Notes; Cerita ini mengusung alur maju mundur. Kalo dibaca pake perasaan, insyaAllah bisa dipahami.
...*****...
Bip bip bip
Suara pilu ventilator memecah kesunyian di ruangan dengan aroma desinfektan yang menyengat, seolah menjadi pengiring untuk pelayaran ruh yang tengah terbaring tak sadarkan diri di atas brankar ber-cat putih juga seprai dengan warna senada.
Austin ....
Sudah lebih dari dua belas jam lamanya pria itu terbaring tanpa daya, akibat kecelakaan di lintasan balap siang tadi.
Wajah pucat yang di bagian mulut dan hidungnya tertutup masker oksigen, nampak menguap diterjang napas sesaknya.
Di samping pria itu, Tara duduk bertopang dagu dengan sikut tertumpu matras yang ditiduri sahabatnya seraya tak lepas menatap wajah pucat yang terpejam itu.
Waktu telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Namun Tara masih tetap berusaha terjaga, walaupun sepasang matanya jelas menunjukkan kelelahan yang menuntut pelepasan.
"Kapan lu mao bangun, sih, Le?" Suara parau Tara. "Lu lagi belajar mati apa?" tanya sintingnya yang mungkin pada cicak yang berkejaran di sudut dinding. "Anteng banget kagak mo bangun!"
Detik merangkak meraih menit, lalu berjalan menggapai hitungan jam.
Empat jam kemudian ....
Seorang perawat terlihat sibuk menyibak tirai-tirai jendela untuk mempersilahkan sang surya menyorot ke dalam ruangan, menciptakan suasana lebih hangat di sekitarnya.
Tara yang mungkin baru memejamkan matanya dua jam saja, nampak terusik di samping Austin. Ia mengangkat kepala dan tubuhnya untuk menegak. Sesaat mengucek matanya yang masih terasa samar untuk meraih pandangan jelas.
Ia terkejut!
Mendapati Austin yang telah duduk dengan punggung tertempel bantal yang disandarkan ke kepala ranjang.
"Le! Lu kapan sadar?!" tanyanya spontan saja. Sekilas ia menepuk bagian pundak Austin. Bibirnya merekah menarik senyuman senang.
Namun ada yang aneh. Kecemasannya nampak tak bersambut. Ekspresi Austin di luar ekspektasi Tara. Pria bule itu hanya diam menatapnya dengan sorot datar, tapi cukup tajam untuk tatapan seorang sahabat yang seringkali saling melempar lelucon setiap harinya.
Dan Tara tak menangkap kebohongan atau kepura-puraan sedikit pun di mata merah itu. Karena Austin bukan pria yang senang berpura-pura.
Pandangan yang sama saat ia bertemu pria itu pertama kali, pikir Tara menelisik. Dingin dan datar.
"Lu baek-baek aja, 'kan, Le? Pala lu masih sakit?!" Ia masih mencoba.
....
Tetap sama! Austin masih diam seolah tak mengenalnya.
"Le!"
Dan tetap sama!
Kenapa ni bocah? Kerasukan? tanya hati Tara kebingungan.
Sampai menit berikutnya, suara yang sangat ingin didengar Tara itu akhirnya mendesis ...
"Siapa lu?!"
Pertama kali dalam hidupnya, Tara merasakan nyeri bertubi-tubi jauh di dalam dadanya. Terasa ditonjok berulang dan semakin kuat hingga ia tak tahan, lalu menangis seperti anak PAUD yang nyasar nyari emaknya.
Penjelasan Dokter sepuluh menit lalu, membuat Tara terbelalak tak percaya, bahkan nyaris mementalkan diri.
Amnesia!
Kata dokter pendek berkepala botak separo itu ... Austin mengalami amnesia! Yang bahkan tak bisa dijelaskan, apakah vonis itu bersifat sementara ... atau permanen.
Berdiri di samping pintu ruangan dokter yang sesaat lalu ditemuinya, Tara menyandarkan punggungnya dengan kepala menengadah ke atas membentur dinding di belakangnya.
"Ngapa jadi kayak gini, sih? Apa dosa si Bule ampe dibikin jereng model begitu?" keluh Tara putus asa. Kemudian memerosotkan tubuhnya ke lantai. Menekuk kaki untuk kemudian membenamkan kepalanya di sela lutut yang ia peluk. "Kalo lu ilang pikiran kek gini, berarti gua kudu nata otak lu dari awal lagi, Le! Nyeksa banget lu!" Lantas diangkatnya wajah yang lalu diusapnya kasar. "Abis ini, lu kudu beliin gua mansion segede alakajim di puncak Himalaya pokoknya, Le. Titik!"
