Langkahnya lunglai menyusuri pelataran rumahnya. Hanum baru saja tiba di kediamannya.
Ia melangkah pelan, sedikit terseok menjaga gerak langkahnya dengan hati-hati seraya menahan nyeri yang masih terasa mengganggu di area pribadinya.
Suasana rumah itu masih sepi dan wanita itu dapat menghela napas lega untuk sesaat. Ia melangkah gontai masuk ke dalam kediamannya, lalu kemudian merebahkan dirinya dengan nyaman di atas sofa. Tubuhnya terasa lelah dan sendinya terasa terlepas dari kerangka tubuhnya. Inginnya hanya bisa memejamkan mata untuk sesaat agar ia bisa lupa akan kejadian naas yang sempat menimpa hidupnya.
Baru saja sejenak ia terlelap, tetapi tiba-tiba indra penciumannya mendapati hadirnya aroma Jasmine tea yang menguar lembut ke udara.
Ia hafal betul teh ini selalu menjadi faforit Reynand tatkala pria itu sedang bersantai di rumah.
''Mungkinkah ia sudah kembali?'' batinnya segera bangkit dari posisi rebahnya.
"Kau baru pulang?" senyum Reynand tertoreh tipis menyambut kedatangan istrinya yang malah menatapnya dengan tatapan kosong.
Sorot mata teduh itu membuatnya kian merasa berdosa, ia telah mengkhianati kepercayaan Reynand terhadapnya.
"Haruskah aku jujur? Akan tetapi, bukankah hal itu malah akan menyakiti hatimu?" Hanum bimbang dengan dilema yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Apa kau baik-baik saja?" Reynand berucap lirih penuh kekhawatiran.
Sorot matanya yang teduh dengan untaian kata syarat akan perhatian itu membuat Hanum kian teriris hatinya. Ia menggigit bibir bawahnya sendiri menahan sendu dan air mata yang sudah berada di ujung matanya, "bukankah kau lelah?" ucapan itu keluar begitu saja secara tiba-tiba.
Ia hendak mengalihkan pembicaraan yang terasa menyesakkan dadanya itu.
"Aku baik-baik saja. Apa kau lapar?" Reynand balik bertanya dan hendak bangkit dari duduknya.
Namun jemari Hanum dengan segera menahannya untuk tetap duduk di tempat semula.
"Jangan pergi, duduklah sebentar. Aku ingin bicara."
Reynand menyunggingkan senyum tipisnya, kemudian mengangguk dan kembali duduk tepat di samping Hanum, "ada apa?" tanyanya.
Hanum mengalihkan pandangannya sejenak, menyapukan pandangannya ke penjuru ruangan serta melihat setiap detail tempat itu yang mungkin akan menjadi kali terakhir baginya untuk bisa melihat kediamannya bersama sang suami. Mungkin lebih tepatnya akan menjadi mantan suami sebentar lagi.
"Apa yang membuatmu begitu gelisah, hm?" Reynand menyapukan jemarinya lembut seraya membelai wajah Hanum yang mulai memerah. Jelas terlihat ada bulir air mata yang tertahan di sudut mata indahnya.
"Mari kita bercerai." Hanum berucap lirih dengan kepala tertunduk.
Reynand termangu. Tak disangka dan tak diduga pernyataan seperti inilah yang akan ia dengar dari mulut istrinya. Jemarinya berhenti bergerak hingga keheningan membentang di antara keduanya di beberapa detik berikutnya. Sesaat kemudian pria itu kembali menyapukan jemarinya lagi ke pipi sang istri yang telah basah oleh tetes air mata kepedihan. Hatinya serasa hancur ketika bibir mungil itu mengucap ingin akan perpisahan.
"Kenapa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?" Reynand berucap lirih seraya menundukkan kepalanya. Pandangannya redup menahan perih yang mulai merambati hatinya.
"Tak ada alasan pasti.
A-aku hanya ingin kita berpisah," ucap Hanum sembari memalingkan wajahnya lagi. Hatinya pun terasa sakit ketika melihat pria di hadapannya itu nampak pilu setelah mendengar tutur katanya. Ia telah kotor, tersentuh oleh tangan pria lain.
