3.

Aku mendengar banyak suara langkah kaki mendekat, keributan seketika terjadi. Aku juga merasa diriku diangkat, sepertinya aku dibawa masuk ke dalam. Suara perempuan menangis terdengar jelas dari belakang, mungkin dia menangis sambil mengikuti orang yang menggendongku. Suara tegas memerintahkan agar aku dan anak itu ditempatkan di kamar yang sama, aku cukup senang dengan putusan itu. Bagaimana pun aku bisa mengetahui kalau anak itu sadar dan apa saja yang orang-orang bicarakan selama aku berpura-pura tak sadar.

"Bagaimana ini, pa? Yang mana cucu kita yang asli?" ah, jadi yang menangis tadi rupanya nenek anak ini.

"Kita pikirkan itu nanti, lagipula dunia kedokteran sudah maju, kita bisa melakukan tes pada mereka berdua. Sekarang, kita harus membiarkan mereka diobati dulu!" sial, aku lupa akan hal itu. Ayolah, apa tak ada yang bisa dijadikan bukti tanpa harus mengikuti tes. Bisa-bisa aku gagal kalau itu terjadi.

Selesai diobati, baju kami diganti. Orang yang membantuku mengganti pakaian pun memanggil majikannya. "Nyonya, nyonya, lihat ini." hampir saja aku mengumpat kalau aku tak ingat harus terus berpura-pura pingsan. Bagaimana tidak, dengan bodohnya wanita itu berteriak di dekatku. Mendengar dia memanggil si nenek dengan sebutan nyonya, dia pasti pelayan. Akan kuingat suaranya dan kubalas nanti.

"Jangan berteriak!" bagus kek, kakek telah mewakili apa yang ingin kulakukan.

"Ada apa, Tin?" giliran suara si nenek yang kudengar.

"Maaf sudah mengagetkan tuan dan nyonya, tapi saya menemukan ini di tangan tuan kecil ini. Bukankah ini mirip seperti milik tuan muda yang ada di foto, maksud saya foto besar yang dipajang di ruang keluarga, nyonya."

Suara langkah terburu-buru, mungkin kedua pasangan itu tak sabar untuk melihat benda yang dimaksud pelayan yang berteriak tadi. Ho-ho, pilihan yang tepat mengambil kalung anak itu.

"Ha-ah, sekarang kita berdua tak perlu repot-repot melakukan tes. Tanpa dites pun kita bisa menebak dengan pasti siapa cucu kita di antara mereka berdua, bukan?!" aku tersenyum puas dalam hati, kalau begini semua akan berakhir sesuai keinginanku. Sebenarnya masih ada satu masalah, kalau anak di sebelahku ini sadar dan ingat semuanya. Maka aku harus mengarang cerita yang sekiranya masuk akal. Namun, kalau dia lupa segalanya. Itu akan menjadi peluang untukku bertukar posisi dengan dirinya.

"Akhirnya, akhirnya, kita menemukan Rama kecil kita, pa!" astaga, apa aku akan menjadi calon cucu dari perempuan yang cengeng ini. Kenapa semua harus dilakukan sambil menangis, ngomong ini nangis, bilang itu nangis, dikit-dikit nangis. Padahal tangisan tak memberikan solusi apa pun.

"Ya, dan kita akan menjaganya mulai sekarang!"

"Ayo kita bicara dengan dokter tadi. Biarkan mereka berdua istirahat!" akhirnya, semua orang tadi keluar juga. Aku sedikit lelah terus-terusan memejamkan mata.

Aku menengok ke samping, melihat Rama yang ada di sebelahku dengan wajah datar. "Kuharap kamu segera bangun agar aku bisa tahu jalan cerita mana yang harus kulalui!" gumamku pelan. Sebut saja aku egois, aku tak peduli. Keegoisan itu diperlukan untuk bisa tetap hidup di dunia yang kejam. Aku memang tak banyak tahu tentang dunia terang, tetapi bagiku semua dunia sama. Aku harus memikirkan diriku sendiri terlebih dahulu, jangan mau dibodohi dengan rasa iba yang menjerumuskan ke lubang pengkhianatan.

"Jika dewa itu memang ada, biarkan semua berjalan. Biarkan aku yang menjadi 'Rama' di sini!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!