...🦠🦠🦠🦠🦠...
Enam bulan kemudian ....
Sehelai daster lusuh selutut berlengan pendek bercorak batik melayu yang terlihat telah kusam memudar, membalut tubuh seorang wanita yang melangkah perlahan melewati trotoar di tepian jalan. Kaki putih yang nampak berdebu dialasnya dengan sepasang sandal jepit berwarna coklat kehitaman yang telah menipis dimakan usia pakai.
Sebuah besi sebesar kelingking, dengan panjang kurang lebih setengah meter, yang bagian ujungnya membentuk lekukan serupa kail, ia gunakan untuk menggapai gelas dan botol-botol plastik bekas minuman kemasan, yang lalu dimasukkannya ke dalam sebuah karung kumal yang diseret satu bagian tangannya yang lain.
Terlihat sesekali ia berhenti hanya untuk menyeka butiran peluh yang mengucur dari kepala hingga ke wajahnya, juga deru napas yang mulai tak beraturan. Terlebih, karung rongsok yang diseretnya telah hampir penuh, membuat langkahnya terseok-seok keberatan beban.
Nampak lagi-lagi diusapnya seraya menunduk, perut gendut yang di dalamnya berisi nyawa lain yang dititipkan Tuhan terhadapnya.
Ya!
Nastya Jasmine. Saat ini ia tengah mengandung. Sebuah kenyataan yang membuatnya benar-benar terlempar ke dalam jurang lara yang menyedihkan, memilukan, juga menghancurkannya.
Benih itu tumbuh di rahimnya setelah ditanam secara paksa pria biadab yang akan selalu diingatnya sampai kapan pun. Janin yang sempat berniat digugurkannya karena jelas itu--lagi-lagi adalah sebuah beban, menurut Jasmine dalam kedangkalan pikirnya.
Tapi tindakan itu kemudian urung dilakukannya, karena sepertinya Tuhan tak menghendaki ketololan itu.
Ia--makluk kecil itu, tetap hidup dengan tiupan ruh yang luar biasa aktif, hingga terkadang membuat geli perut Jasmine yang semakin membuncit seiring pertumbuhannya.
Namun getir tetap saja getir! Kehidupannya benar-benar di bawah garis merah yang merengkuh titik terlemah.
Ia terlunta-lunta di kota besar yang kini dijejakinya, setelah turun dari mobil bak yang berisi beragam jenis sayuran itu, enam bulan lalu. Ketika ia melarikan diri dari kejaran orang-orang jahat yang entah mengharap apalagi darinya.
Tanpa tempat yang akan ia tuju untuk pulang.
Kepahitan itu bahkan telah digambarkannya selama mobil bak itu melaju, membawanya entah kemana.
Dan ternyata Jakarta!
Melamar pekerjaan pada perusahaan jelas tak akan bisa, ketika ijazah bahkan KTP-pun tak di tangannya. Meskipun kota itu adalah kota kelahirannya, tapi terasa seperti neraka saat tak ada siapa pun yang bisa ia mintai bantuan.
Bermodal penampilan lusuh dengan satu baju yang bahkan berhari-hari tak digantinya, Jasmine semakin sulit mendapatkan pekerjaan, walau hanya di kedai kopi kecil di pinggir jalan sekali pun.
Ia mengasak makanan dari beberapa tong sampah di depan restoran atau gerai makanan yang dilalui langkah kakinya. Rasa malu dikorbankannya demi menjaga perutnya tetap terisi. Jasmine tak lagi peduli.
Tak jarang para pemilik resto mengusir dan menghardiknya dengan tak manusiawi hanya karena penampilannya yang nyaris menyerupai pengemis. Atau terkadang ada yang berbaik hati memberinya sebungkus nasi. Jasmine mengalami banyak hal yang menyesakkan dalam beberapa waktu ketika itu.
Sampai seorang malaikat diturunkan Tuhan untuk menolong kesulitannya. Anggap saja begitu.
Seorang wanita tua berbadan kurus yang tak sengaja ditemuinya di pinggiran jalan, mengajaknya untuk pulang dan tinggal bersamanya. Saat itu detik di mana Jasmine tengah menangis tersedu meratapi nasib buruk ke sekian kali dalam hidupnya.
Wanita tua itu hanya seorang pemulung yang tinggal di sebuah rumah yang keseluruhan dindingnya terbuat dari seng bekas dan berkarat, di bantaran kali Ciliwung, Kota Jakarta. Dan sekarang wanita itu pun juga telah tiada--dua bulan lalu, akibat sakit komplikasi yang dideritanya selama setahun belakangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
NA_SaRi
Up yg buanyaaak, Thor🤭🤣
2022-05-12
0