Sabtu ini pengajian diadakan di Masjid Nurul Iman dekat rumah Rhea. Memang sudah biasa setiap dua minggu sekali diadakan pengajian di Masjid tersebut.
Kali ini pembicaranya adalah Ustad Fariz karena menggantikan Ustad Yadi yang biasanya menjadi pembicara di Masjid tersebut pada tiap acara pengajian.
Tak hanya semua warga sekitar menghadiri pengajian di masjid tersebut, bahkan luar desa pun banyak yang selalu hadir dalam pengajian tersebut.
Ustad Fariz membawakan semua materi yang telah dia siapkan dengan baik. Pembawaannya yang tenang mampu membuat suasana menjadi nyaman.
Sikapnya yang sabar membuat jamaah tidak sungkan untuk banyak bertanya dan jawaban yang diberikannya pun mampu membuat mereka puas bahkan tertawa karena diselingi guyonan-guyonan dari sang Ustad yang mampu menjadi obat penawar kantuk membuat mereka tetap tertarik untuk mendengarkan.
Dan nilai plusnya lagi yaitu parasnya yang tampan dan usianya yang masih sangat muda mampu menghipnotis mereka, terutama para kaum hawa. Mata mereka enggan beralih dari sang Ustad.
Pengajian pun berakhir, para jamaah berbondong-bondong meninggalkan area masjid karena hari sudah menjelang sore.
Pengajian diadakan siang hari setelah shalat duhur bersama-sama di Masjid tersebut. Pak Adrian mempersilahkan Ustad Fariz dan panitia untuk makan di rumahnya.
Pak Adrian merupakan salah satu takmir di Masjid tersebut, dan tentu saja makanan yang mereka makan adalah masakan istri Pak Adrian yaitu Bu Ratih, Ibunda dari Rhea, pemilik catering yang terkenal di daerah tersebut.
Namun untuk makanan dan konsumsi di setiap pengajian, Bu Ratih tidak menerima uang sepeserpun, karena beliau juga ingin menjadi donatur seperti suaminya yang menjadi donatur tetap di Masjid Nurul Iman itu.
Semua panitia meninggalkan rumah Pak Adrian setelah makan. Namun Ustad Fariz masih tinggal di sana karena Pak Adrian yang akan mengantarkannya pulang.
Pak Adrian meninggalkan Ustad Fariz sebentar karena beliau sedang memberi pengarahan kepada pegawai wedding organizer-nya untuk acara pernikahan yang diurusi oleh wedding organizer milik Pak Adrian minggu depan.
Ustad Fariz masih menunggu Pak Adrian di meja makan dan Bu Ratih yang tadinya menemani Ustad Fariz ngobrol, pamit sebentar ke dapur untuk membungkuskan makanan untuk dibawa pulang Ustad Fariz.
"Assalamu'alaikum Ayah, Ibu... Rhea pulang....," Rhea masuk ke dalam rumah dan berlalu menuju kulkas untuk mengambil minuman dingin yang bisa meredakan kekeringan pada tenggorokannya.
Kebetulan sekali kulkas yang berisi minuman dan buah berada di ruang makan, sedangkan kulkas yang berada di dapur yaitu kulkas yang berisi keperluan dapur, seperti bahan makanan, sayuran, daging, dan sebagainya.
Rhea mengambil air putih dingin dan dituangkan ke dalam gelas, kemudian dia minum sambil berdiri di depan kulkas.
"Hmmmm..... segarnyaaaaa....," Rhea mengelus tenggorokannya yang sudah terbebas dari kekeringan.
Kemudian dia meletakkan gelas itu pada meja makan dan dia duduk di kursi meja makan tanpa melihat sekitar.
"Wa'alaikumussalam... ," Bu Ratih tergopoh-gopoh berlari kecil dari dalam dapur.
Setelah berada di ruang makan dan melihat Rhea duduk sambil melepas jaketnya, Bu Ratih mendadak berhenti,
"Loh Rhea udah pulang? Kok diam aja sih dengar ada tamu yang ngucapin salam?"
"Tamu? Mana ada. Orang Rhea barusan datang gak ada orang kok di depan," jawab Rhea santai sambil melepaskan ikatan rambutnya.
"Owalah, berarti kamu yang salam tadi?" Bu Ratih memberikan telapak tangannya pada Rhea untuk dicium punggung tangannya.
"Hehehe.... Ibu masa' gak tau sih suara imut nan seksi milik anak sendiri?" kenarsisan Rhea mulai ditampilkan seperti biasanya jika dia berada diantara orang-orang yang dia kenal.
Namun, jika dia belum kenal, pasti dia akan bersikap cuek dan terkesan tidak ramah pada orang lain.
"Huffftt capek banget aku tuh Buuuu....," ucap Rhea sambil meregangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan.
Pada saat dia menghadap ke arah kiri, matanya beradu pandang dengan mata Ustad Fariz. Rhea mengerjap-ngerjapkan matanya karena dia kaget dan bingung, siapa gerangan orang yang beradu pandang dengannya saat ini.
Ganteng banget, sedap dipandang mata. Siapa sih? Kok ada disini? Apa tamunya Ayah atau Ibu ya? Tapi kok di meja makan?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Rhea yang masih saja beradu pandang dengan Ustad Fariz.
Begitupula dengan Ustad Fariz yang terpesona oleh kecantikan dan tingkah laku alami seorang gadis yang masih berseragam SMP di depannya ini.
Masya Allah indah nian ciptaan Mu, tentu saja kalimat itu di ucapkan Ustad Fariz di dalam hati.
Tidak biasanya dia terpanah seperti ini ketika melihat lawan jenisnya. Biasanya dia menundukkan pandangannya atau menghindari tatapan mata langsung seperti ini pada lawan jenisnya.
Masih dalam posisi menolehkan tubuhnya ke kiri, Bu Ratih berdehem untuk menyadarkan Rhea.
Bu Ratih sendiri lupa jika masih ada Ustad Fariz disitu. Dengan santainya dia bercakap-cakap dengan Rhea seperti tidak ada orang lain.
"Ehem... aduh sampai lupa kalau masih ada Ustad Fariz disini," Bu Ratih menepuk dahinya berkali-kali.
Rhea mengembalikan posisi badannya dan duduk menghadap ke lain arah. Dia malu sudah bertingkah seperti itu di depan orang asing.
Oh jadi namanya Ustad Fariz. Wait, apa? Ustad? Ya iyalah pakai baju koko lengkap kayak gitu. Hah.... malu dong kelakuan konyol aku di depan seorang Ustad kayak gitu. Mana Ustad nya ganteng lagi. Aish... malu... malu... malu...., batin Rhea memberontak.