Dan hatinya pun tak kuasa jika harus menahan kebohongan yang merupakan suatu dosa besar dalam pernikahan. Ia hina, dan ia tak lagi pantas bagi seorang, Reynand.
"Kita tidak akan pernah berpisah." Reynand berucap penuh ketegasan. Sedang dalam benaknya tersimpan banyak pertanyaan yang carut marut menuntut akan sebuah jawaban. Hanya semalam istrinya itu tak pulang ke rumah, namun paginya tiba-tiba ia meminta sebuah perceraian.
"Apakah, kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tanyanya curiga.
Hanum mengerjapkan matanya beberapa kali, debar jantungnya kembali berpacu seiring lidahnya yang keluh sulit untuk mengucapkan bait rangkai kata. Ia dilanda dilema, inginnya berkata jujur namun ia takut membuat pria dihadapannya itu menjadi murka.
"Jangan lagi berpijak di atas bara api. Jikalau tidak, bukan hanya kakimu yang akan melepuh melainkan seluruh tubuhmu juga akan terbakar." Hanum menipiskan bibirnya lagi.
Gurat wajahnya terlihat suram dengan kepedihan yang tersirat nyata di sana.
"Lepaskan aku, jangan lagi bertahan dan berjuang untuk memperkokoh rumah tangga yang sudah hancur sejak awal mula pernikahan kita, Rey."
Reynand bergeming, pria itu telah cukup lama bersabar dan diam demi menjaga keutuhan rumah tangganya. Namun perceraian secara sepihak terlalu kejam baginya yang tak merasa berbuat suatu kesalahan. "Katakan alasannya, maka setelah itu aku akan mempertimbangkan soal perpisahan."
Hanum tertegun lagi, ia bergerak gelisah menyugar rambutnya dan menyisipkannya ke belakang telinga. "Yakinlah, kau tak akan sanggup untuk mendengarnya, Rey!"
"Katakan," ucapnya bersungguh-sungguh menanti sebuah penjelasan. Dalam hatinyapun ia merasa takut kalau hal yang akan ia dengar merupakan suatu hal tentang penghianatan akan ikatan suci pernikahan mereka.
"A-aku ... aku," ucapnya tersendat-sendat seraya menautkan jari jemarinya. Ia gugup diselimuti oleh ketakutan akan kemurkaan Reynand terhadapnya. "Maaf, Rey. Sungguh aku ... hanya ingin kita bercerai "
"Apakah ini sebuah kedok perselingkuhan? Apa kau menemukan pria lain di luaran sana dan berniat membuangku. Begitu?" ujarnya tegas seraya mencengkeram kuat bahu istrinya. Ia menatap bola mata Hanum dengan tatap penuh selidik, jika memang benar begitu adanya lantas dimana harga dirinya sebagai seorang pria disini?
Hal itu membuat Hanum mengeratkan kepalan tangannya. Ia jelas bukanlah perempuan semacam itu, tapi apa bedanya ia dengan seorang wanita yang berselingkuh? Jelas ia bukan lagi seorang wanita suci. Ia telah kotor, terjamah oleh pria asing yang merenggut hak dari suaminya sendiri.
Reynand memejamkan matanya sejenak kemudian terdengar desis lirih akan kemarahannya yang tak lagi bisa ia sembunyikan.
"Apa kau menikmatinya, ketika kau berada di atas ranjang yang sama dengan pria itu? Bukankah menyenangkan bisa berhubungan dengan seorang wanita bersuami?" ujarnya dengan senyum mencela.
Bibirnya menyunggingkan senyum penuh ironi, menyamarkan kesedihan hatinya yang terasa pedih, hancur lebur dalam bingkai kepalsuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
*Adell syancikk*
menyakitkan
2021-07-20
1
andaikan
hiks aku cedih tor
2021-02-22
1
Naila
kasihan juga sm Rey blum belh duren mlah yg belh pria lain.. sungguh terlalu
2021-02-07
1