"Buseh, Le. Cape banget gua!" Tara berujar seraya menghempaskan tubuhnya menelungkup di atas kasur milik Austin.
Le adalah kependekan dari sapaan 'bule'. Panggilan Bintara khusus untuk Austin. Mereka berdua bersahabat. Persahabatan yang nyaris tanpa disadari kapan kedekatan itu dimulai.
Hanya Bintara.
Pria muda berambut gondrong sebahu itu adalah manusia yang paling berpengaruh untuk segala sisi perjalanan hidup Austin selama berada di negara ini--hingga kini.
Dengan ajaib, Austin si penyandang pria dingin nomor satu di dunianya--yang tak siapa pun tahu dunia sejenis apa, bisa lumer dan mencair hanya dengan rentang waktu kurang dari satu bulan lamanya, oleh Tara, entah dengan toxic semacam apa.
Austin si beku jenis kulkas lima pintu, kini lebih ekspresif sama seperti Tara--sama-sama tak beres.
Jika dipublikasikan, dengan kemampuannya, Tara mungkin akan menjadi seorang Milyuner yang bisa membeli empat belahan dunia sekaligus.
Itu pun jika seisi dunia diisi oleh orang-orang sebeku dan sekelam Austin--Austin di dunia lima tahun lalu.
....
Kembali pada detik ini.
"Kagak! Gua cuma lehoy!" Austin membalas perkataan Tara sekenanya. Ia memilih sofa untuk menyandarkan tubuhnya yang sama penatnya dengan Tara.
Jam sebelas lewat dikit malam ini.
Terlihat Tara membalik tubuhnya menjadi telentang. Melipat kedua tangannya untuk ia jadikan penyangga kepala. Lampu dengan bentuk jantung pisang di atas langit-langit menjadi sejurus tatapnya saat ini. "Le, menurut lu, tu cewek bakal baek-baek aja gak ya?"
Berbeda dengan Tara, lengan sofa dijadikan Austin sebagai bantalan untuk menyangga kepalanya. "Emang kenapa, Tar?" Austin balik bertanya dengan nada tanpa minat. Kini kedua telapak tangannya mulai sibuk memainkan ponsel yang baru saja mengeluarkan suara dering singkat--pertanda sebuah pesan chat baru saja masuk melalui aplikasi WangsApp miliknya.
"Gua takut tu cewek jadi gila, Le." Wajah serius Tara menunjukkan sebuah kecemasan.
"Apaan sih, lu! Salah dia sendiri ngapa berdiri di situ. Pan gua jadi keterusan," decak kesal Austin seraya menggeliatkan tubuhnya naik, mencari posisi nyaman di atas sofa.
"Beneran, Le. Gua serius. Gua takut--" Ucapan Tara tergantung setelah ia mengangkat bangkit tubuhnya, dan mendapati Austin ternyata tak begitu fokus pada dirinya. "Heleh, si Kampret! Bacod gua dianggurin!" Sebuah bantal dilemparkannya pada Austin yang saat ini mulai menunjukkan gejala seperti orang tak waras--terkekeh-kekeh sendiri di seberang sana ditemani benda pintarnya.
"Yodah dah, gua mandi dulu. Pedut bacod sama lu!"
"Hmm ...." Sesingkat itu Austin menyahuti.
"Bang-sat emang lu!" Tara mencibir.
"Memang! Pan elu yang ajarin!"
"Jih! Gua gibeng, jelek lu!" Dengan raut kesal, Tara melanting masuk ke dalam toilet setelah meraih sehelai handuk yang terkait di capstock dekat pintu kamar mandi tersebut. Sedangkan Austin masih terlena dengan goyangan jarinya di layar ponsel.
....
Tak perlu menunggu sampai subuh, Tara sudah keluar dari dalam kamar mandi yang masih berada dalam petak ruangan yang sama itu--di dalam kamar Austin.
Rambut basah dengan aroma manly terasa menyeruak di sekitaran, dikeringkan Tara dengan sehelai handuk berwarna putih bergambar kartun Woody dan kawan-kawannya--tokoh-tokoh animasi Toys Story. "Mumpung baru mau tengah malem, karaoke yuk, Le!" Tara mengajak seraya duduk nyerempet di sofa yang ditiduri Austin.
"Lu ngapa mepet-mepetin gua, sih!" hardik Austin sembari menarik baring tubuhnya menjadi terduduk.
"Ikut yak yok!" Sepasang alis Tara dibuat naik turun--mungkin untuk tujuan membujuk.