Ustad Fariz mengatupkan bibirnya, menahan senyumnya melihat kelakuan gadis di depannya ini. Sekarang dia sepertinya sedang malu, pipinya bersemu merah dan tidak berani menghadap ke arahnya.
Sungguh kali ini dia merasa terhibur dengan kelakuan seorang gadis yang baru ditemuinya. Memang banyak sekali dari kaum hawa yang mendekatinya dan menaruh perhatian padanya, namun sungguh dia tidak suka dengan gadis yang seperti itu.
Harusnya mereka menghargai dirinya sendiri dengan tidak mendekati seorang laki-laki atau bahkan terlalu agresif dengan lawan jenisnya yang bukan mahramnya.
Tetapi gadis di depannya ini berbeda, kecantikannya sangat natural dan tingkahnya sangat alami, dan anehnya itu berhasil menarik perhatiannya.
"Rhea, kenalin itu Ustad Fariz tadi habis mengisi pengajian di Masjid Nurul Iman gantiin Ustad Yadi," Bu Ratih memperkenalkan Ustad Fariz pada Rhea.
Rhea menoleh dan mengangguk sambil tersenyum pada Ustad Fariz. Dia bingung harus berkenalan seperti apa karena yang di hadapannya adalah seorang Ustad, apakah dia harus menjabat tangannya ataukah memberi salam. Ah... sungguh hanya masalah memperkenalkan diri saja bisa membuat dirinya menjadi dilema.
Ustad Fariz tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban anggukan dari Rhea. Ustad Fariz pun bingung harus menyapa dan memperkenalkan dirinya bagaimana pada Rhea, karena reaksi Rhea hanya tersenyum dan mengangguk setelah Bu Ratih memperkenalkannya.
"Kok cuma diem-dieman? Gak mau saling sapa gitu? Dih pada malu-malu," Bu Ratih terkekeh menggoda mereka.
"Hah?" Rhea menoleh pada Ibunya dan dia bersikap canggung bercampur malu, bingung harus apa ketika Ibunya berkata seperti itu.
"Ustad, kenalin ini Rhea anak saya," Bu Ratih memperkenalkan Rhea pada Ustad Fariz.
Mereka berdua tampak bingung harus apa, sepertinya Bu Ratih benar-benar menggoda mereka.
Padahal cuma perkara kenalan aja ribetnya minta ampun, Rhea membatin gelisah.
Ya Allah, aku harus bagaimana, kenapa bisa secanggung ini? Hanya menghadapi seorang gadis SMP aja lidahku kelu, gak bisa ngomong apa-apa. Kenapa begini? Ustad Fariz pun juga membatin.
"Aduh... kenapa jadi diem-dieman gini sih? Ngobrol santai aja, anggap aja keluarga sendiri biar akrab. Ibu tinggal ke dapur dulu ya," Bu Ratih berlalu pergi menuju dapur tanpa menunggu jawaban dari mereka.
"Rhea kelas berapa?" Ustad Fariz memberanikan diri membuka percakapan untuk mengenyahkan kecanggungan mereka.
"Kelas 3 SMP Ustad," Rhea menjawab dengan menunduk, dia masih merasa malu dengan tingkahnya tadi.
Apa-apaan ini, masa' kesan pertamaku kayak gini? Ah.... maluuuuuuuuu....., batin Rhea menjerit.
"Kok liat bawah terus, ada kecoa? Atau ada duit jatuh?" Ustad Fariz mulai berani menggoda Rhea.
Baru kali ini dia berani menggoda seorang gadis yang umurnya bisa dikatakan cocok sebagai adiknya.
Ah, mungkin dia sudah seperti adikku sendiri, jadi aku bisa gampang berinteraksi dengannya, batin Ustad Fariz yang juga heran dengan dirinya yang tiba-tiba bisa menggoda gadis yang ada di depannya ini dengan gampangnya dia menatapnya dan tersenyum padanya sedari tadi, tidak seperti dirinya sendiri yang hampir tidak pernah berinteraksi seperti itu dengan seorang gadis manapun.
"Eh...," Rhea mengangkat kepalanya menatap Ustad Fariz, kaget atas ucapannya yang entah itu guyonan atau sindiran karena dia tidak mau menatapnya ketika berbicara.
"Kamu sekolah dimana kok jam segini baru pulang?" tanya Ustad Fariz memecah kecanggungan Rhea.
"Di SMPN 3. Tadi sepulang sekolah lanjut pelajaran tambahan, soalnya udah kelas 3, jadi persiapan buat ujian," kini Rhea menjawabnya dengan sedikit santai dan menatap Ustad Fariz.
Ustad Fariz tersenyum melihat Rhea yang kini sudah sedikit santai berbicara dengannya, tidak secanggung tadi. Memang pembawaan Ustad Fariz yang begitu santai, humoris dan tentunya mempesona bisa menghempas kecanggungan mereka, dan itu pun diakui Rhea dalam hatinya.
Obrolan demi obrolan berlangsung dengan candaan dan akhirnya mereka dengan singkat sudah begitu akrab. Tawa mereka terdengar di semua ruangan di dalam rumah.
Bu Ratih tersenyum mendengar tawa mereka. Hingga akhirnya tawa mereka berhenti ketika Pak Adrian datang dan Bu Ratih keluar dari arah dapur dengan membawa beberapa bungkusan makanan yang diserahkan pada Ustad Fariz untuk dibawanya pulang.
"Ini Ustad, dimakan ya nanti, semoga cocok di lidah Ustad," Bu Ratih menyerahkan beberapa bungkusan makanan tersebut pada Ustad Fariz.
"Alhamdulillah.... Ibu gak usah repot-repot, tadi saya sudah makan disini banyak sekali, ini saja sudah kenyang sekali, habisnya masakan Ibu enak sekali, sampai gak terasa saya makan banyak dan kekenyangan," Ustad Fariz menerima bungkusan tersebut merasa tidak enak merepotkan sedari tadi.
"Gapapa Ustad, gak ngerepotin kok, makanan masih banyak di dalam. Lagian Ibu senang Ustad mau mampir ke rumah kami.
Kalau berkenan Ustad Fariz bisa sering-sering mampir kesini ya, main-main gitu, Ibu kan udah anggap Ustad seperti anak sendiri," Bu Ratih memegang pundak Ustad Fariz dan tersenyum seperti berbicara pada anaknya sendiri.
