Tak Sadarkan Diri

Mia ikut senang dengan ide Ibu tirinya itu, karena ia mengira Bira pun memiliki perasaan yang sama dengannya karena sikap baik dan ramah dari Bira yang ia terima. Esoknya, Mia tidak menemukan Bira saat jam kerjanya akan dimulai, ia pun masuk ke ruang kerjanya. Disela jam istirahat, Mia menghampiri Bira, “Bira, Ibu aku undang kamu makan malam di rumah, bisa?” tanya Mia. “Bisa aja sih, tapi kapan?” tanya Bira. “Nanti malam.”

“Oke,” jawab Bira sambil mengangguk.

Mia sudah mengenakan pakaian yang ia anggap paling bagus untuk menyambut kehadiran Bira. Bertekad malam ini harus menyatakan perasaannya. Bira yang mendapatkan undangan dari keluarga Mia sangat antusias karena merasa ada kesempatan untuk menyatakan perasaannya dengan Alea.

“Anak ibu cantik sekali,” puji Ela pada Alea. Alea tersenyum lalu menuju ruang tamu untuk menunggu Bira, ternyata Mia sudah lebih dulu berada di sana. Keduanya kini duduk pada sofa menunggu kedatangan Bira.

“Kak Mia ngapain sih di sini, mending bantu Ibu di dalam,” ujar Alea sambil merapihkan tatanan rambutnya yang masih rapih. “Kamu sendiri ngapain di sini?”

Tidak lama terdengar suara knalpot motor Bira, Mia yang baru saja berdiri mendengar namanya dipanggil oleh Ela. Sedangkan Alea sudah melesat ke luar menyambut Bira.

“Selamat malam tante,” sapa Bira. “Malam Nak Bira. Mari silahkan duduk, kita langsung mulai makan aja ya,” ujar Ela sambil menerima buah tangan yang dibawa Bira.

Alea sudah memposisikan dirinya duduk disamping Bira, Mia harus pasrah bersisian dengan Ela namun berhadapan dengan Bira. Saat makan tidak ada obrolan berat yang terjadi, bahkan antara Alea dan Mia tidak ada yang menunjukan bahwa keduanya memiliki perasaan yang sama untuk Bira.

Ela sengaja mengajak Mia untuk membantunya membersihkan perangkat makan mereka. Alea mengajak Bira duduk pada kursi taman yang ada di halaman samping rumahanya. Keduanya tersenyum malu-malu.

“Kak Bira.”

“Alea.”

Mereka serempak bersuara.

“Kakak dulu.”

“Kamu dulu.”

Kompak kedua kali, hingga akhirnya mereka tertawa. “Aku diam dulu, deh biar Kak Bira aja yang bicara.”

Bira menatap Alea yang duduk disampingnya terhalang meja kecil, “Alea, kamu sudah punya pacar?” Alea yang sedang menunduk, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Masa sih?” Alea kembali mengangguk.

“Kalau jadi pacar aku mau enggak?” Alea lagi-lagi mengangguk. “Alea, aku serius!” ujar Bira. Alea menoleh, “Aku juga serius kak, aku mau jadi pacar Kak Bira.”

“Kamu juga suka aku? Sejak kapan?”

Alea menggedikkan bahunya, “Yang jelas satiap Kak Bira mengantarkan Kak Mia pulang, aku senang tapi juga kesal.”

“Kesal kenapa?”

“Kesal karena Kak Mia bisa berdua dengan Kak Bira terus. Ya di tempat kerja, ya saat pulang. Kalau ternyata Kak Mia suka juga sama Kak Bira gimana?” tanya Alea sambil menatap Bira.

“Itu sih urusan Mia, aku sering mengantarkan Mia karena ingin bertemu kamu dan yang jelas aku sukanya sama kamu. Kamu cantik, lucu, imut dan menggemaskan,” pujian Bira yang membuat Alea tersipu. Namun di balik pintu, yang menghubungkan rumah dengan tempat Alea dan Bira kini berada ada sosok yang sedang kecewa.

Mia, yang sejak tadi mendengar apa yang diucapkan oleh kedua orang itu merasa kecewa.

