#Dibuang_Seperti_Sampah
#part_3
***
Amplop lagi..amplop lagi!!! Rasanya aku mau meneriakkan kata-kata tersebut sekencang-kencangnya. Tapi apa daya, aku hanya berteriak dalam hati.
Kenapa harus selalu berurusan dengan amplop yang membuatku kecewa? Bukan masalah jumlah uang yang berada di dalam amplop tersebut, bukan!. Tapi, bagaimana bisa mereka masih memikirkan hal serendah itu disaat kondisiku yang tak berdaya.
Ya Tuhaaaan... Terbuat dari apa hati ibu mertuaku dan suamiku itu?
Masih kuingat betul, setelah perhelatan pesta pernikahanku dengan mas Zaka, keesokan harinya mertuaku memberikan sejumlah uang dan barang-barang. Beliau berkata itu adalah uang amplop dan kado dari teman-temanku dan mas Zaka.
Aku hanya melongo begitu ibu mertuaku menyerahkan uang dan barang-barang tersebut. Sebenarnya aku kecewa, kenapa ibu mertuaku tidak mengajakku atau mas Zaka saat membuka amplop dan kado tersebut? Bukan aku tidak percaya, hanya saja, saat itu aku merasa semua uang dan kado tersebut adalah hutang yang harus dikembalikan saat teman-temanku menikah nantinya.
Saat mengetahui jumlah uang yang diberikan oleh mertuaku, yang menurutku tidak seberapa, lagi-lagi aku tidak mempermasalahkannya. Meskipun dengan jabatanku di kantor, banyaknya nasabah dan teman-temanku yang menghadiri pesta, aku merasa jumlah yang di berikan ibuku jauh dari semestinya.
Sabar... Batinku. Apalagi aku baru menjadi bagian dari keluarga ini, jadi aku tidak mempermasalahkannya. Biarlah, toh kalau masalah uang masih bisa dicari, jangan sampai karena masalah uang, keluarga jadi ribut. Apalagi saat itu ibu mertuaku menyambut baik kehadiranku di keluarganya.
Bodoh, kuakui aku bodoh.
Sekarang aku masih menangis tak henti-henti setelah ibu mertuaku dan mas Zaka pulang. Berkali-kali tante Sukma menenangkanku sambil memeluk, mengusap rambutku, dan menggenggam tanganku, tetap tidak dapat menghentikan tangisku.
Akhirnya tante Sukma membiarkanku meluapkan semua kesedihanku. Saat itu rasanya ingin sekali aku menceritakan semua tentang perlakuan ibu mertuaku dan mas Zaka kepada tante Sukma. Tapi...lagi-lagi aku tidak menceritakan hal tersebut. Aku masih berharap ada itikad baik dari mas Zaka, apalagi ada Azka, buah cinta kami.
Semuanya aku pendam sendiri, sambil terus berdoa semoga ibu mertuaku dan mas Zaka kembali bersikap baik, bukankah Tuhan maha membolak-balikkan hati hambanya?Apalagi, bukankah aib rumah tangga tidak boleh diumbar? Bodoh, masih saja aku berfikir, mungkin seperti ini yang seharusnya dilakukan istri sholehah!
Setelah dilihat aku mulai sedikit tenang, tante Sukma pamit pulang, karena hari sudah semakin malam. Sebelumnya aku sudah sms mas Dika, agar dia tidak perlu menjagaku malam ini. Karena saat ini, aku hanya ingin sendiri.
Aku hanya butuh waktu berfikir. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?. Apakah harus bercerai?. Bagaimana nasib Azka?. Dia masih terlalu kecil. Apa akibatnya jika Azka kehilangan sosok ayahnya diusianya yang masih terlalu dini?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seakan-akan berputar-putar di kepalaku.
Dulu setelah perkara masalah gaji, aku pernah berniat mengajukan cerai. Apalagi aku sudah tidak tahan dengan sikap mas Zaka yang kasar. Sebenarnya kalau saja saat itu dia jujur, tetap bersikap baik kepadaku, aku tidak mempermasalahkan soal gaji dia dan nafkah lahir.
Tetapi seakan takdir Tuhan berkata lain, saat aku hendak mengajukan cerai, aku dinyatakan positif hamil, akupun mengurungkan niatku untuk bercerai. Mas Zakapun perlahan mulai perhatian lagi, seperti sekedar membantuku di dapur, atau menyapu halaman rumah ketika hari libur, sudah membuat hatiku berbunga-bunga. Akupun sangat bersyukur, seolah Tuhan menjawab semua doa-doaku.
Mas Zakapun mulai semangat mencari pekerjaan yang lebih baik lagi. Sampai akhirnya, dia di terima di sebuah perusahaan bonafide di daerah Jakarta Selatan.
Meskipun sudah bekerja di perusahaan bonafide, mas Zaka tetap tidak memberikan uang sepeserpun kepadaku. Ya..lagi-lagi menurut mas Zaka, hutangnya kepada ibunya belum lunas.