Ustad Fariz menunduk, dia terharu, matanya berkaca-kaca, sudah lama sekali dia tidak merasakan seperti ini, perhatian dan kasih sayang seorang Ibu yang amat sangat dia rindukan.
"Loh Ustad kenapa?" Bu Ratih merasa bersalah, dia takut ada perkataannya yang salah satau menyinggung perasaan Ustad Fariz.
"Tidak apa-apa Bu, saya hanya merasa bahagia," Ustad Fariz menatap Bu Ratih dan tersenyum padanya.
"Bahagia? Kenapa? Tapi kok kayak sedih gitu, mau nangis?" Bu Ratih memberondongnya dengan beberapa pertanyaan karena merasa gelisah.
"Tidak apa-apa Bu, saya cuma kangen sama Ibu saya, rasanya sudah lama sekali saya tidak merasakan perhatian seorang Ibu seperti ini. Terima kasih Bu....," Ustad Fariz kembali tersenyum hangat pada Bu Ratih.
"Owalah... Ibu kirain kenapa. Lah kok bisa kangen sampai nangis gitu? Jangan-jangan Ustad gak pernah sowan ke rumah ya karena sibuk?" tuduh Bu Ratih yang tidak tahu tentang kehidupan Ustad Fariz.
Ustad Fariz kembali tersenyum dan berkata, "Kedua orang tua saya sudah meninggal sejak saya balita Bu, setelah itu saya diasuh oleh saudara dari Ibu saya dan ketika menginjak usia SD saya masuk pondok pesantren dan baru keluar kemarin-kemarin ini," Ustad Fariz menceritakan kehidupannya pada keluarga yang ada di depannya ini. Entah mengapa dia begitu nyaman, sehingga dia tidak sungkan menceritakan kehidupan pribadinya pada mereka.
Padahal selama ini dia tidak suka memberitahukan kisah kehidupannya pada orang lain, terkecuali sahabatnya di Pondok dan Kyai yang mempunyai Pondok Pesantren tempat dia mencari ilmu selama ini. Namun ada beberapa Ustad juga yang mengetahuinya, hanya beberapa, tidak semuanya.
"Maafkan Ibu ya nak Ustad, Ibu gak tau. Sudah jangan sedih, Ibu kan sudah anggap nak Ustad ini sebagai keluarga kita, jadi anggap aja Ibu seperti Ibu sendiri, dan sering-seringlah main kesini, kita semua pasti senang. Iya kan Yah?" Bu Ratih meminta pendapat Pak Adrian dan diangguki oleh beliau.
"Iya, sering-sering aja main kesini, tiap hari juga boleh, kita malah seneng," Pak Adrian tersenyum menimpali perkataan istrinya.
"Terima kasih Pak, Bu, saya senang sekali berada di tengah-tengah keluarga hangat seperti kalian. Dan terima kasih juga Bu atas makanannya, sudah makan banyak disini masih saja dibungkuskan buat dibawa pulang. Gak tau diri banget ya Bu?" canda Ustad Fariz memecah keadaan yang sedih terbawa suasana.
"Hahaha... gapapa mumpung ada, kalau gak ada, apa yang mau Ibu bawain? Masa' Rhea yang mau Ibu bawain?" canda Ibu menimpali candaan dari Ustad Fariz.
Pak Adrian dan Ustad Fariz tertawa mendengar candaan Ibu, kecuali Rhea yang tiba-tiba cemberut mendengar candaan Ibunya.
"Ibu mah seneng kalau anaknya gak di rumah," Rhea cemberut, dia tidak terima atas candaan Ibunya.
Padahal dalam hati Ustad Fariz mengatakan, Tidak apa-apa nih Bu saya bawa pulang Rhea nya? Kalau boleh saya jadikan istri juga. Astaghfirullahal 'adziim.... apa yang aku pikirkan? tanpa sadar kalimat-kalimat itu terlontar begitu saja di benak Ustad Fariz dan tentu saja itu hanya diucapkan di batinnya saja.
"Kan ada Rendi di rumah," jawab enteng Bu Ratih menggoda putrinya yang merajuk ini.
"Tuh kan... Ibu mah gitu, apa-apa Rendi," bibir Rhea mengerucut, sebal atas perkataan Ibunya.
"Hahaha... becanda sayang, ini loh bibirnya mesti maju kalau lagi ngambek," Ibu mencubit bibir Rhea yang mengerucut itu.
Dan itu mengundang tawa bagi Pak Adrian dan Ustad Fariz.
Kemudian datanglah seorang anak laki-laki kecil berumur 9 tahun.
"Assalamu'alaikum....," salam terlontar dari anak lelaki kecil itu.
"Wa'alaikumussalam.... sini nak kenalan sama Ustad dulu," Pak Adrian melambaikan tangannya ke arah anak itu agar mendekat padanya.
"Ustad, ini Rendi adiknya Rhea. Kami cuma punya dua anak, dan mereka ini anak-anak kami," Pak Adrian memperkenalkan Rendi pada Ustad Fariz.
Rendi pun mendekat dan mencium punggung tangan Ustad Fariz sebagai tanda hormat. Ustad Faris tersenyum dan mengelus puncak kepala Rendi ketika tangannya sudah terlepas dari tangan Rendi.
"Pak, Bu saya mohon ijin pulang dulu, sudah terlalu lama saya disini," pamit Ustad Fariz untuk undur diri.
"Kok buru-buru sih nak? Disini aja dulu sekalian makan malam, itu biar bungkusannya Ibu simpan dulu aja, nanti kalau mau pulang baru dibawa lagi," cegah Bu Ratih menahan agar Ustad Fariz lebih lama lagi berada disitu.
"Enggak enak Bu, nanti tambah merepotkan Ibu lagi. Untuk makan malam nanti kan ada ini bisa di makan nanti," Ustad Fariz mengangkat ke atas bungkusan makanan dari Bu Ratih tadi untuk memperlihatkannya pada semua kalau dia mempunyai makanan untuk nanti malam.
"Ya sudah, Ibu gak bisa melarang, tapi Ibu harap nak Ustad mau sering-sering main kesini meskipun tidak ada keperluan," Bu Ratih tersenyum hangat pada Ustad Fariz.
Ustad Fariz pun tersenyum, kemudian dia menangkupkan tangannya di depan dada. "Assalamualaikum....," Ustad Fariz pamit pada semuanya.
"Wa'alaikumussalam....," jawab serentak semua orang yang berada disitu.
"Bu, Ayah antar Ustad Fariz pulang dulu ya. Assalamu'alaikum....," pamit Pak Adrian pada istrinya.
