Ini nomerku. Shaka.
Gendhis mengulas senyum tipisnya saat mendapati notifikasi pesan masuk ke layar ponselnya. Ia tidak membalas pesan itu, namun jemarinya mengetik nama pemuda itu untuk menyimpan nomernya. Setelah itu ia menyambar handuk yang masih terlipat rapi di lemari pakaiannya dan keluar dari kamar menuju kamar mandi.
"Dek, bapak belum pulang?" tanya Gendhis saat melewati ruang tengah dan mendapati adik lelakinya, Lingga Nareswara, sedang berbaring di atas kursi rotan sambil memainkan ponsel.
"Belum." Sang adik menjawab singkat. Pasalnya pemuda berambut cepak itu sedang sibuk bermain game. Gendhis melihat ke arah jam dinding. Pukul lima lewat tiga puluh menit. Mungkin bapaknya masih ada urusan di Ndalem Keraton. Sementara sang ibu sepertinya sedang sibuk di dapur mempersiapkan makan malam.
Gadis itu menghabiskan waktu lima belas menit membersihkan dirinya di kamar mandi. Segar. Begitu yang Gendhis rasakan setelah badannya yang tadinya gerah tersentuh air yang sejuk.
Ia menyisir rambut panjangnya sembari mematut wajah di depan cermin yang ada di meja riasnya. Tubuh rampingnya kini sudah terbalut daster rumahan tanpa lengan yang membuatnya merasa nyaman.
"Nduk, ada tamu!" Suara Bu Ningsih, sang ibu, terdengar dari balik pintu kamarnya.
"Sinten (Siapa), Bu?" tanya Gendhis masih sambil menyisir rambutnya.
"Nak Bisma, Nduk."
Gendhis menghela napas berat. "Njih, Bu." Ia meletakkan sisir di atas meja. Lalu mengambil sweater di gantungan baju dan mengenakannya. Keluar dari kamar, ia melewati sang adik yang masih sibuk dengan game-nya di ruang tengah.
Bisma Wicaksana, pemuda anak rekan kerja bapak di Ndalem Keraton yang sudah dikenalnya sejak SMA. Si pemilik rambut rapi dan wajah teduh itu duduk di kursi yang ada di teras rumah. Bisma mengulas senyum melihat kehadiran dirinya.
"Aku bawain lumpia kesukaan kamu. Tadi pas mau pulang ngelewatin, jadi sekalian aja beli terus mampir ke sini." Bisma menyodorkan satu kotak makanan yang dibungkus plastik putih.
"Makasih, Mas." Gendhis mengambil bungkusan itu lalu membawanya masuk. Tidak lama kemudian gadis itu keluar dan duduk kembali di samping Bisma, yang hanya terpisah oleh meja dengan pemuda itu.
"Ibu nawarin Mas Bisma mau sekalian ikut makan di sini apa enggak."
"Ya, boleh, boleh. Bapak belum pulang?" tanya Bisma.
"Belum. Sebentar lagi paling," jawab Gendhis. "Itu bapak." Ia menunjuk ke arah halaman di mana ada seorang lelaki paruh baya sedang menuntun sepeda ontelnya dan menyandarkannya di samping teras.
"Eh, ada Nak Bisma." Lelaki itu, Pak Sasongko, menyapa ramah saat memasuki teras. Gendhis menyambut sang ayah dengan mencium tangan lelaki itu. Sedangkan Bisma, menjabat tangan ayah Gendhis.
"Bapak ke dalem dulu, Nak Bisma," pamit Pak Sasongko masih dengan senyum ramahnya.
"Njih, Pak." Bisma mengangguk. Ia lalu kembali duduk di kursinya. "Kerjaan lancar, Dhis?" tanyanya pada gadis manis di sampingnya.
"Ya, biasa aja, Mas."
Dingin. Sikap Gendhis tidak pernah berubah dari dulu. Padahal, ia begitu berharap bisa mendapatkan hati gadis itu. Ia sudah mapan, seorang pegawai negeri, kedua orang tua mereka juga sudah lama saling kenal dan sepertinya setuju jika ia dan Gendhis menjalin hubungan khusus. Namun sayangnya, gadis itu tidak kunjung membuka hati untuknya.
Bisma merasa apakah dirinya sangat membosankan di mata Gendhis? Ia memang pendiam dan tidak pandai meramaikan suasana. Namun perasaannya tulus untuk gadis pujaannya itu.
