Dibuang Seperti Sampah
#Dibuang_Seperti_Sampah
"Sha, ibu minta uang tujuh juta. Katanya kemarin itu bayar uang jaminan rumah sakit pake uang ibu hasil menggadaikan emasnya."
Dadaku terasa begitu sesak mendengar ucapan mas Zaka.
"Ya Allah mas, aku ini masih nggak berdaya di rumah sakit, kok tega kamu sudah meminta uang!." Bibirku bergetar mencoba menahan tangis.
"Soalnya besok ibu ada kondangan, malu katanya kalo kondangan tapi nggak pake perhiasan." Ucapnya lagi tanpa merasa bersalah.
"Astaghfirullah..." Batinku.
"Kamu jual aja motor yang kamu pakai, itu kan aku yang beli."
Aku ingat bagaimana mas Zaka membujukku untuk membelikannya motor. Alasannya, daripada suntuk di rumah sebelum mendapat pekerjaan, mas Zaka memutuskan untuk bekerja sebagai ojek motor sementara waktu.
"Sha, gimana kalo mas ngojek aja. Daripada bengong aja di rumah, Azka kan sudah ada mba Tuti yang jagain."
"Ooh ya udah, bagus mas kalo gitu. Biar kamu punya kesibukan."
"Tapi..."Ucapnya terhenti.
"Tapi apa mas?."
"Motornya kan udah tua, takut nanti mogok pas bawa penumpang, kemarin aja mogok pas jemput kamu."
Lagi-lagi aku hanya bisa meng-iya-kan kemauan mas Zaka.
"Ooh ya udah, beli aja mas."
"Kamu punya tabungan nggak Sha?."
"Loh, kok aku sih mas? Tabungan kamu kemana? Selama kamu kerja di Medan, kamu nggak pernah loh transfer gaji kamu." Tanyaku sambil menatap mata mas Zaka, berusaha mencari tahu kebenaran kemana gajinya selama ini.
"Hutangku sama ibu kan banyak Sha... Itu kan juga buat kamu..."
Aaaah itu lagi... Hutang itu lagi yang selalu dijadikan mas Zaka alasan untuk tidak pernah memberiku nafkah lahir.
Ketika menikah dengaku, mas Zaka memberiku sejumlah uang tunai, beberapa gram mas kawin , dan isi rumah lengkap. Seperti tv, kulkas, tempat tidur, lemari, meja rias dan lainnya. Tidak mewah, tapi sudah lebih dari cukup untuk pasangan baru menikah, pikirku.
Padahal aku tidak pernah memintanya, tapi mas Zaka yang memberikan. Sontak aku melambung tinggi terbuai dengan usaha mas Zaka ketika ingin menikahiku.
Tetapi ketika aku masih melambung tinggi, aku langsung terperosok ke dasar jurang setelah mengetahui kebenarannya.
Semua yang mas Zaka berikan kepadaku itu, hutang kepada Ibunya. Apalagi aku baru mengetahuinya setelah menikah, semua gaji mas Zaka habis untuk membayar hutang kepada ibunya. Tidak ada sepeserpun yang mas Zaka berikan kepadaku.
Aneh, itu yang pertama kali terlintas di benakku. Bagaimana mungkin ketika seorang anak ingin menikah, orang tuanya bukan membantu si anak, tetapi malah memberikan pinjaman. Seandainya saat itu mas Zaka jujur belum ada uang, akupun tidak keberatan dengan apa yang dia berikan seadanya, tanpa perlu berhutang kepada ibu.
Lagi-lagi aku naif, berfikir kalo sudah berumah tangga, rezeki bisa datang dari mana saja, bisa dari suami, istri, ataupun anak.
Jadi selama menikah, semua biaya keperluan rumah tangga, seperti listrik, belanja bulanan, air, membayar mba Tuti, membayar asisten rumah tangga, semua aku yang bayar. Selama itu pula aku tidak mengeluh.
"Sha, jadi gimana? Ada gak uangnya? Nanti aku cicil deh dari uang hasil ojek." Bujuknya sambil menaik turunkan kedua alisnya bersamaan.
Lagi-lagi aku menyerah. Keesokan harinya, aku langsung membelikan motor keluaran terbaru untuk mas Zaka. Meskipun kenyataannya, tidak pernah sedikitpun dia berniat mengembalikan uangku.
"Terus nanti aku pake apa?." Bentaknya membuyarkan lamunanku.
"Mas, aku ini masih sakit, baru kemarin aku masuk rumah sakit. Itupun karena kamu. Masa kamu tega mas? Aku juga belum tau berapa lama di rumah sakit. Kamu kan bisa pake motor yang lama." Aku menghela nafas panjang, berusaha mengenyahkan rasa sesak di dada.