"Wa'alaikumussalam... enggeh Yah, hati-hati di jalan. Oh iya Yah nanti tolong mintakan nomer ponselnya Ustad Fariz, barang kali kita ada perlu," Bu Ratih mencium punggung tangan suaminya sebelum Pak Adrian pergi. Dan Pak Adrian pun mengangguk dan mengacungkan jempolnya sebagai jawaban.
Hari berlalu, dan kini Ustad Fariz sedang berada di rumah Pak Adrian karena dia diminta Pak Adrian mengisi acara pernikahan yang ditangani oleh Wedding Organizer milik Pak Adrian.
Ustad Fariz sudah ada di rumah Pak Adrian sedari pagi, karena acaranya siang jadi Pak Adrian meminta Ustad Fariz untuk ke rumahnya pagi hari agar siangnya mereka bisa datang bersama ke tempat acara tersebut.
Kebetulan karena ini hari minggu, jadi Rhea berada di rumah sedari pagi tadi. Ustad Fariz dan Rhea semakin akrab, mereka sedari pagi mengobrol dan tentu saja Rhea menganggap Ustad Fariz seperti kakaknya sendiri. Anehnya dia tidak pernah seakrab ini dengan cowok yang umurnya di atas dia, bahkan dengan teman seumuran saja dia hanya beberapa saja yang akrab.
Setelah hari itu, Ustad Fariz sering datang dengan alasan mampir karena sedang berada di daerah tersebut. Kadang juga memang berniat untuk main ke rumah karena merindukan masakan Bu Ratih yang sudah dianggap sebagai Ibunya sendiri.
Dan Bu Ratih pun sudah menganggap Ustad Fariz seperti anak sendiri, sehingga Ustad Fariz memanggil Bu Ratih dengan sebutan Ibu. Dengan begitu Ustad Fariz semakin akrab dan dekat dengan keluarga Pak Adrian. Tak terkecuali dengan Rhea, kini mereka sudah tidak malu-malu lagi bercanda bahkan mereka sering menghubungi lewat telepon.
Minggu ini diadakan acara pengajian di rumah saudara Rhea yang ada di luar kota. Ibu, Ayah dan Rendi sudah berangkat kemarin sore.
Rhea tidak bisa berangkat bersama mereka karena kebetulan ada acara yang wajib diikutinya di sekolah. Karena Ustad Fariz juga menjadi pengisi acara di pengajian tersebut, jadi Rhea berangkat bersama Ustad Fariz menggunakan motornya. Berjam-jam mereka berboncengan motor, nampaknya memang sengaja motor di jalankan oleh Ustad Fariz dengan santai supaya mereka bisa mengobrol lama sambil berkendara.
Sesampainya di sana, Rhea diberondong dengan banyak pertanyaan oleh saudara-saudara dari Ibunya. Mereka seolah-olah melindungi Rhea, namun mereka secara tidak langsung tidak menyetujui Rhea jika berhubungan dengan Ustad Fariz..Rhea gadis SMP yang masih polos dan lugu heran dengan saudara-saudara dari Ibunya yang melarangnya terlalu dekat dengan Ustad Fariz.
Samar-samar dia mendengarkan percakapan mereka yang membicarakan latar belakang Ustad Fariz dan mereka bilang pada Ayah dan Ibu jika sepertinya Ustad Fariz menyukai Rhea, mereka tidak menyetujuinya karena memang latar belakang Ustad Fariz yang seorang yatim piatu dan tidak punya apa-apa. Ibu dan Ayah hanya diam, karena mereka tidak tahu kebenarannya, apa memang Ustad Fariz benar-benar menyukai Rhea atau cuma menganggap sebagai seorang adik saja.
Dan acara pun berakhir di malam hari, namun Rhea tidak pulang bersama Ustad Fariz karena dia pulang bersama orang tuanya.
Beberapa hari setelah acara tersebut, Ustad Fariz jarang ke rumah Rhea. Hanya pada saat Pak Adrian atau Bu Ratih saja yang menyuruhnya datang maka dia akan datang, namun setelah urusan selesai dia akan pulang, dengan alasan sibuk.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang sering sekali datang ke rumah meskipun tidak disuruh dan di sana pun selalu lama, malah kadang jika sudah terlalu malam dia akan menginap di sana dan pulang waktu setelah shalat subuh di masjid.
Rhea dan orang tuanya heran dengan perubahan sikap Ustad Fariz. Tadinya Ayah dan Ibu menduga jika Ustad Fariz mendengar obrolan mereka dengan saudara-saudaranya di acara pengajian yang bertempat di rumah saudaranya waktu itu, namun segera ditepisnya pikiran tersebut karena Rhea menyuruh orang tuanya untuk berpikir positif saja.
"Yah apa mungkin Ustad Fariz mendengar obrolan kita dengan saudara-saudara kita waktu itu?" Ibu bertanya pada Ayah karena sebelumnya Ibu merasa kangen dengan kedatangan Ustad Fariz yang sudah dia anggap sebagai anaknya itu.
"Masa' sih Bu? Tapi bisa juga ya, sepertinya sikap Ustad Fariz beda setelah pulang dari sana," Ayah sedikit berpikir sembari meminum kopi hitam buatan Ibu.
"Rhea, Ustad Fariz ada bicara sesuatu gak sama kamu?" kini Ibu bertanya pada Rhea yang sedang memakan pisang goreng hangat sambil menonton tayangan kartun sepanjang masa di layar TV.
"Ngomong apaan Bu? Gak ada ngomong apa-apa tuh. Bahkan sekarang udah gak pernah telepon lagi. Ya mungkin aja memang benar, Ustad Fariz lagi sibuk, banyak job kali dia. Seharusnya kita bersyukur sekarang Ustad Fariz sudah banyak kerjaan," Rhea memberikan pikiran positifnya sehingga Ibu dan Ayah hanya mengangguk-anggukan kepalanya, setuju dengan ucapan Rhea.
Hampir satu bulan lebih sudah Ustad Fariz tidak pernah ke rumah. Ibu tidak bisa menahan kekhawatirannya, takut terjadi apa-apa dengan Ustad Fariz. Ibu takut jika Ustad Fariz sakit dan tidak ada yang merawatnya atau menolongnya.
