Bab 4. Gara-Gara Kopi
Dari tempatnya berdiri Ardo bisa melihat dengan jelas seorang wanita tertunduk. Ia mengernyit, berusaha mengingat dimana kiranya ia pernah bertemu wanita itu.
"Hei, kamu!" serunya memanggil wanita itu. Namun agaknya wanita itu tidak memperhatikan. Hingga ia harus membawa langkahnya untuk menghampiri.
"Aku memanggilmu, apa kamu tuli?" Nada suaranya yang sedikit menyentak mengagetkan wanita itu. Hingga sontak saja wanita itu mengangkat wajahnya. Namun menatapnya dengan mata membulat.
"Kamu? Pria mesum itu?"
Ia tak menyangka kalimat itu yang pertama kali terlontar dari mulut wanita itu.
Apakah ia marah?
Ia justru menarik sudut bibirnya membentuk seringai tipis di wajahnya. Wanita itu tidak asing lagi dimatanya. Baru beberapa jam lalu mereka bertemu di toilet saat ia salah memasuki toilet.
Sekarang wanita itu ada di hadapannya. Apakah ia masih ingin membuat perhitungan dengan wanita itu?
Why not (kenapa tidak)?
"Apa yang kamu lakukan di sini? Mau mengintip lagi?" Gloria masih belum menyadari siapa yang berdiri di hadapannya saat ini. Ia masih tak fokus dengan keadaan.
Sampai Bu Diana akhirnya datang menghampiri. Memberi penjelasan kepada Gloria.
"Rupanya dari tadi kamu tidak memperhatikan ya?" ujar Bu Diana membuat Gloria refleks menoleh kepada wanita tua itu.
"Maaf, Bu." Gloria setengah membungkukkan badannya. Ia sudah mengenal siapa Bu Diana. Wanita tua yang pernah mewawancarainya dahulu saat ia melamar pekerjaan di tempat ini.
"Gloria namamu kan?"
Gloria mengangguk dengan pandangan tertunduk. Sementara Ardo memperhatikan. Dan teman-teman satu timnya sedang berbisik-bisik.
"Kamu tahu tidak siapa yang berdiri di hadapan kamu sekarang ini?"
Gloria menggeleng, masih dengan wajah tertunduk.
"Beliau ini adalah atasan kamu sekarang. Beliau ini adalah put..."
"Cukup." Ardo cepat menyela ucapan Bu Diana sebelum membeberkan lebih jauh tentang siapa dirinya.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mengenal siapa Ardo sebenarnya. Orang-orang yang sudah lama bekerja dengan keluarga Anggara saja yang mengenalnya. Sementara karyawan yang terbilang baru seperti Gloria, tidak mengenalnya.
Gloria pun akhirnya mengangkat pandangan. Menatap tak percaya pria yang ia sebut Pria Mesum di hadapannya itu. Mata hitam legam pria itu menatapnya tajam, membuatnya membeku seketika di tempatnya. Mata itu seakan menyihirnya. Hingga membuat perasaannya tak karuan.
Lalu mendadak ia gugup, was-was, bahkan kini ia merasa takut. Sebab karirnya kini terancam. Terancam di pecat.
Oh sial!
Sungguh sial!
Gloria hanya bisa membatin merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa ia lepas kontrol dengan lidahnya sendiri.
Akan tetapi itu bukan salahnya. Jika ia menyebut pria itu mesum, itu bukan sepenuhnya salahnya seorang. Salah pria itu mengapa malah memasuki toilet wanita.
"Saya rasa kalian perlu mengenal atasan kalian. Beliau ini adalah Pak Ardo. Beliau bukan orang sembarangan. Beliau ini masih kerabat dekatnya Tuan Danu. Jadi, mohon kerjasama kalian dengan baik. Silahkan kembali ke tempat masing-masing," titah Bu Diana yang langsung dipatuhi semua anggota tim.
Mereka kembali menempati kubikel masing-masing dan mulai menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
"Kamu. Siapa yang menyuruhmu duduk?" Namun salah seorang diantara mereka agaknya tidak mendapatkan ijin untuk mengambil duduk.
Ia adalah Gloria. Ardo melarangnya duduk. Sehingga hanya Gloria seorang yang masih berdiri mematung dengan pandangan tertunduk. Tak berani walau hanya sekedar mengintip paras rupawan yang kini tampak mengerikan itu.
"Saya permisi dulu Pak Ardo." Bu Diana pamit meninggalkan ruangan itu.
Gloria masih mematung dengan pandangan tertunduk saat tiba-tiba Ardo malah memintanya ikut bersama ke ruangannya.
"Ikut aku sebentar." Ardo melangkah lebih dulu menuju ke ruangannya yang berdinding kaca. Sehingga dari meja kerjanya, ia bisa melihat jelas deretan kubikel di depan ruangannya itu.
Gloria mengikuti langkah Ardo. Sekilas ia melayangkan pandangannya kepada Reva yang menatapnya iba. Entah hari ini nasib sial apalagi yang menimpanya. Setelah semalam ia mendapat siksaan dari lelaki yang ia sebut suami karena menolak melayani keinginan suaminya itu.
Kini Gloria hanya bisa pasrah mengikuti langkah Ardo. Sampai pria itu mengambil duduk dibalik meja kerjanya. Ia berdiri mematung dengan pandangan tertunduk di depan meja pria itu. Pria berparas rupawan dengan bola mata hitam legam yang senantiasa menatapnya.
Ia bisa merasakan tatapan pria itu terus tertuju kepadanya. Hingga ia tak berani mengangkat pandangannya. Walau sekedar membalas tatapan pria itu. Pria yang ia sebut mesum, namun kini telah menjadi atasannya.