"Aaargggh, motor yang lama sudah aku jual!. Nyusahin aja kamu jadi orang!." Ucapnya sambil berlalu meninggalkanku di ruang perawatan.
"Astaghfirullah... Kuatkan aku ya Allah." Tak terasa air mataku mengalir tanpa permisi. Baru beberapa hari aku di rumah sakit, sudah begitu banyak perubahan sikap suami dan keluarganya.
Karena belum mendapatkan pekerjaan, kemarin seperti biasa mas Zaka menjemputku pulang kerja. Setiap jam lima sore, jalanan memang terlihat selalu padat. Mungkin karena hampir semua pegawai kantoran pulang di waktu yang bersamaan, sehingga semua berlomba untuk cepat sampai ke rumah.
Mas Zakapun seolah tak mau telat sampai rumah, dia memacu kuda besinya dengan cepat. Berkali-kali aku mengingatkannya untuk mengurangi kecepatan, tetapi hanya di anggap angin lalu.
"Mas, naik motornya jangan terlalu kencang, inget Azka di rumah nungguin kita." Ucapku agak sedikit berteriak, karena motor yang melaju terlalu kencang membuat suaraku seperti terbawa angin, nyaris tidak terdengar mas Zaka .
"Pegangan aja, gak usah bawel!. Ini aku cepet juga karena kasian Ibu cape jagain Azka di rumah."
Astaghfirullah... Kenapa ibumu harus cape? Aku sudah minta tolong mba Tuti untuk menjaga Azka. Mba Tuti itu kakak iparku, dia istri dari Kakak pertamanya Mas Zaka.
Mas Zaka sendiri merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, Kakak laki-laki pertamanya bernama Yusuf, kakak perempuannya yang nomor dua bernama Ima, dan kakak perempuannya yang nomor tiga bernama Ika.
Waktu itu aku berniat mencari pengasuh untuk Azka, tapi ibu mertuaku bilang, biarlah mba Tuti yang menjaga Azka, karena suaminya saat itu masih pengangguran. Bukankan lebih baik saudara sendiri yang mengasuhnya, daripada orang tak dikenal? Begitu kata ibu mertua meyakinkanku. Akupun menyetujui usul ibu mertuaku, kupikir...hitung-hitung bantu saudara juga.
Sedangkan mas Zaka, dia menjadi pengangguran baru enam bulan terakhir, sebelumnya dia bekerja di kota Medan, tapi dengan alasan rindu anak dan tidak bisa jauh dari keluarga, dia memutuskan berhenti kerja.
Saat itu aku tidak keberatan, karena aku juga bekerja, dan kurasa gajiku cukup untuk keluarga kecilku. Sungguh naif memang pemikiranku saat itu.
Aku hanya menarik nafas, sambil melafazkan zikir-zikir dan doa sepanjang sisa perjalanan ke rumah.
Tapi naas, saat mas Zaka mau menyalip, ada mobil angkot dari arah belakang dan menyerempet motor mas Zaka. Alhasil aku terjatuh ke sisi kanan jalan, sedang mas Zaka jatuh ke sisi kiri jalan.
Celakanya ketika aku jatuh, di belakang ada mobil pick up melaju kencang. Karena tidak sempat menghindar, akupun tertabrak mobil pick up tersebut.
"Aisha!!!."Teriak mas Zaka menghampiriku, kemudian menepuk pipi kanan dan kiriku, mencoba membuatku tetap tersadar.
Setengah sadar, aku merasa banyak orang berkerumun, yang aku ingat hanya wajah mungil Azka...anakku.... Hingga akhirnya semua menjadi gelap.
***
"Suamimu mana Dek?." Aku melihat kak Yanti datang sambil membawa 2 tas plastik besar, yang entah apa isinya.
"Mungkin pulang ke rumah ibu mandi dulu kak." Ucapku berkilah.
"Halah...kamu dek, suami malas begitu masih aja di bela." Setelah sibuk menata barang yang di bawa, kak Yanti membantu memiringkan badanku ke kanan.
Setelah kecelakaan, badanku memang sulit di gerakkan, jangankan untuk duduk, untuk miring ke kanan dan ke kiri saja harus di bantu.
"Operasinya jam berapa dek?."
"Jadwalnya sih jam 10, doain lancar ya kak."
"Iya, semoga lancar operasinya nanti, dan kamu sehat seperti semula." Kak Yanti membelai rambutku lembut, seakan memberi semangat.
Akibat kecelakaan kemarin, mengakibatkan kakiku patah dan mengalami pergeseran. Ujung tulang yang patah bergeser, karena adanya tarikan otot dari tungkai yang bersangkutan.