Di tengah kekhawatirannya itu, Ibu menghubungi Ustad Fariz untuk menanyakan kabarnya dan bertanya mengapa sekarang dia jarang sekali datang ke rumah. Dan alasan yang sama pun diterima oleh Ibu. Ustad Fariz tetap beralasan jika dia sedang sangat sibuk sehingga tidak bisa datang ke rumah. Ibu membujuknya untuk sesekali datang ke rumah dan memasakkan makanan kesukaannya, namun tetap saja ditolaknya dengan sangat halus, namun Ustad Fariz mengatakan jika ada waktu longgar saja dia akan datang ke rumah meskipun secara tiba-tiba dia akan menyempatkan waktunya.
Akhirnya jawaban itu pun melegakan hati Ibu setelah beberapa kali Ibu memohon padanya untuk datang dan bertanya apa Ustad Fariz tidak merasa kangen dengan Ibu, dan pertanyaan itu pun mampu membuat Ustad Fariz goyah dan berjanji akan datang ke rumah jika ada waktu senggang.
Bulan ini pengajian di Masjid Nurul Iman, masjid dekat rumah Rhea, mengadakan ziarah ke makam wali. Tanpa Ayah, Ibu dan Rhea ketahui, ternyata Ustad Fariz ikut membimbing jamaah.
Ustad Fariz diajak oleh Ustad Yadi untuk membantunya membimbing jamaah pada saat ziarah ke makam wali tersebut. Ustad Fariz menyetujuinya tanpa dia tahu jika yang mereka antar ziarah itu adalah kelompok pengajian dari masjid yang berada di dekat rumah Rhea.
Pada saat hari itu tiba, Ustad Fariz baru tahu jika yang akan mereka antar adalah jamaah dari masjid tersebut, dia tidak bisa menolaknya lagi, karena tidak ada alasan untuk menolak ajakan Ustad Yadi, sedangkan semua jadwal kegiatannya sudah sengaja dia kosongkan untuk hari ini dan dia juga tidak mungkin bisa menolak permintaan Ustad Yadi yang selama ini sudah menolongnya dan memberinya pekerjaan.
Selama ziarah, Ustad Fariz tidak berinteraksi sama sekali dengan Ayah, Ibu ataupun Rhea. Malah sepertinya dia menghindar untuk bertemu. Bahkan dia tidak menyapa mereka, pandangannya diarahkan ke lain arah jika dia tahu ada sosok Ayah, Ibu dan Rhea.
Namun pada saat pandangan mereka secara tidak sengaja bertemu, dia hanya diam saja dan berpura-pura sibuk dengan yang lain, dan apabila Ayah dan Ibu menyapanya, dia hanya tersenyum tipis dan getir yang menurut Rhea senyum itu getir penuh luka.
Rhea lebih banyak diam ketika sedang ziarah, dia merasa hampa, entah mengapa dan dia tidak tahu itu. Apa mungkin itu ada hubungannya dengan dia yang merasa diabaikan dan dicueki oleh Ustad Fariz, padahal selama ini mereka sangat dekat sekali, dan mengapa dia merasakan ada sedikit rasa sesak, gelisah dan merasa tercubit hatinya ketika melihat Ustad Fariz berada ditengah-tengah para jamaah cewek yang genit-genit menurut Rhea.
Rhea merasa ya.... seperti itulah, rasanya ingin sekali marah tapi siapa dia, bahkan dia bukan siapa-siapa bagi Ustad Fariz karena memang benar mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa.
Melihat Ustad Fariz dikerubungi cewek-cewek yang tertawa haha hihi meskipun Ustad Fariz hanya diam tidak merespon, namun benar-benar ada rasa sakit dalam hati Rhea. Sebenarnya matanya begitu panas, ingin rasanya dia menangis, tapi dia tidak tahu kenapa.
Ah.... mungkin saja dia terlalu terhanyut mendengarkan doa-doa yang dipanjatkan oleh Ustad Fariz tadi, doanya begitu menyayat hati hingga membuat Ustad Fariz dan para jamaah menangis bahkan ada yang sampai terisak-isak nangisnya.
Rhea berpikir mungkin dia terlalu menghayati dan meresapi doa-doa yang dilantunkan oleh Ustad Fariz tadi. Ah entahlah Rhea tidak mau ambil pusing,rasanya dia sudah lelah, padahal baru setengah hari saja dia sudah ingin kembali pulang ke rumah.
Dan entah kenapa dia selalu terbayang wajah Ustad Fariz yang tersenyum getir padanya. Apa mungkin dia kangen dengan sosok Ustad Fariz yang dekat dengannya? Apakah dia cemburu ketika melihat Ustad Fariz bersama dengan wanita lain? Apa memang benar dia jatuh cinta dengan Ustad Fariz yang sudah dianggap sebagai kakaknya itu?
Jika memang benar dia jatuh cinta padanya, dia merasa tidak pantas, karena dia seorang gadis yang miskin ilmu agama jadi tidak mungkin bisa bersama dengan seorang Ustad yang pengetahuan agamanya begitu luas.
"Hufft.... sudahlah, semua itu tidak mungkin terjadi. Kita hanya saling menganggap sebagai adik kakak aja. Dan aku tidak boleh bermimpi untuk bisa bersama dia karena kita tidak sepadan. Aku sangat jauh dibawahnya dan Ustad Fariz harus mendapatkan wanita yang sepadan atau lebih lebih baik dariku," Rhea menghembuskan nafas panjang untuk melegakan rasa sesak di dadanya.
Berbulan-bulan sudah Rhea tidak pernah bertemu dan bertelepon dengan Ustad Fariz semenjak ziarah ke makam wali waktu itu. Kini Rhea sudah mulai disibukkan dengan ujian.
Pikirannya tentang bayangan Ustad Fariz bisa dihilangkannya ketika dia disibukkan dengan belajar. Dia berusaha belajar dengan sangat keras untuk ujian kali ini, karena ini merupakan ujian untuk kelulusan dan awal baru dia untuk memasuki jenjang SMA.
Dia tidak mau mengecewakan orang tuanya dan dia juga ingin sekali masuk ke SMA negeri favorit.
Ujian pun telah berlalu, dan selama itu pula Rhea tidak pernah bertemu dengan Ustad Fariz. Rasanya aneh, namun Rhea menepis perasaan itu. Kadang kala disaat dia sedang tidak melakukan apa-apa, bayangan tentang hari-harinya dengan Ustad Fariz pun terlintas.
Senyuman menghiasi bibirnya, namun dia kembali termenung ketika sadar pada kenyataan. Kenyataannya kini mereka sudah tidak sedekat itu. Sedikit perubahan yang mampu membuat hati Rhea begitu hampa.
Hufft....
