang. Ntar bapak kelamaan di sini jadi betah terus pengen nginep," goda Febry sembari merapikan meja kerjanya.

"Iyo nginep di konconi demit. Yok, Aku sudah selesai juga ini."

Mereka kemudian meninggalkan ruangan berbarengan.

Praaanggggggg

Terdengar suara benda terjatuh dan pecah dari dalam ruangan yang baru saja mereka tinggalkan. Febry lantas menatap ke arah Pak Ardi dengan raut wajah pucat.

"Suara apa itu, Pak?" 

"Aku tadi kentut, sudah ayo buruan keluar. Keburu maghrib nanti." Pak Ardi mempercepat langkahnya dan di ikuti oleh Febry yang masih dilanda penasaran. Febry yakin betul jika ia mendengar suara benda yang terjatuh seperti gelas tau kaca. Bukan suara kentut seperti yang di maksudkan Pak Ardi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!