Setelah berfikir sebentar, Febri lantas bangkit dan berniat pergi ke ruang produksi. Jika semakin lama bimbang nanti akan semakin sore,fikirnya. Ia tak tega jika temannya besok akan kena marah oleh kantor pusat karena kesalahan yang ia lakukan.
"Yakin, Feb?" Hesti meyakinkan.
Febri hanya mengangguk pelan dan berjalan keluar ruangan. Ia tak menghiraukan Pak Ardi yang memanggil namanya.
Antara ruang produksi dan kantor ada pintu penghubung yang biasa nya di gunakan para staf jika ingin turun ke ruang produksi, tapi karena sudah sore pintu dikunci, dan terpaksa Febry harus berputar melewati pintu masuk belakang pabrik yang biasa digunakan karyawan produksi.
Suasana sangat sepi, karena memang sudah sore dan ditambah jam kerja yang sudah selesai.
Dengan terus meyakinkan diri ia melangkah menyusuri halaman samping pabrik, tepat di belakang mushola, ada deretan loker karyawan yang saling berhadapan sehingga membentuk lorong panjang. Pada saat jam kerja, banyak karyawan yang memilih beristirahat atau duduk-duduk di sekitar loker, hal itu membuat suasana tidak terlihat begitu menyeramkan.
Tetapi berbeda dengan saat ini, deretan loker itu terlihat begitu gelap dan kosong. Hanya terdengar suara binatang semacam burung. Karena memang loker berada didekat tembok pembatas antara pabrik dengan hutan.
Febry merasakan bulu kuduknya meremang. Berkali-kali ia mengusap lehernya yang terasa dingin. Ia lantas mempercepat langkahnya menuju pintu masuk ruang ganti.
Langkahnya berhenti di depan pintu, degup jantungnya kian terasa kencang. Terlebih saat netranya tanpa sengaja menatap bangunan gudang yang berada di belakang ruang produksi. Tampak tumpukan batu dan material halaman gudang. Tak ada satu pun pekerja yang terlihat, karena renovasi baru akan di mulai lagi minggu depan.
Jarak antara ruang produksi dan gudang sekitar 300meter. Gudang itu sudah belasan tahun kosong, dan rencana baru akan difungsikan kembali setelah di renovasi.
Ia kembali bergidik saat mengingat kejadian pagi tadi, saat puluhan karyawan kerasukan masal karena kemarahan penghuni gudang yang tak suka tempatnya akan digunakan kembali.
"Mimpi apa semalam? Ya sudahlah. Bismillah," gumamnya pelan sembari membuka pintu dan melangkah masuk.
Ruangan itu dipenuhi deretan lemari panjang berisikan sepatu boots karyawan yang terjejer rapi disetiap sisinya. Belum lagi Febri melangkah lebih jauh ia merasa dengkulnya sudah terasa lemas duluan.
Lorong sepatu begitu gelap, karena hanya satu lampu saja yang dihidupkan. Hal itu membuat ruangan terasa mencekam.
"Bismillah."
Febry memberanikan diri menyusuri lorong sepatu dengan kaki sedikit bergetar. Pelan kakinya melangkah menyusuri lorong sepatu. Menarik napas panjang saat langkahnya terhenti di ujung lorong. Tetapi ruangan itu bukan satu-satunya tempat yang harus ia lewati. Ia kembali harus melewati ruangan yang di dalamnya terdapat deretan apron yang tergantung.
Nyalinya kembali ciut saat menyadari ia berada di depan pintu kamar mandi wanita. Kamar mandi itu menjorok kebagian dalam, membuat lorong kamar mandi terlihat jelas dari tempat ia berdiri.
Suasana begitu senyap, tetesan air dari kamar mandi terdengar hingga keluar. Udara dingin dan lemabab semakin membuat bulu kuduk Febry meremang hebat.
"Crriinggg "
Suara kastok yang terbuat dari besi untuk menggantung apron membuat Febry terpenjat dan urung untuk melangkah. Ia berfikir, bagaimana mungkin ruangan yang kosong tak ada siapapun selain dia membuat kastok itu seakan ada yang menyentuh.
Belum terjawab rasa penasarannya, Febry kembali mencium aroma amis yang belum pernah ia hirup. Ditambah kaki yang mulai terasa berat. Kali ini ketakutannya benar-benar terasa menjalar hingga ujung kaki. Ia lantas segera membaca semua doa yang terlintas dipikirannya. Tetapi, karena ketakutan yang luar biasa ia kesulitan membedakan mana ayat kursi mana doa makan.
Berkali-kali ia menyentuh tengkuk yang tak berhenti meremang, berniat untuk kembali tetapi merasa sudah setengah jalan.
Dengan berat Febry berniat untuk melangkahkan kakinya. Baru akan kembali melangkah, samar-samar ia mendengar suara seseorang dari arah kamar mandi, semakin ia dengarkan suara nya seperti sebuah tangisan perempuan yang sangat memilukan.
"Ya Allah, suara apa itu?" Febry sudah mulai panik, karna suara tangisan dari dalam Wc karyawan. Ia masih mematung, keringat dingin membanjiri pelipisnya.
"Plakkkkk "
Febry menoleh ke arah suara, seperti ada sebuah benda yang terjatuh. Netranya menyusuri setiap sudut ruangan. Berharap menemukan jawaban yang masuk akal atas ketakutannya, amun nihil. Suara benda jatuh itu semakin membuat tubuhnya bergidik.
Aroma amis yang sedari tadi tercium kini semakin menyengat. Seperti berada begitu dekat dengannya. Tak mampu lagi rasanya untuk terus berjalan atau kembali memutar arah. Kakinya seakan kehilangan kekuatan untuk menompang tubuh untuk tetap berdiri.
Ia pasrah, terduduk lemas sembari menutup kedua mata dan terisak pelan. Kali ini ketakutan benar-benar menaklukan Febry.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments