Mirna, istri Ustad Fariz terbangun dari tidurnya, dia meraba sebelahnya karena merasa kosong tidak ada suaminya.
Di bukalah matanya, dia menatap jam yang masih menunjukkan pukul 01.00, tak biasanya suaminya melaksanakan sholat jam segini, biasanya kalau tidak jam 2 ya jam 3 Ustad Fariz melaksanakan sholat malamnya. Dengan mata yang masih mengantuk, dia berjalan pelan-pelan mencari keberadaan suaminya.
Dia berjalan ke ruangan yang biasanya mereka gunakan untuk tempat shalat, mungkin bisa di bilang mushalla rumah namun hanya ruangan kecil karena ruangan itu sebenarnya kamar yang mereka pergunakan untuk ruang shalat.
Rumah ini bukan milik Ustad Fariz, mereka hanya mengontrak rumah ini saja karena mereka belum mempunyai rumah dan uang mereka masih belum cukup untuk membeli rumah.
Mirna mendengar suara isakan tangis kecil yang tertahan, dia begitu penasaran dengan doa yang dipanjatkan oleh suaminya sampai-sampai menangis seperti itu, karena selama ini dia tidak pernah melihat atau pun mendengar suaminya menangis atau pun mengeluarkan air mata hanya sedikit.
Di pasanglah kedua telinganya baik-baik. Ternyata dalam doa suaminya itu terdapat nama wanita lain, Rheina Az Zahra yang wajah dan senyumnya tidak bisa dia hilangkan dari ingatannya, bahkan setiap dia menutup matanya, wajah dan senyuman wanita itu masih bisa dilihat dengan jelas oleh suaminya.
Mirna menggigit bibirnya menahan tangisnya, dia tidak sanggup melihat suaminya yang ternyata mencintai wanita lain hingga meminta pada sang penciptanya untuk membantunya mengenyahkan bayangan wanita itu dari pikiran dan penglihatannya.
Mirna pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan rasa sesak dan gemuruh di dalam dadanya. Ingin rasanya dia marah dan memaki suaminya, namun melihat air mata suaminya itu dia tidak tega, dia berjanji pada dirinya untuk menjauhkan suaminya dari wanita itu.
Bukankah itu juga kemauan dari suaminya tadi ketika berdoa, jadi dia berpikir untuk mencari jalan keluar agar suaminya menjauh dari wanita itu. Atau juga mereka tidak bisa bertemu lagi.
Namun bagaimana caranya sedangkan dia tidak mengetahui wanita itu, dia hanya tahu nama dari wanita yang disebutkan suaminya di dalam doanya tadi. Lama dia berpikir hingga suara adzan subuh berkumandang.
Dia menunggu suaminya untuk kembali ke kamar, biasanya jika suaminya tidak ke mushalla atau masjid untuk shalat subuh, pasti suaminya itu akan mengajaknya shalat berjamaah. Namun sudah lima menit dia menunggu di kamar tak juga datang suaminya untuk ganti pakaian atau mengajaknya shalat bersama.
Jika Ustad Fariz akan shalat di Mushalla atau Masjid, pasti dia sebelumnya berganti baju koko dan sarung di kamar, nah ini ganti baju pun tidak dan datang ke dalam kamar pun tidak, padahal sudah lama sejak dia melaksanakan shalat malam di ruangan tadi.
Dengan perasaan bertanya-tanya Mirna menghampiri suaminya di ruangan tempat dia melaksanakan shalat tadi. Ternyata Ustad Fariz sedang tertidur dengan nyenyaknya di atas sajadah. Dibangunkannya suaminya itu.
"Mas... mas.. bangun, sudah adzan subuh," Mirna menggoyang-goyangkan badan suaminya agar terbangun dari tidurnya.
Ustad Fariz merasa tidurnya terganggu, dibukanya matanya pelan-pelan karena rasa kantuknya masih mendera. Dia baru tertidur setengah jam yang lalu, pantas saja rasa kantuk itu menguasainya hingga tidak terdengar adzan subuh di telinganya.
"Mmm... ada apa?" dengan suara serak khas orang bangun tidur dia bertanya.
"Udah adzan subuh Mas... kamu gak ke Masjid?" Mirna bertanya dan duduk di depan suaminya.
"Shalat di rumah saja. Apa kamu sudah shalat?" Ustad Fariz berdiri hendak berjalan ke tempat wudhu.
"Belum, aku nunggu kamu," Mirna ikut berdiri.
"Ya sudah kita shalat bersama, aku mau ambil wudhu dulu," Ustad Fariz berjalan ke luar ruangan tersebut menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Setelah itu bergantian dengan Mirna yang mengambil air wudhu.
Kemudian mereka melaksanakan shalat subuh berjamaah yang tentu saja Ustad Fariz yang menjadi imamnya. Setelah mereka selesai melaksanakan shalat subuh, Ustad Fariz tidur karena rasa kantuknya yang sudah tidak bisa ditahannya.
Tidak biasanya dia tertidur setelah sholat subuh, biasanya dia mengaji sesudah shalat subuh. Namun kini dia tertidur karena semalam dia tidak bisa tidur. Mirna merasa kasihan dengan suaminya di samping rasa marahnya karena wanita yang hadir di hati dan pikiran suaminya.
Mirna berpikir sangat keras, dia benar-benar memutar otaknya agar dia bisa menemukan solusi untuk menjauhkan suaminya dari wanita tersebut. Hingga dia tersadar karena mendengar dering ponselnya, dilihatnya ponselnya yang ada di tangannya. Ada nama pamannya di sana.
Mirna baru sadar jika pamannya mengabdi pada sebuah pesantren di tempat tinggalnya. Dengan semangat Mirna menekan tombol hijau dan menjawab salam dari seberang sana.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
"Mirna bagaimana kabarmu?"
"Baik Paman, bagaimana kabar Paman dan keluarga di sana?"
"Alhamdulillah baik juga, kamu kapan main kesini dengan suamimu? Maaf Paman tidak bisa hadir saat kamu menikah. Ada acara besar di Pondok Pesantren waktu itu bertepatan dengan kamu menikah. Maafkan Paman ya, Paman tidak bisa meninggalkan acara tersebut."
"Enggeh Paman, tidak apa-apa. Oiya Paman, apa di Pondok Pesantren ada lowongan kerja untuk suami Mirna?"
"Apa suamimu butuh pekerjaan Mirna? Bukankah dia seorang Ustad?"
"Enggeh Paman, barangkali Paman bisa bantu."
"Baiklah, nanti Paman tanyakan dulu."
"Baiklah saya tunggu kabar baiknya Paman."
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
Tut.... tut... tut...
Setelah sambungan telepon terputus, Mirna melakukan rutinitasnya untuk membersihkan rumah dan memasak.
Satu jam kemudian ada suara notifikasi pesan, di bukanya pesan masuk itu, sudut bibir Mirna terangkat membaca pesan tersebut.
Ternyata pesan itu dari Pamannya yang mengatakan bahwa Pondok Pesantren tempat mengabdi Paman Mirna membutuhkan seorang Ustad dan kalau bisa mereka menginginkan untuk segera berada di sana. Mereka juga menyediakan tempat tinggal di sana untuk Ustad Fariz dan Mirna.
Dengan perasaan bahagia yang begitu membuncah, Mirna membangunkan suaminya.
"Mas... Mas... ayo bangun, aku ada berita penting," Mirna menggoyang-goyangkan badan Ustad Fariz agar suaminya itu bangun.
"Ada apa sih? Aku masih ngantuk," Ustad Fariz kembali memejamkan matanya dan menutup telinganya dengan bantal.
"Mas... ayolah.... kamu di minta mengajar di Pondok Pesantren tempat Pamanku mengabdi. Kita disuruh secepatnya ke sana Mas. Kita berangkat besok ya?" Mirna menjelaskan dengan semangat namun suaminya tidak mendengarkannya karena dia sudah terlelap kembali.
"Mas... Mas.... ya udah aku kemasi barang-barang kita sekarang," Mirna beranjak dari tempat tidur dan mulai mengemasi pakaiannya yang ada di lemari. Diambilnya koper yang ada di atas lemari pakaiannya. Setelah itu dia memasukkan pakaian-pakaian mereka ke dalam koper tersebut.
08.00 am
Ustad Fariz terbangun dari tidurnya, dia keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Setelah dia keluar dari kamar mandi, dia dihadang oleh Mirna,
"Mas aku mau bicara," Mirna tidak memberi celah untuk Ustad Fariz melewatinya.