Akupun tidak keberatan, selama mas Zaka masih bersikap baik layaknya seorang suami, toh selama ini aku masih bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga kecilku. Menurutku cukup, yang terpenting mas Zaka sudah kembali seperti dulu.
Beberapa bulan bekerja di daerah Jakarta Selatan, mas Zaka di mutasi ke Medan. Awalnya aku keberatan, apalagi saat itu kehamilanku sudah mulai membesar. Mas Zaka meyakinkanku, kalau kesempatan untuk naik jabatan semakin terbuka kalau dia bersedia di mutasi ke Medan. Lagipula, mas Zaka juga bilang, dia ingin segera terbebas dari hutang ibunya.
Akhirnya dengan berat hati aku melepas mas Zaka kerja di Medan. Semenjak mas Zaka bekerja di Medan, Mas Zaka tetap perhatian, selalu memberi kabar dan menanyakan kabarku dan calon bayi kami.
Hanya saja, aku merasa semenjak kepergian mas Zaka ke Medan, aku merasa ibu mertuaku dan kakak iparku bersikap seenaknya kepadaku, mereka seperti lintah yang menghisap darahku perlahan-lahan.
Ada saja yang mereka minta dan mereka ambil seenaknya dariku. Bodohnya saat itu aku seakan sulit untuk sekedar menolak, atau mengatakan tidak atas apa yang mereka lakukan. Untuk berkeluh kesah kepada mas Zaka tentang kelakuan mereka, aku sungkan. Aku takut menambah beban pikiran mas Zaka. Apalagi saat ini hubunganku dengan mas Zaka sedang baik-baik saja.
Menurutku mas Zaka pria yang baik, hanya saja, terkadang dengan dalih bakti terhadap ibunya, mas Zaka tidak dapat memilah mana yang harus di lakukan, dan mana yang seharusnya tidak perlu dilakukan.
Pikiranku seperti benang kusut, aku bingung harus memulai darimana untuk menguraikan benang kusut tersebut. Kepalaku rasanya mau pecah. Ya Tuhan...bantu hamba...
🌺🌺🌺
Esok harinya, aku kaget ketika mba Tuti datang menjengukku, dari kejauhan aku melihat matanya yang sudah berkaca-kaca. Seakan sulit di bendung, airmatanya luruh begitu duduk di samping ranjangku.
"Ya Allah Sha... Kok sampe kaya gini? Maafin mba, baru bisa jenguk... Ini aja mba bohong sama ibu." Tangisnya pecah sambil terus memperhatikan keadaanku.
"Maaf ya Sha, mba bukan gak mau jagain Azka, tapi ibu melarang. Tau sendiri kan, mba gak bisa apa-apa, karena mas Yusuf masih pengangguran, dan keluarga mba masih numpang makan sama ibu."
"Dari awal mba kan sudah memperingatkan kamu, jangan terlena sama sikap baik ibu, tapi kamu nggak percaya."
"Maaf mba..." Gumamku lirih...
Lagi-lagi aku menangis, menyesal rasanya baru percaya semua ucapan mba Tuti. Dulu berkali-kali mba Tuti memperingatkanku perihal ibu mertua, tapi dulu aku tak pernah menggubris ucapannya, hanya ku anggap angin lalu.
"Maaf Sha, mba bukan marah sama kamu, mba cuma sedih melihat kamu seperti ini. Mba pikir, cukup mba aja yang mendapat perlakuan seperti itu, jangan kamu." Ucapnya sambil menghapus air mataku.
Masih ku ingat bagaimana ibu mertuaku memperlakukan mba Tuti sudah seperti layaknya pembantu, bukan menantu. Bahkan, acapkali mba Tuti makan makanan sisa dari ibu mertuaku.
Tapi tak pernah sedikitpun aku melihat mba Tuti mengeluh, pernah aku menanyakan perihal perlakuan ibu mertuaku kepada mba Tuti. Dia bilang, apa yang bisa mba lakukan? Sementara mba sudah nggak punya orang tua, nggak punya saudara, karena mba Tuti anak tunggal. Bahkan satu-satunya warisan peninggalan orangtuanya pun, di kuasai oleh ibu mertuaku.
Sungguh hatiku sangat teriris mendengarnya. Terlebih, anaknya mba Tuti, acapkali hanya menatap aneh pada makanan yang selalu aku berikan kepadanya. Mba Tuti bilang, maklum saja, mungkin karena Fika jarang makan enak.
"Ngapain lagi keluarga gak tau diri dateng ke sini? Cari amplop?." Ucapan tante Sukma dari depan pintu membuyarkan lamunanku, kulihat raut wajah mba Tuti pun terlihat kikuk.
"Tante!." Ucapku sambil melirik tajam kepada tante Sukma.
"Kalo gitu mba pamit aja Sha, takut ibu curiga." Ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Mba cuma bisa bawa ini." Mba Tuti meletakkan kotak perhiasanku di sisi ranjangku.