Jadi selama ini, Bira hanya memanfaatkan aku untuk dekat dengan Alea. Jadi selama ini, Alea juga suka dengan Bira. Jadi selama ini, cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.

Ela menarik tangan Mia untuk mengikutinya, berada di depan kamar Mia. “Mia, sekarang kamu sudah tau kan, kalau ternyata mereka saling menyukai. Jadi kamu harus biarkan Alea bahagia, mengalahlah karena kamu sudah kalah.”

Mia tidak dapat menjawab, lehernya terasa tercekat. Air matanya sudah siap turun, dadanya terasa sesak. Rasanya ia ingin menjerit, dia sudah kecewa tapi harus ditambah luka dengan kalimat Ela. Meninggalkan Ibunya dan segera masuk kamar, Mia hanya bisa menangis dengan bantal menjadi saksi karena tetesan air mata yang membasihinya.

.

.

.

Hari ini Mia sangat tidak bersemangat kerja, berbeda dengan Bira yang seakan saat ini dikelilingi oleh simbol cinta. “Mia,” panggil Bira. menoleh pada Bira yang sedang berkumpul dengan rekan lainnya dekat pintu keluar. “Loe mau beli makan ya? Gue nitip ya?” ujar Bira.

Mia yang memang akan keluar karena jam istirahat mengurungkan niatnya karena tidak ingin kembali dimanfaatkan oleh Bira. “Enggak, aku enggak makan, lagi diet.”

“Diet? Badan loe kan udah kurus, mau jelek kayak gimana lagi,” ejek Bira. Mia hanya menghela nafas, lalu berbalik kembali ke ruangannya.

Sejak pernyataan cinta Bira malam itu, Mia dan Alea sering kali bertengkar. Seperti sore ini saat Mia baru saja pulang, Alea menghardiknya.

“Kak Mia kenapa sih, Kak Bira minta tolong beliin makan aja enggak mau. Kasihan kan dia jadi enggak makan siang.”

Sabar, sabar Mia, batinnya.

“Kalau kamu kasihan kenapa enggak kamu aja yang beliin. Sekarang itu udah canggih tinggal pesan online habis perkara. Kenapa malah manfaatin perempuan, aku jadi ragu Bira itu sebenernya cowok bukan sih,” ungkap Mia sambil berlalu meninggalkan Alea.

Namun Alea menarik tangan Mia, “Ini pasti karena Kak Mia iri dan kecewa ternyata Kak Bira sukanya sama aku. Lagian Kak Mia harusnya ngaca dong, kalau mau bersaing dengan aku. Jadi silahkan nikmati kembali kekalahan kak Mia.”

Bruk, Mia menghempaskan tasnya. “Kenapa harus selalu aku yang kalah, kenapa wajib aku yang mengalah. Kamu bisa tampil lebih modis karena Ibu selalu memprioritaskan kamu. Kamu bisa lebih cantik karena Ibu selalu menyanggupi permintaan kamu untuk perawatan. Bagaimana dengan aku? Aku selalu diminta mengalah, mengalah untuk kamu.”

“Mia, cukup,” ujar Ela.  

“Takut kalian lupa, apa yang kalian rasakan dan nikmati saat ini jerih payah Ayah, dan aku juga anak Ayah. Aku hanya kasihan, ternyata istri dan putri bungsu Ayah hanya taunya menghabiskan uang.”

Plak

Ela menampar Mia.

“Rasanya sudah cukup aku selama ini mengalah,” ujar Mia dan byur wajahnya basah karena siraman air yang dilakukan dengan sengaja oleh Alea. “Kamu!” geram Mia lalu melangkah. Sreekk, bughhh. Mia terpeleset dan jatuh terlentang kepalanya menghantam lantai.

Terlihat genangan air yang berubah warna, “Darah,” ucap Alea. Mia merasakan nyeri di belakang kepalanya lalu semuanya gelap. Ia tidak sadarkan diri, “Mia,” panggil Ela sambil menepuk pipi Mia. 

_______

Jangan lupa like, komen, vote dan favorite, biar tambah semangat. 🥰

Terpopuler

Comments

khalisa

khalisa

lanjutthor, semangat

2022-04-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!