"Nanti saja aku mau shalat dhuha dulu," Ustad Fariz mencoba melangkah namun tetap dihalangi oleh Mirna.
"Janji dulu akan menuruti kemauanku," Mirna memaksa Ustad Fariz untuk berjanji.
"Baiklah, sekarang kamu minggir dulu," Ustad Fariz berjalan meninggalkan Mirna setelah badan Mirna menyingkir dari hadapannya.
Setelah Ustad Fariz selesai melaksanakan shalat dhuha, dia masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil kunci motor, dia akan bersiap mengajar mengaji di TPQ nanti jam 10.00.
Namun, pandangan matanya tertuju pada koper pada saat dia mengambil kunci motor di meja rias.
"Mirna, itu koper buat apa?" Ustad Fariz keluar kamar menghampiri Mirna dan bertanya padanya.
"Kan tadi udah aku bilang Mas, Pondok Pesantren tempat Pamanku mengabdi meminta Mas supaya mengajar di sana dan kita disuruh secepatnya ke sana," Mirna berbicara dengan semangatnya dan senyuman yang merekah karena kebahagiaannya.
"Kenapa kamu memutuskan sendiri Mirna? Kenapa kamu tidak menanyakan dulu pada ku?" Ustad Fariz duduk dengan lemas.
"Ayolah Mas, bukannya kamu tadi sudah janji akan menuruti keinginanku?" Mirna merajuk agar suaminya menyetujuinya.
"Tapi bagaimana dengan pekerjaanku disini? Tidak enak jika meninggalkan mereka yang masih butuh bimbinganku," Ustad Fariz mencoba menjelaskan pada istrinya.
" Aku tidak mau tau Mas, pokoknya besok kita berangkat," Mirna bersikap tegas agar suaminya tidak bisa membantahnya.
"Aku tidak mau. Aku tidak bisa. Aku tidak enak juga dengan Ustad Yadi yang sudah banyak membantuku," Ustad Fariz beranjak dari duduknya hendak berjalan, namun baru akan melangkah dia berhenti kembali karena mendengar ucapan istrinya.
"Tidak enak sama Ustad Yadi atau tidak enak karena tidak bisa ketemu wanita itu?" Mirna bertanya dengan nada menyindir namun bersuara keras hingga terdengar begitu jelas oleh Ustad Fariz.
"Maksud kamu apa?" Ustad Fariz berbalik dan menatap lekat penuh amarah pada istrinya, namun suaranya sama sekali tidak membentaknya.
"Aku tau di dalam hati kamu ada wanita lain," Mirna Menatap balik mata suaminya.
" Ngomong apa kamu? Apa karena aku tidak mau berangkat jadi kamu mengatakan ini semua?" Ustad Fariz menyanggah tuduhan Mirna padanya.
"Aku tau Mas, kamu tidak usah berkelit lagi. Jika benar dalam hati kamu tidak ada wanita lain, buktikan padaku, turuti kemauanku untuk pergi dari kota ini. Kita hidup di kota lain. Bagaimana?" Mirna menantang suaminya dengan pilihannya.
Ustad Fariz kembali terduduk. Dia tidak menyangka bahwa istrinya bisa melakukan ini padanya. Padahal jelas-jelas dia tidak pernah berselingkuh dengan wanita lain, namun memang benar ada nama wanita lain di hatinya yang tidak bisa dienyahkan meskipun dia sudah berusaha keras untuk menghapusnya.
Dan sudah bertahun-tahun itu, namun rasa itu semakin kuat meskipun mereka tidak pernah bertemu.
"Bagaimana Mas? Aku ini istrimu Mas, tidak bisakah kamu melihatku yang ingin memperjuangkan pernikahan kita? Aku mohon Mas...," Mirna mengiba dengan raut wajah sedihnya.
Sepertinya ini jalan yang kau tunjukkan Ya Allah. Mungkin ini yang harus aku lakukan, menjauh darinya, agar perasaan ini bisa menghilang. Bismillah....
"Aku bicarakan dulu pada Ustad Yadi agar ada yang bisa secepatnya menggantikan ku mengajar mereka. Assalamu'alaikum," Ustad Fariz beranjak dari duduknya dan keluar dari rumahnya dengan mengendari motornya.
"Wa'alaikummussalam," Mirna tersenyum puas mendengar suaminya menurutinya.