Lagi-lagi dia hanya bisa menghela nafas panjang. Hanya ini yang bisa dia lakukan untuk meredakan rasa sakit yang entah apa itu dia benar-benar tidak tahu alasannya. Dia hanya gadis SMP yang masih lugu dan polos, gadis yang tidak tahu apa-apa tentang dunia luar kecuali masalah pelajaran.
Dia memang anak rumahan yang tidak pernah keluar rumah tanpa orang tuanya, dan dia hanya keluar rumah pada saat sekolah dan mengaji di Masjid saja. Tentang rasa suka dan cinta, dia sama sekali tidak tahu dan belum pernah merasakannya.
Apa mungkin rasanya pada Ustad Fariz adalah rasa cinta? Atau hanya rasa sayang sebagai kakak beradik saja, dia pun tidak tahu meskipun sudah berkali-kali dia tanyakan itu pada hatinya.
Hari kelulusan pun tiba, Rhea berhasil menamatkan jenjang SMP nya dengan nilai yang memuaskan. Kini dia fokus untuk tes masuk di SMA negeri yang sudah menjadi incarannya sejak dulu.
Hari-hari berlalu dan kini Rhea berhasil masuk di SMA negeri favoritnya. Begitu panjang proses yang dia tempuh hingga dia lupa akan kegalauannya karena Ustad Fariz. Sudah lama dia tidak mendengar kabar tentang Ustad idolanya itu.
Entah kapan Rhea menganggapnya Ustad idola, mungkin sejak acara ziarah ke makam wali itu dia sepertinya sangat tenang mendengar lantunan ayat dan dia yang dibacakan oleh Ustad Fariz.
Sampai pada suatu hari dia mendengar
bahwa Ustad Fariz akan menikah dengan seorang wanita dari desa tetangga. Rhea mendengarnya ketika Ayah memberitahu Ibu ketika mereka berada di ruang tamu setelah Ayah pulang dari pengajian bersama Ustad Yadi.
Rasanya seperti ada petir yang menyambar. Dunia Rhea seperti berhenti. Ada perasaan kosong, kehilangan dan entahlah semua terjadi begitu cepat menurutnya. Dadanya begitu sesak hingga air matanya menetes jatuh di pipinya. Segera diusapnya air mata itu dan dia kembali ke kamarnya.
Di dalam kamar dia hanya terdiam meskipun tangannya memegang buku dan pandangan matanya jatuh pada buku tersebut. Dia tersadar ketika ponselnya berbunyi, ternyata dia mendapatkan pesan dari temannya yang menanyakan jawaban dari tugas sekolahnya.
Akhirnya dia tersadar jika dia hanya membuang-buang waktu saja dengan lamunannya. Diraihnya selimutnya dan dipejamkannya matanya berharap dia bisa melupakan semua rasa itu ketika dia bangun.
Tak lupa kebiasaannya mendengarkan musik sebelum dia tidur hingga terlelap karena alunan musik. Namun untuk kali ini musik yang dia dengarkan seolah membuat air matanya jatuh tanpa suara tangis, begitu dalam lirik lagu yang dia dengarkan seolah menggambarkan luka yang ada dalam hatinya.
Berbulan-bulan Rhea mencoba melupakan rasa sakit dalam hatinya itu, dan selama itu pula Ustad Fariz tidak pernah nampak meskipun dalam pengajian di daerah tersebut.
Bahkan dia mendengar dari Ibu jika Ibu keberatan mengenai pernikahan Ustad Fariz. Ibu tidak setuju Ustad Fariz menikah dengan wanita tersebut karena menurut Ibu Ustad Fariz bisa menemukan wanita yang lebih cantik dan lebih baik dari pada wanita tersebut.
Dan menurut yang Ibu tahu jika Ustad Fariz menikahinya karena kasihan, dia juga seorang yatim piatu, sama dengan Ustad Fariz, tapi bedanya dia masih punya kakak.
Memang benar selama ini wanita tersebut terus mendekati Ustad Fariz, namun Ibu tidak menyangka bahwa hati Ustad Fariz bisa luluh juga. Ada yang mengatakan Ustad Fariz dijebak karena orang tuanya yang meninggal kemarin menyuruhnya untuk menikahi anaknya.
Sekarang Rhea hanya merasa kasihan dan sakit mendengar berita tentang pernikahan Ustad Fariz. Ternyata memang benar wanita tersebut jauh dari yang Rhea bayangkan.
Dulunya dia membayangkan sosok wanita yang menjadi istri Ustad Fariz adalah wanita yang mempunyai ilmu agama yang tinggi dan wanita yang soleha, ternyata kok sama saja sebelas dua belas dengannya.
Disaat dia hendak membalikkan badannya kembali ke dalam kamarnya, ternyata Ibu kembali membuka suara, "Padahal dulu Ustad Fariz meminta ijin untuk mendekati Rhea tapi Ayah tolak, sekarang Ustad Fariz malah dapat wanita seperti ini, kasihan loh Yah."
"Kan Rhea masih kecil Bu, masih kelas 3 SMP. Dia masih sekolah, takut sekolahnya terganggu," Pak Adrian membela dirinya, tapi dia juga terlihat begitu menyesal.
"Ya kan gak langsung nikah Yah. Dia cuma minta ijin saja. Mungkin nikahnya nunggu Rhea lulus sekolah Yah. Kan syarat nikah juga ketat sekarang. Harusnya Ayah jelaskan dulu agar dia tidak salah paham. Eh tapi jangan-jangan Ustad Fariz dengar obrolan kita sama saudara-saudara waktu itu Yah, kan sikap Ustad Fariz berubah sesudah acara itu. Ck, lagian mereka apa-apaan sih omongannya merendahkan Ustad Fariz, padahal juga belum tentu Rhea mau jika diminta menjadi istrinya," Ibu benar-benar merasa frustasi memikirkannya.
"Sudahlah Bu, mungkin sudah takdirnya seperti ini. Dan mungkin sudah jodohnya Ustad Fariz dengan wanita itu," Ayah menenangkan Ibu dengan mengelus-elus puncak rambut Ibu.
Air mata Rhea lolos begitu saja membasahi pipi, bahkan air mata itu begitu deras. Rhea menutup mulutnya dengan telapak tangannya dan dia menggeleng tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan.
Sebelumnya Rhea tadi hendak ke dapur mengambil minum, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar obrolan Ibu dan Ayah membahas pernikahan Ustad Fariz.
Rhea mendengarkannya karena ingin tahu kabar Ustad idolanya itu dan karena juga dia ingin tahu wanita seperti apa yang hendak menjadi istrinya.