Karenanya, sebelum memasang pen, dokter terlebih dahulu melakukan pemanjangan tulang, agar setelah pemasangan pen, panjang kedua tungkai kaki tetap sama.
Langkah pertama adalah dilakukan operasi untuk memisahkan tulang yang over lap dan dilakukan penarikan menggunakan beban tertentu dan dilakukan penambahan beban secara berkala hingga tercapai panjang tungkai yang diharapkan.
Saat itu aku nggak peduli kalau nanti akhirnya aku akan sedikit pincang, karena panjang kaki yang nggak sama akibat kecelakaan. Yang kupikirkan saat itu, bagaimana caranya aku bisa cepat sembuh, bisa jalan seperti biasa, dan bisa menggendong Azka, anakku yang baru berusia 7bulan.
***
Setelah siuman, aku hanya melihat kak Yanti yang masih setia di samping ranjangku.
"Mertua sama suami lo ada di taman rumah sakit, karena Azka gak boleh masuk ruang perawatan." Kak Yanti berkata, seolah tau apa yang aku fikirkan.
Akupun hanya tersenyum mendengar ucapan kakakku.
"Terus, mertua lo juga bilang. Azka di rawat sama gue aja, katanya Mba Tuti sibuk!" Kudengar ucapan kak Yanti agak kesal.
"Gue rasa ya, mertua lo takut, kalo nanti loe gak bisa bayar ipar loe yang jagain Azka." Lanjutnya semakin emosi.
Aku berusaha menarik tangan kak Yanti, tapi sia-sia. Karena tangan kak Yanti agak jauh dari jangkauanku.
"Kak..." Kataku lirih... "Sabar aja." Cuma itu yang bisa keluar dari mulutku.
Kak Yanti mulai membenci mas Zaka, saat mas Zaka memutuskan berhenti kerja. Menurut kak Yanti, mas Zaka terlena dengan penghasilanku, jadi mereka mau hidup seenaknya dengan menggantungkan semuanya padaku.
Aku masih ingat saat mas Zaka menelponku, merajuk pulang ke Jakarta.
"Sha, mas pulang ke Jakarta ya... Semenjak Azka lahir, mas nggak konsen kerja. Kangen kamu juga Azka terus."
"Nanti mas janji, sampai di Jakarta, mas akan giat nyari kerjaan." Lanjutnya meyakinkanku.
Aku sebagai istri, saat itu hanya bisa mengiyakan kemauan suamiku. Karena aku tau, dengan atau tanpa izinku, dia tetap akan berhenti kerja. Karena selalu saja begitu, setiap keinginannya selalu harus terpenuhi.
Setibanya di Jakarta, mas Zaka memang semangat mencari kerja, mengirimkan surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Tapi sayang, keberuntungan belum berpihak kepadanya.
"Tuh, suami lo dah dateng. Kakak pulang ya, mungkin nanti mas Dika yang jenguk kamu. Karena kakak jaga Azka di rumah." Setelah mencium dahiku, kak Yanti meninggalkanku, dan mengacuhkan mas Zaka yang berpapasan dengannya.
Mas Zaka langsung menarik kursi dan duduk di sebelah ranjangku. Hening. Tak ada satupun kata yang keluar dari bibir mas Zaka. Bahkan, sekedar menanyakan bagaimana keadaanku setelah operasipun tidak.
Bagaimana bisa, orang yang dulu selalu meyakinkanku akan ketakutanku menjalin hubungan dengan laki-laki, sekarang bisa begitu acuh.
Apakah dia lupa dengan perjuangannya dulu meyakinkanku untuk menikah dengannya? Lupa dengan perjuanganku untuk mendapatkan restu dari ibunya?
Atau semua telah menguap setelah melihat kondisiku?. Entah...hanya mas Zaka dan Tuhan yang tahu jawabannya.
"Sha...". Ucapannya terhenti ketika aku berusaha menatap matanya.
"Hmm... Ibu bilang, aku boleh menceraikan kamu. Pokoknya semua terserah aku, maunya gimana ke depannya sama kamu."
Astaghfirullah...
🌺🌺🌺
Kritik dan sarannya ya...
Kalo banyak yang like dan comment nanti di lanjut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ailien
Ga usah aneh banyak kok orang tua seperti itu bahkan ongkos buat ket4 pernikahan anak saja di bebankan ke anak yg menikah.
2023-05-08
0
iin
Pengen nabok tuh laki dah, kagak tahu diri bgt 🤨
2021-12-18
0
Dyah Toktil Hermawaty
suami dzolim
2021-11-09
0