Disepanjang jalan menuju TPQ, Ustad Fariz memikirkan semuanya, hingga pada suatu keputusan bahwa dia akan mencoba untuk pergi dari kota ini dan mencoba melupakan cinta pertamanya yang namanya masih melekat begitu kuat di hatinya. Dia hanya berharap akan bisa melupakannya agar dia tidak tersiksa dengan perasaannya itu.
Sesampainya di TPQ Ustad Fariz menemui Ustad Yadi terlebih dahulu. Dia mengutarakan keputusannya untuk menerima pekerjaan di Pondok Pesantren di kota lain dimana tempat itu merupakan tempat Paman Mirna mengabdi. Dan Ustad Fariz mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada Ustad Yadi untuk semua dukungan dan kebaikannya kepadanya selama ini.
Ustad Yadi tidak bisa menahan Ustad Fariz karena memang dia tidak berhak menghalanginya dan sepertinya keputusan Ustad Fariz memang lebih baik, jadi Ustad Yadi hanya berpesan agar mereka tetap berhubungan baik, tidak putus komunikasi dan berdoa agar Ustad Fariz diberi kebahagiaan dan yang terbaik dalam hidupnya.
Setelah mengajar, Ustad Fariz pulang ke rumahnya dan memberitahukan pada istrinya jika mereka bisa pergi kapan pun dia mau. Mirna melonjak kegirangan dan memeluk tubuh suaminya. Dia sangat bahagia karena suaminya lebih memilihnya dari pada wanita itu.
Keesokan paginya mereka berangkat dengan menggunakan kereta api. Mereka tidak mempunyai banyak barang, karena hampir semua barang milik orang yang rumahnya mereka tempati.
Mereka hanya membawa baju-baju mereka dan motor mereka dikirim lewat ekspedisi. Ustad Fariz meninggalkan kota itu dengan perasaan yang hampa, seperti ada yang kosong di hatinya.
Sebenarnya dia tidak rela meninggalkan kota yang memberikan dia banyak kenangan dan kebahagiaan juga kesedihan, namun dia menemukan cintanya di kota itu. Tapi apa daya, dia tidak bisa melawan takdir. Mungkin ini lah jalan yang harus dia lalui untuk melupakannya, cinta pertamanya, Rheina Az Zahra.
Sore menjelang malam mereka sampai di kota tujuan mereka. Paman Marni, Pak Ratmo menjemput mereka di stasiun. Kemudian sesampainya di Pondok Pesantren Al-Mukmin, mereka dibawa Pak Ratmo menuju Ndalem, rumah Kyai Farhan.
Mereka disambut oleh Kyai Farhan dan Umi Sarifah. Mereka hanya tinggal berdua di Ndalem dan umur mereka sudah berumur. Dulu mereka mempunyai anak laki-laki, namun meninggal di usia 15 tahun karena kecelakaan.
Maka dari itu mereka sangat senang hidup di antara para santri yang sudah seperti anak mereka sendiri.
Ustad Fariz tinggal di rumah yang berada tidak jauh dari Ndalem dan masih di area Pondok Pesantren tersebut.
Hari demi hari dilalui Ustad Fariz dengan biasa, tidak ada yang spesial. Memang hatinya lebih tenang dan nyaman berada di tempat ini, namun kadang kala masih terlintas wajah dan senyum manis Rhea di pikirannya.
Bahkan kadang dia ingat saat terakhir mereka bertemu, di saat Rhea bertanya tentang dadanya yang terasa sakit bila melihatnya, jantungnya yang berdebar sangat kencang hingga dia takut ada masalah dengan jantungnya namun dia merasa senang dan selalu tersenyum jika bertemu dengannya.
Rhea Az Zahra, bagaimana kabarmu? Apa kamu sekarang lebih baik? Apa kamu sudah tidak sedih lagi? Ah, Zahra ku... bagaimana aku bisa melupakanmu jika kamu terus terbayang di pelupuk mataku. Astaghfirullahaladzim ...., batin Ustad Fariz tersiksa karena perasaan cintanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Hajja Uni Haerunnisang
8
2022-11-19
0
Al fatih
ikut nyesekkk... karna bagitu juga kisah cintaku sendiri tak pernah berakhir indah. 😭😭😭
2022-07-05
0
Ranran Miura
Astaghfirullah.. nyebut, Tad 🙂
2022-05-12
0