Namun Rhea malah terkaget mendapati fakta yang ada, dia mendengar tentang kemauan Ustad Fariz yang menginginkannya menjadi calon istrinya namun ditolak oleh orang tuanya dengan alasan dia masih kecil dan masih sekolah, padahal nikahnya pun tidak sekarang, dan juga omongan-omongan merendahkan dari saudara-saudaranya.
Rhea mengerti perasaan Ustad Fariz yang mungkin terhina dengan semuanya.
Rhea kembali ke dalam kamarnya ketika obrolan Ayah dan Ibu sudah selesai membahas Ustad Fariz. Rhea merasakan perasaannya campur aduk tidak karuan.
Huffft.... dia menghela nafas panjang meredakan rasa sesak dan nyeri di dadanya. Hingga akhirnya dia terlelap tanpa sengaja di lantai kamar yang beralaskan karpet bulu.
Hari-hari berlalu, Rhea melalui harinya seperti biasa hanya antara rumah dan sekolah. Entah mengapa hari-harinya akhir-akhir ini tidak ada semangat, padahal di sekolah banyak teman Rhea yang sangat kocak mengajak Rhea bercanda, terutama beberapa teman laki-laki yang duduk di deretan bangku belakangnya.
Mereka seolah melihat kesedihan dalam raut wajah Rhea. Mereka membuat begitu banyak lelucon, candaan, bahkan merayu Rhea agar dia mau tersenyum seperti biasanya. Rhea pun tersenyum tipis, namun senyuman itu getir yang tercetak di bibirnya.
Pada saat jam istirahat Rhea merasa dadanya begitu sakit dan begitu sesak, dia merasa begitu tidak nyaman, hingga dia berulang kali menghirup nafas dalam-dalam dan menghelanya, namun meskipun dilakukan berkali-kali pun tetap saja semua rasa itu masih tetap ada.
Dia merasa ada yang salah dengan perasaannya, dia takut jika terjadi apa-apa dengan keluarganya. Dia segera menghubungi Ibunya dan bertanya tentang keadaan di rumah, namun dari penjelasan Ibu Rhea bisa menyimpulkan bahwa tidak terjadi apa-apa di rumah.
Rhea bernafas lega setelah mendengar jawaban dari Ibunya. Namun rasa sakit dan sesak di dadanya masih begitu terasa. Bahkan rasa tidak nyaman pun makin terasa dan membuat dia semakin gelisah, hingga dia putuskan untuk melaksanakan shalat dhuha di Masjid sekolah.
Jam istirahat pun selesai, Rhea pun kembali ke dalam kelas tanpa makan ataupun jajan di waktu istirahatnya dikarenakan waktu istirahatnya habis digunakannya di Masjid tadi.
Namun dia masih saja merasakan hal yang sama, sampai-sampai di saat guru menerangkan pun dia melihat ke arah papan, namun bibirnya beristighfar terus-menerus untuk menghilangkan gelisah, rasa sesak dan sakit di dadanya.
Namun rasa-rasa itu semakin kuat, hatinya semakin sakit dan sesak hingga matanya berkaca-kaca, ada air mata di sudut matanya, namun sekuat tenaga Rhea menahan agar air mata itu tidak keluar.
Astaghfirullah hal adzim.... ada apa ini? Kenapa hatiku begitu sakit dan dadaku begitu sesak? Rasanya begitu sedih. Ya Allah sebenarnya apa yang terjadi? Rhea menghirup nafas dalam-dalam dan menghela nafas panjang setelah menanyakan itu semua dalam hatinya.
Langit sore menyapa, Rhea berjalan kaki menyusuri jalan menuju rumahnya. Kali ini Ayahnya tidak menjemputnya. Dan Rhea selama SMA memang sudah terbiasa jika pulang dia naik angkot dan jalan kaki menuju rumahnya. Jika berangkat sekolah kadang naik angkot tapi kadang dia juga diantar oleh Ayahnya.
Rhea berjalan kaki dengan perasaan yang lelah. Bukan lelah karena capek fisik, namun lelah karena rasa sakit yang dirasakan di hatinya dan sesak di dadanya yang entah apa penyebabnya.
"Assalamu'alaikum.... Ibu... Ayah... Rhea pulang....," seperti biasa Rhea langsung masuk ke dalam rumah dan menuju kulkas untuk mengambil air minum pelepas dahaganya.
"Wa' alaikummussalam... Eh anak Ibu yang cantik udah pulang. Gimana tadi di sekolah, lancar?" Ibu menyambut Rhea dengan menyodorkan tangannya. Seperti biasanya Rhea mencium punggung tangan Ibunya.
"Alhamdulillah lancar Bu. Eh kok sepi Bu? Ayah kemana?" Rhea celingak-celinguk mencari keberadaan Ayahnya. Masa' iya sih Ayahnya gak kelihatan, wong badannya aja segede itu, Rhea aja bisa sembunyi dibalik tubuh Ayahnya.
"Ayah ada di kamar, lagi istirahat, barusan pulang dari nikahannya Ustad Fariz. Cuma nikahan aja kok secara sederhana," Ibu menjawab sambil berlalu ke dapur.
Jeduaaaaar..... bagai tersambar petir, Rhea diam tak berkutik. Ada yang hangus tapi tidak berbekas, ada yang sakit tapi tidak berdarah, seperti tertusuk jarum dan tersayat belati rasanya begitu sakit, seperti tercubit namun tidak ada bekasnya, hanya rasa sakit yang begitu mendalam kini dirasakannya.
Rhea segara berlari menuju kamarnya, tidak mau orang rumahnya tahu jika air matanya kini jatuh bebas tanpa hambatan.
Dilemparkannya tas sekolahnya di meja belajarnya, dan tubuhnya dihempaskan di kasurnya, dia menangis tersedu-sedu tanpa suara.
Diredamnya suara tangisnya pada bantal dan selimut yang tebal. Untung saja dia sempat mengunci kamarnya setelah dia masuk tadi. Jadi aman, dia tidak takut jika ada yang mengetahui dia menangis.
Ya Allah mengapa hatiku begitu sakit dan dadaku begitu sesak? Apa karena ini semua yang membuatku seharian ini tersiksa? Mengapa mendengar dirinya menikah dengan wanita itu membuat hatiku begitu sakit? Ya Allah sakit sekali rasanya...., Rhea berucap dalam hati di sela tangisannya. Dia tidak menyangka bahwa hatinya bisa sesakit ini, padahal dia tidak mengetahui jika hari ini Ustad Fariz menikah, bahkan rasanya lebih sakit lagi ketika dia mengetahui pernikahan itu.
