Godaan pertama

Sebuah tepukan di pundak mengagetkan Febry, tubuhnya sedikit gemetar karena ketakutan. Ia tak berani untuk melihat sosok yang berada di belakangnya saat ini.

"Feb ... Kamu kenapa ndodok ndek sini?"

Logat medok yang khas dan terdengar sangat familiar. Febry mendongak, bukan sosok hantu tapi Pak Ardi yang sedikit membungkuk tampak heran melihatnya yang tengah terduduk di lantai dengan berurai air mata.

"Lah kamu nangis?"

"Engga!"

"Berarti itu ingus yang pindah di mata?"

Febry menepis jari Pak Ardi dari depan wajahnya, lalu dengan cepat mengusap sisa air mata dengan asal. lelaki di belakangnya itu hanya meringis lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Febry berdiri. Dengan sedikit canggung ia terima uluran tangan Pak Ardi.

"Makanya kalau gak berani bilang, biar aku temenin. Bukan malah sok berangkat sendiri tapi ternyata malah nangis ndek sini."

"Ngeselin emang, orang takut malah diledekin."

"Jadi mau ditemenin gak ini ceritanya?"

"Iya temenin." Febry reflek meraih cepat tangan Pak Ardi.

"Cie ... pegang-pegang," goda lelaki berhidung mbangir itu dengan menaikan kedua alisnya. Febry segera melepas pegangan tangan dan pura-pura mengelap telapak tangan dengan ujung baju.

Pak Ardi tertawa puas melihat ekspresi salah tingkah anak buahnya itu. Dengan memasanv wajah cemberut Febry segera beranjak dan Pak Ardi mengekor di belakangnya. Ruang produksi benar-benar terlihat menyeramkan. Bukan hanya karena minim penerangan karena lampu banyak dimatikan tapi juga karena tak ada siapapun selain mereka berdua. Bahkan suara sepatu mereka pun seakan menambah suasana horror.

"Kamu itu cuma belum terbiasa, Feb. Aku lho udah biasa malam-malam ke pabrik sendirian, biasa aja."

"Heleh, Pak Ardi itu cuma belum pernah aja ketemu sama yang begituan. Coba kalo pernah paling semaput juga," protes Febry.

"Lah ini buktinya ada yang ganggu gak? Kamu aja yang parno an."

"Hisshhh ... Iya wes iya, ya udah buruan jalannya, Pak," jawab Febry dengan memasang wajah kesal.

Pak Ardi berjalan santai di belakang dengan melipat kedua tangan di depan dada, sedangkan Febry berulang kali menoleh kesana kemari melihat sekitar dengan terus was-was. Mereka terus berjalan menuju meja Admin area Kak Icha untuk mengambil buku catatan. Sejauh ini tak ada gangguan apapun selain Pak Ardi yang terus bicara panjang lebar. Setelah menemukan buku yang ku cari, Febry lantas mengajak Pak Ardi untuk cepat pergi karena entah kenapa tiba-tiba Febry merasa tengkuknya serasa meremang kembali.

"Feb."

"Hemmm."

"Minggu jalan yok."

Wanita di depannya itu tak menjawab, seperti pura-pura tidak mendengar ucapannya.

Ajakan Pak Ardi terdengar seperti lelaki yang tengah mengajak seorang wanita berkencan, batin Febry.

"Feb."

"Apa sih, Pak?" Febry mulai kesal dengan ocehan lelaki yang masih melajang di usia tiga puluhan itu.

"Diajak ngomong diam aja. Kamu takut? Kalau kamu takut lho gampang, tinggal melambai ke arah CCTV itu," ia menunjuk tempat-tempat CCTV terpasang.

"Lah terus kalau sudah melambai memang dapat bantuan?"

"Gak sih."

Febry mendengus kesal, lelaki di depannya ini lama-lama semakin menyebalkan. Febry menarik ujung kemeja Pak Ardi agar berjalan cepat mengikutinya, baru beberapa langkah mereka berjalan, langkahnya berhenti membuat ujung kemeja yang Febry pegang terlepas.

"Apa lagi sih, Pak?"

"Itu lho di pojok dinding kamu gak lihat?"

"Mana?"

"Itu di pojok atas dekat pintu."

Febry mengikuti arah jari Pak Ardi yang menunjuk pojok dinding, tetapi tak ada apapun yang terlihat. Febry berfikir apa mungkin Pak Ardi bisa melihat sesuatu yang ghaib? Febry lantas mendekat bersembunyi di balik punggungnya karena ketakutan, jarak mereka kali ini sangat dekat. Bahkan ia mampu mencium aroma parfum yang menyembul dari tubuh lelaki di depannya itu.

"Pak serius aku takut beneran, jangan malah nakutin gitu. Memang ada apa?" Febry berucap pelan dari balik punggungnya.

"Memang aku bilang ada hantu? Itu lho ada sarang laba-laba, gimana sih petugas sanitasi kok sampe ada sarang laba-laba di atas sana. Apa gak di bersihkan?"

"Usil banget sih, Pak. Syukur ganteng."  Berulang kali Febry menepuk pundak Pak Ardi karena kesal, tetapi lelaki itu malah terbahak sambil mengelus-elus pundaknya yang kesakitan.

Mereka lantas kembali melanjutkan perjalan. Di depan toilet wanita tempat Febry menangis tadi Pak Ardi lagi-lagi menggoda dengan berulang kali berdehem kecil. Febry pura-pura tidak mendengar tetapi dari arah belakang mereka terdengar suara seperti benda terjatuh cukup keras. Tanpa berpikir panjang Febry lantas berlari cepat meninggalkan Pak Ardi yang berteriak memanggilnya.

"Hei Febry ... Kamu kenapa lari? Dasar bocah gembleng."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!