"Hari minggu ada pentas, ya, di Ndalem Keraton?" tanya Bisma berusaha membuka obrolan.
"Iya, Mas," jawab Gendhis pendek.
Lihatlah! Gendhis bahkan tidak berusaha untuk merangkai obrolan selanjutnya. "Aku nonton, ya?" pancingnya.
"Monggo aja."
Bisma tersenyum. "Siap," sahutnya.
Hingga makan malam bersama dengan Gendhis dan keluarganya, gadis itu pun tidak banyak berbicara. Hanya bapak dan ibunya saja yang intens bertanya tentang pekerjaan dan lain sebagainya. Sesekali saja ia bertemu mata dengan Gendhis, yang langsung mengalihkan pandang ke arah lain.
***
Saat keluar dari sebuah toko kelontong membeli sebungkus rokok, Shaka melihat sosok Gendhis yang baru saja keluar dari sebuah tempat foto kopian. Ia pun tidak berpikir panjang untuk mendekati gadis itu, yang tentu saja terlihat kaget melihat kehadirannya.
"Wah, ketemu lagi, nih," kekeh Shaka. "Paud tempat kamu ngajar di dekat-dekat sini, ya?"
Gendhis tersenyum sembari menganggukkan kepala. "Kan kemarin udah bilang di daerah Gejayan sini."
"Oh ya, sih ...." Shaka menyejajarkan langkahnya di samping gadis itu. Membuat Gendhis heran karena bengkel tempatnya bekerja ada berseberangan arah dengan Paud tempatnya mengajar.
"Nomerku udah kamu simpen?" tanya Shaka.
"Udah, Mas," jawab Gendhis kikuk. "Mas Shaka mau ke mana?"
"Nemenin kamu jalan aja."
"Owh." Gendhis melirik pemuda tampan di sampingnya itu. Keren. Penampilannya yang sedikit selengean membuatnya terlihat keren.
"Ngomong-ngomong, minggu jam berapa pentasnya, Dhis?"
"Jam sepuluh pagi."
Shaka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Busyet, gasik amat. Udah bangun belum aku, ya." Ia tertawa renyah.
"Nggak nonton juga nggak papa, Mas." Gendhis menimpali.
"Becanda, Dhis. Udah bangun kok aku. Aku sih orangnya rajin bangun pagi."
Gendhis terbahak. Kesannya terhadap Shaka, pembawaannya santai, dan orangnya cukup ramai. Ia yakin, Shaka adalah seseorang yang mudah akrab dengan orang lain. Yang ia heran, tentang pentas hari minggu, Shaka berbicara seakan-akan dirinyalah yang mengundang pemuda itu untuk datang. Padahal, itu adalah ide Shaka sendiri.
"Aku masuk dulu, Mas." Gendhis berpamitan saat tiba di depan gerbang bercat hijau muda.
"Oh, di sini sekolahnya." Shaka mengangguk-angguk sambil melongok ke balik pintu gerbang yang tampak ramai dengan anak-anak balita yang berlarian ke sana kemari.
"Mari, Mas," ucap Gendhis seraya mendorong pintu gerbang.
"Dhis!" panggil Shaka. "Selesai ngajar jam berapa?" tanyanya.
"Jam dua."
"Owh, okay."
Gendhis menganggukkan kepala. "Mari," ucapnya lagi.
"Eh, Dhis!"
"Ya?" Gendhis mengurungkan niatnya untuk menutup pintu gerbang.
"Jangan lupa diganti tuh roda motor kamu. Udah tipis banget. Bahaya. Kalau bocor lagi terus jauh dari tukang tambal ban kan repot."
Gendhis tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian gadis itu memutar badan dan melangkah memasuki halaman sekolah.
Sementara Shaka tidak langsung berlalu. Ia memperhatikan gadis itu dari sela-sela teralis gerbang. Terlihat Gendhis tengah melerai dua anak yang sepertinya sedang bertengkar. Satu menangis, dan gadis itu dengan sabar menenangkannya.
Shaka mengelus tengkuknya. Sambil tersenyum ia melangkah pergi. Menelusuri trotoar di depan pertokoan yang ramai. Cukup jauh jaraknya ke bengkel jika berjalan kaki. Pikirnya, kenapa ia mengikuti Gendhis sampai ke sekolah tempatnya mengajar?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Emi Wash
karn ada sesuatu...
2024-01-04
0
Ersa
laahh embuh
2023-06-01
0
Ide'R
Shaka..Gaskeunlah..🤭🤭🤭
2022-10-03
0