"Kagak! Pala gua sakit, Tar!" tolak Austin dramatis. Telapak kiri tangannya mulai naik melakukan gerak memijat di bagian keningnya dengan siku tertumpu paha.
"Heleh, lagak lu sakit kepala!" cebik Tara jengah. "Pasti sembuh kalo udah ketemu cewek-cewek gemoy di sana! Ayolah, Leee ...." Ia mulai memelas.
"Ayu aja blon ampe kelar gua garap. Dan itu gegara lu, Setan!" Sekali hentak dorongan, tubuh Tara telah tersungkur ke lantai di bawah kaki Austin.
"Bang-ke! Gua sesep muke lu, ambyar!"
"Muka gua tampan permanen!" Austin membalas seenak udel. "Lagi elu, lembek dipiara!" Ia bangkit dari tempatnya. Melangkah menuju sebuah meja di mana televisi, dvd player, dan sebuah speaker jumbo bergabung di satu tempat yang sama. Kemudian Austin mulai menancapkan charger pada ponselnya yang nyaris ko'it.
"Kalo Pak Lurah tahu, anak gadisnya mo lu obrak-abrik, mettong lu!" Tara mulai mengacak isi lemari Austin yang berdiri berdampingan dengan sofa yang tadi mereka singgahi, mencari sesuatu untuk membalut tubuhnya yang masih setengah lanjang.
"Mana ada!" sanggah Austin. Dengan langkah tenang, si bule itu mendekati Tara lalu berbisik tepat di depan telinganya, "Lu gak amnesia, 'pan?" katanya menyeringai. "Gua ini mafia. Dan Pak Lurah yang lukata itu ... cuma upil buat gua."
Tara membeliak sebal. "Ya ya ya ... Mafia pasar gembrong!"
Gelak Austin membahana lantang menendang sunyi. "Ya udah deh! Gua mo mandi. Abis tu molor. Tenaga gua kudu full besok."
"Hmm. Baek-baek lu ngadepin Sigi."
---
Keesokan harinya.
Pukul 02.00 pm.
Suasana di Sirkuit Sentul, di bagian timur kota Bogor itu nampak telah penuh disesaki orang-orang yang perlahan memadati balkon penonton di sekelilingnya. Bendera-bendera berkibar saling melambai satu sama lain di tiap kubu pendukung--bertuliskan nama pembalap idola mereka masing-masing.
Austin Bennedict dan Bastian Sigi.
Hanya dua nama itu yang ramai dielu-elukan. Meskipun di lintasan jelas tak hanya mereka yang bertanding memacu kuda besi khas MotoGp itu.
Bintara telah siap dengan teamnya di pihak Austin tentu saja. Rambutnya yang diikat serampangan nampak keren menunjukkan sejuta karisma dalam dirinya.
Pun dengan Austin yang juga siap di posisi garis start.
Sejenak Austin beradu pandang dengan lawan balap di sebelahnya--Bastian Sigi. Ekspresi mereka tak dapat dilukiskan karena terhalang helmet.
Dan fokus mereka kembali setelah seorang grid girl mulai bersiap mengibarkan bendera start.
Dan ....
BREEEEEEETTTTT ....
Suara berderet motor dengan pautan gas penuh semangat, menggelegar menyentak telinga.
Lap demi lap, dilewati dengan persaingan ketat.
Hingga berdetik kemudian ....
"LEEEEEEEE ...!!!!!" Teriakan Tara membahana. Dengan langkah-langkah lebar berkecepatan turbo, ia berlari menyongsong Austin yang berguling-guling di area lintasan.
Roda motor yang dipacu Austin nampak masih brputar mandiri setelah terpelanting cukup jauh akibat tersenggol motor milik pembalap lainnya yang kehilangan kendali cukup keras.
"Le, bangun, Le!" Telapak tangan Tara mengguncang-guncang tubuh Austin yang telah terkulai, tak sadarkan diri. Wajah Tara cemas bukan kepalang. Helm yang menutupi kepala Austin telah dilepas salah seorang lainnya yang berperan sebagai mekanik dari team-nya. Terlihatlah wajah naas Austin dengan rambut berantakan yang menutupi bagian wajahnya.
"Le ... lu jangan bikin gua takut, dong?! Jangan mati dulu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Danisha _ 2020
bsok2 kl si othor up, gw nabung bab dl lah baru baca kl udah banyak. biar rada lamaan bacanya 😎
2022-05-12
0
NA_SaRi
Sini sini sini😀
2022-05-11
0