"Kemarin mba lihat ibu agak emosi setelah pulang jenguk kamu. Makanya mba bawa ini, takut kejadian seperti mba dulu, susah meminta hak kita kalau sudah di tangan ibu." lanjutnya sambil tertawa yang dipaksakan.
"Makasih mba." Jawabku lirih.
Mba Tuti segera meninggalkan ruang perawatanku, dan sedikit menganggukkan kepala begitu berpapasan dengan tante Sukma. Kulihat tante Sukma merasa bersalah.
"Gak apa-apa tante... Mba Tuti pasti maklum kok". Ucapku sambil tersenyum.
***
Menurut dokter, setelah pemasangan beban kemarin, dirasa cukup baik perkembangannya. Alhamdulillah, dokter bilang panjang tungkai kakiku sudah sama. Sehingga, akan dilakukan operasi lanjutan yang kedua, dan alhamdulillah operasinya berjalan dengan baik.
Setelah operasi kedua, badanku perlahan bisa di gerakkan miring ke kanan dan ke kiri tanpa bantuan orang lain, meskipun terkadang masih terasa nyeri, tapi aku tetap berusaha. Aku harus semangat demi Azka.
Kak Yanti rajin mengirim foto dan video Azka, aaah bayi mungil itu...sungguh menggemaskan!. Ummi juga setiap hari menelfon, memberikan semangat kepadaku.
Ummi, bukannya dia tidak mau ikut bergantian menjagaku di rumah sakit. Sebelum ayahku meninggal, ummi terkena penyakit Glukoma, yang mengakibatkan beliau mengalami buta permanen.
Semakin hari, alhamdulillah keadaanku semakin membaik, aku sudah mulai bisa duduk. Meskipun masih perlu di bantu. Tak terasa sudah sudah hampir 2 bulan aku di rumah sakit.
Aku bersyukur kantor tetap membayar gajiku, sehingga aku masih bisa membayar semua keperluan Azka, keperluanku selama di rumah sakit, dan membayar beberapa tagihan rumah sakit yang tidak di cover asuransi.
Selama itu pula aku tidak pernah memikirkan mas Zaka, aku sudah bertekad untuk berpisah dengannya. Karena nyatanya, tidak ada itikad baik dari mas Zaka dan keluarganya.
***
Setelah keadaanku telah benar-benar pulih, aku memutuskan membeli rumah kecil, yang lokasinya dekat dengan kantor. Aku juga sudah menemukan asisten rumah tangga yang bisa menjaga Azka, mba Cici namanya. Bukannya kak Yanti sudah tidak mau mengasuh Azka, hanya saja, semenjak kak Yanti mengalami keguguran, aku merasa bersalah. Karena aku tahu kak Yanti sudah sangat mendambakan kehadiran buah hati yang keduanya, karena anak pertama kak Yanti sudah berusia 8 tahun.
Hari-hari ku lalui dengan sangat bahagia. Tidak terasa Azka sudah berusia 1 tahun. Ada saja tingkah lucunya setiap hari. Aku juga sudah mengajukan gugatan ceraiku di pengadilan agama Jakarta Barat. Hanya tinggal menunggu surat panggilan sidang saja.
Hingga suatu ketika, aku melihat kembali sosoknya berdiri di depan rumahku... Entah darimana dia tahu tempat tinggalku.
"Mas Zaka..." cicitku menyebut namanya.
"Ada perlu apa ke sini?"
"Boleh mas masuk dulu?" Dia bertanya tanpa menjawab pertanyaanku.
Setelah mempersilahkan mas Zaka masuk, aku memanggil Azka, biar bagaimanapun, mas Zaka adalah ayahnya. Entah mengapa, Azka menangis setelah di peluk mas Zaka. Akhirnya, mba Cici membawa Azka main keluar untuk meredakan tangisnya.
"Ada perlu apa mas?" Tanyaku mengulang pertanyaan yang belum di jawab.
"Aku kangen sama Azka... Juga kamu." Jawabnya sambil menatap mataku.
Kangen? Kemarin kemana aja mas? Tanyaku dalam hati. Aku memutar bola mataku jengah.
"Sebentar, aku buat minum dulu" ucapku sambil beranjak menuju dapur.
Tetapi, sebelum langkah kakiku sampai ke dapur, tanganku di tarik paksa menuju kamar.
"Mas Zaka!!!" Teriakku berusaha melepaskan cengkraman tangan mas Zaka. Tapi usahaku sia-sia. Mas Zaka langsung mendorong tubuhku ke atas kasur, dan mengunci rapat pintu kamar.
🌺🌺🌺
Kritik dan sarannya... Terima kasih 🙏.
Banyak yang comment Aisha ini bodoh 😂, bersyukurlah...mungkin readers di sini belum pernah merasakan buta karena cinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Olla Tulandi Jom
ditendang saja kemaluannya biar nyahooo
2022-10-24
0
Umatul Aida
eee ada perempuan dodol siang malam ayo sya tunjukin kepintaran mu
2022-02-18
0
Yeni Kurniati
bener" bodoh
2021-09-22
1