"Siapa namamu?" tanya Ardo menatap Gloria intens. Lalu bola matanya liar menelisik paras yang entah mengapa seolah terdapat magnet di paras itu. Bukan kriterianya tapi terasa memanjakan mata.
"Gloria, Pak." Gloria menjawab dengan perasaan takut. Jika ia dipecat, bagaimana? Harus mencari pekerjaan kemana lagi?
"Kamu sudah tahu siapa aku kan? Jadi aku tidak perlu mengenalkan diriku," ucap Ardo sedikit angkuh.
Gloria mengangguk.
"Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku." Kalimat Ardo yang berintonasi tegas itu membuat Gloria susah payah menelan ludah.
Tegas namun mengancam. Terdengar seperti itu. Sehingga Gloria mulai was-was. Bagaimana kalau ia benar-benar di pecat. Apa yang harus ia lakukan?
"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Saya pikir Bapak hanyalah tamu di perusahaan. Sekali lagi saya minta maaf." Hanya kalimat itu yang terlintas di benaknya. Memang sudah seharusnya ia meminta maaf walaupun ia tak bersalah. Hanya itu yang bisa ia lakukan jika ia tak ingin kehilangan pekerjaannya.
"Walaupun aku hanya tamu, bukankah seharusnya kamu juga memperlakukan aku dengan baik? Apa seperti itu cara kalian menyambut tamu di perusahaan ini?"
Gloria kembali menelan ludah. Tak tahu harus menjawab apa. Dan sekali lagi jawabannya pun masih saja sama.
"Maafkan saya Pak."
Ardo menghela napas sejenak. Lalu menyandarkan punggung di sandaran kursi. Ia memutar-mutar ke kiri dan ke kanan kursi yang sedang ia duduki dengan tatapan terus tertuju kepada Gloria.
Sekilas Gloria mengangkat wajahnya. Tanpa sengaja malah saling bertemu tatap dengan sepasang mata hitam itu. Cepat Gloria menundukkan kembali wajahnya sedalam-dalamnya. Tatapan mata itu begitu menghipnotis.
Berjuta pesona keindahannya terpancar dari sorot mata itu. Membuat siapa saja yang memandangnya silau akan pesona yang dimilikinya. Gloria membuang jauh-jauh pikirannya yang mulai tak masuk akal. Ia mengkhianati hati kecilnya yang sempat mengagumi keindahan yang tersaji di depan matanya saat ini. Baginya keindahan itu hanyalah fatamorgana.
"Buatkan aku kopi." Tiba-tiba Ardo memerintah.
"Sekarang, Pak?" Gloria mengangkat wajahnya, menatap sepasang mata hitam itu, sekedar untuk memastikan perintahnya. Namun lagi-lagi ia kembali menunduk cepat. Sebab sepasang mata itu tidak menatapnya tajam seperti semula. Tatapan mata itu serasa membuatnya membeku di tempatnya. Begitu dingin namun menyilaukan. Bagaikan bongkahan es disinari seberkas cahaya.
Pesona keindahannya terpancar jelas dari sorot mata itu. Dengan seraut paras menawan yang melengkapinya. Sungguh perpaduan yang sempurna.
"Lalu kapan lagi? Kamu mau membuatnya besok?" Ardo sedikit menaikkan volume suaranya hingga membuat Gloria tersentak.
"I-iya Pak. Saya akan buatkan sekarang." Bahkan Gloria sampai tergagap menyahuti perintah atasannya.
Bergegas Gloria keluar dari ruangan Ardo. Ia mengayunkan langkah kakinya cepat menuju pantry. Tak berapa lama ia telah kembali dengan secangkir kopi panas yang masih mengepul.
Secangkir kopi itu ia angsurkan ke depan Ardo. Menaruhnya di meja tepat di depan Ardo. Kepulan asap itu membuat aroma kopi menyeruak dan memenuhi indera penciumannya.
Wangi.
Itu kesan pertama yang didapat Ardo dari aroma kopi itu. Tetapi apakah kopi itu sesuai seperti seleranya?
Mari kita coba.
Ardo meraih cangkir kopi itu dengan slow motion style. Sekilas ia mirip bintang iklan kopi di TV. Dihirupnya dalam-dalam aroma kopi hitam yang menenangkan itu. Lalu ia mulai menyesapnya dengan santai.
Sementara Gloria tak bisa bersikap santai. Ia diserang gugup dan cemas. Bagaimana jika kopi itu tidak sesuai dengan selera atasannya?
Namun ia tak berani bertanya. Ia hanya bisa menunggu reaksi pria itu terhadap kopi buatannya.
Ia masih berdebar-debar seperti sedang mengikuti tes. Harap-harap cemas jikalau kopi buatannya malah akan membawa sengsara untuknya.
Setelah menyesap kopi itu sekali, Ardo tertegun sesaat. Lalu ia mengangkat wajahnya, menatap Gloria dengan seksama. Detik berikutnya seulas senyum tipis terukir di bibirnya.
Apakah senyuman itu sebagai pertanda bahwa kopi buatan Gloria sudah sesuai dengan selera Ardo?
Haruskah Gloria merasa senang?
Apakah ia tak perlu lagi merasa cemas?
Atau mungkin saja senyuman itu sebagai pertanda riwayatnya telah berakhir kali ini?
Oh please.
Beritahu Gloria, apakah arti senyuman itu?
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Manami Slyterin🌹Nami Chan🔱🎻
suka
2022-07-14
0
Zhree
suka..
2022-06-02
1