Apa artinya ini Ya Allah... apa dia tidak ikhlas menikah dengan wanita itu dan apa karena dia mencintaiku sehingga rasanya begitu sakit di hatiku dan dadaku begitu sesak dan gelisah seharian ini, padahal aku tidak mengetahui jika hari ini dia menikah, lagi-lagi pertanyaan itu hadir dalam batinnya.
Semenjak Ustad Fariz menikah, kehadirannya seperti hilang entah kemana. Rhea pernah mendengar dari obrolan Ibu dan Ayah bahwa saudara-saudara dari Ibu Ustad Fariz tidak menyetujui pernikahan mereka. Karena mereka tidak suka sikap dan perilaku dari istri Ustad Fariz.
Dan Ustad Fariz pun tidak pernah lagi mampir atau sekedar berkunjung ke rumah Rhea. Hufft.... lagi-lagi Rhea menghela nafas panjang, dia tidak menduga efeknya akan sedalam ini pada dirinya.
Bertahun-tahun berlalu, hingga Rhea pun sudah lulus SMA dengan hasil yang memuaskan. Dia sekuat tenaga melupakan rasa sakit dan perasaannya pada Ustad idolanya itu.
Tapi entah mengapa namanya tetap ada dalam hatinya. Tidak pernah sekali pun bisa terhapus meskipun Rhea berusaha keras untuk menghapusnya.
Ya memang benar sih dia belum pernah dia mengisi hatinya dengan nama lain, karena selama ini dia tidak pernah yang namanya pacaran , dia hanya fokus pada pelajaran sekolahnya saja.
Kurang lebih lima tahun berlalu, kini Rhea dipersunting oleh lelaki yang berani memintanya pada orang tuanya.
Memang dia tidak mencintainya, karena setelah hatinya sakit karena Ustad Fariz, dia seperti belum berniat untuk menjalin hubungan dengan siapa pun, karena trauma akan sakit hatinya yang begitu sakit dan lama terobati.
Lelaki yang menyukai sosok Rhea itu berkali-kali meminta Rhea untuk menjadi pacarnya, namun Rhea hanya menjawab jika dia perlu waktu untuk menjawabnya. Begitu keras usaha lelaki itu untuk mendapatkan hati Rhea.
Tiap hari dia mengantar jemput Rhea untuk bekerja. Hingga ke dua orang tua mereka masing-masing mengira jika mereka sudah memiliki hubungan yang serius, sehingga kedua orang tua Rhea menyuruh lelaki itu untuk datang melamar anaknya.
Andri Brahmana, nama yang tertera sebagai seorang suami yang bersanding dengan nama Rheina Az Zahra di akta nikah.
Tadinya Rhea bimbang akan keputusannya untuk menikah dengan Andri karena hatinya tidak yakin dan belum merasakan cinta pada Andri, namun dia menyetujuinya karena melihat keseriusan Andri dan juga dia tidak tega untuk mempermalukan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Andri yang menaruh harapan lebih padanya. Begitu gundah hatinya, hingga temannya menyarankannya untuk melaksanakan shalat istikharah.
Di malam itu Rhea melaksanakan shalat istikharah guna mencari petunjuk untuk keputusannya. Namun setelah dia bangun dari tidurnya di keesokan harinya dia mendadak menjadi orang linglung.
Dia mengingat-ingat mimpi yang hadir dalam tidurnya. Pada doanya dia menyebut nama Andri, namun bukan wajah Andri yang ada di dalam mimpinya, melainkan seorang pangeran bersarung memakai baju koko berwarna putih namun wajahnya begitu samar hingga Rhea tidak mengenalinya.
Pikiran Rhea mengarah pada Ustad Fariz, namun segera ditepisnya karena tidak mungkin dia akan bersama Ustad Fariz, karena Ustad Fariz sudah menikah beberapa tahun yang lalu, dan sekarang pun dia tidak tahu bagaimana keadaannya.
Rhea menghembuskan nafasnya dengan kasar, dia memang tidak mengerti siapa yang hadir dalam mimpinya, namun menurutnya sekarang sudah terlambat, karena semuanya akan kacau jika dia membatalkannya meskipun mereka hanya baru bertunangan dan persiapan mereka untuk menikah baru 50%.
Dia tidak mau kedua orang tuanya kecewa, syok dan malu atas perbuatannya. Dan akhirnya pernikahan itu dilaksanakan dengan lumayan meriah.
Ustad Fariz datang pada saat ikrar ijab kabul dilaksanakan. Ustad Fariz datang untuk memenuhi permintaan Pak Andri dan Bu Ratih untuk mengaji bersama Ustad Yadi.
Begitu Rhea muncul untuk berjalan mendekati Andri yang duduk di depan penghulu untuk menikahkan mereka, mata Rhea bertabrakan pandangan dengan Ustad Fariz.
Rhea terpaku dan tanpa sadar dia tersenyum pada Ustad Fariz, saking senangnya dia melihat Ustad Fariz hingga dia lupa akan tujuannya saat ini yang hendak duduk di samping Andri.
Rhea kecewa ketika Ustad Fariz yang menundukkan pandangannya sesudah mata mereka saling menatap. Senyum Rhea pudar ketika dia melihat Ustad Fariz menundukkan pandangannya, dan dia tersadar ketika ada suara memanggilnya untuk segera duduk di dekat Andri.
Pikiran Rhea bercampur aduk saat ijab kabul terdengar di telinganya. Dia tidak percaya jika sekarang dia sudah menjadi seorang istri dan dia sedih akan sikap Ustad Fariz padanya. Hingga pada saat malam hari, Rhea melihat Ustad Fariz kembali namun bersama istrinya.
Mata Ustad Fariz dan Rhea kembali bertemu dan saling menatap dari kejauhan dan ditengah ramainya tamu yang datang. Ada desiran aneh dalam dada Rhea, bahkan tiap mata mereka selalu saja jantungnya merasa deg-degan, padahal sudah bertahun-tahun lamanya mereka tidak bertemu, dan Rhea pun sudah berusaha mati-matian untuk melupakannya.
Rhea dan Andri hanya berada di pelaminan, karena banyaknya tamu undangan yang datang jadi mereka tidak bisa kemana-mana, bahkan untuk makan saja mereka tidak bisa. Sampai-sampai Rhea tidak sadar jika Ustad Fariz dan istrinya sudah tidak berada di tempat duduknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!