Bram tertidur entah berapa lama di atas lantai masjid itu, kelelahan secara fisik dan mental menderanya bertubi-tubi. Hidupnya telah berubah dalam satu malam. Dia benar-benar telah kehilangan segalanya, entah itu sally ataupun Diah. Cinta serasa menjauh, entah kemana tak ada yang mengerti tentang kehampaannya.
Tetapi, dalam gelayar kesedihannya ada sesuatu yang menghangat di sudut hatinya. Saat dia bersimpuh di subuh yang dingin mengucapkan do’a, di bawah bimbingan pak Syarif, laki-laki tua, marbot yang lembut hati itu, ada kehangatan yang menyelinap mengisi tempat-tempat kosong dalam jiwanya.
“Nak, bangunlah.” Jemari yang hangat itu menyentuh bahu Bram. Dengan berat, Bram membuka matanya, dia tertidur di sudut masjid itu dengan kaki yang di tekuk dan kepala bertopang di atas lututnya.
“Ini, sudah pagi. Bagaimana kalau nak Bram ke rumah bapak saja.”Tawarnya dengan suara yang halus.
“Oh, maafkan saya pak, saya akan pulang saja. Saya tidak ingin merepotkan bapak.” Bram menjawab dengan sedikit gelagapan, mengucek matanya dan menyeka rambutnya yang awut-awutan dengan pias malu.
“Tidak apa-apa, nak. Bapak senang kalau bisa membawa nak Bram bersilaturahmi ke rumah bapak. Pondok bapak ada di belakang masjid ini, kita bisa berjalan ke sana. Puteri bapak mungkin sudah merebus singkong, tentu sangat enak jika di makan dengan seduhan kopi panas saat pagi-pagi begini.” Pak Syarif merapikan pecinya sambil tersenyum ramah.
“Tapi…”
“Mari ikuti bapak.”
Sepertinya pak Syarif tidak menerima penolakan Bram, dia beranjak lebih dulu memberi isyarat untuk Bram mengikuti langkahnya.
Rumah Pak Syarif tidak besar dan kalau bisa di katakan sangat sederhana. Rumah itu, di bagian depannya ada teras yang cukup besar, dengan lantai tanpa keramik, hanya lantai polos yang diplester seadanya. Di atas lantai itu di gelar tikar, sepertinya teras itu sering di gunakan untuk berkumpul.
Pintu rumah terbuka lebar sehingga nampak ruang tamu yang tak seberapa besar dimana ada kursi dan meja kayu yang tertata rapih.
Selebihnya ke arah dalam, Bram tak bisa melihatnya lagi karena di batasi gorden.
“Mari masuk, nak…”
“Di sini saja, saya duduk di luar saja.” Jawab Bram dengan rikuh, keramahan pak Syarif sungguh membuatnya medrasa tak nyaman. Di era modern dan pergaulan Bram, dia tak pernah merasa di perlakukan dengan begitu baiknya.
“Baiklah…silahkan duduk, nak. Cari saja posisi senyaman mungkin meskipun hanya di lantai. Di sini Cuma ada tikar, biasanya tempat anak-anak datang dan belajar mengaji.” Pak Syarif mempersilahkan, badannya yang sudah menua itu tampak berjalan dengan sedikit berayun.
Bram menganggukkan kepalanya, dia mengucapkan terimakasih dan duduk bersila di atas tikar sambil merapat ke tembok. Rasanya sangat nyaman, apalagi di pinggiran rumah itu tersusun rapih beberapa pot bunga dengan daun yang lebar-lebar, meskipun Bram tak tahu apa namanya tetapi terasa sangat asri di pandang. Pada pekarangannya, di teduhi oleh pohon mangga yang sedang berbunga dan pohon rambutan yang buahnya masih hijau kecil-kecil.
Sungguh pemandangan langka yang pernah di lihat oleh Bram, dia merasa nafasnya begitu nyaman. Tempat ini benar-benar berbeda. Tidak jauh di depan, bangunan masjid yang tadi merupakan tempatnya singgah, berdiri kokoh meski dalam catnya yang sedikit memudar tetapi saat menatapnya jiwa Bram merasakan damai.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…”Pak Syarif mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”Sebuah jawaban datang dari seorang anak kecil, tak lama anak yang bersuara polos itu muncul, wajahnya tirus dengan baju kaos warna biru pudar dan celana pendek.
“Kakek, kakek sudah pulang…” Dia menyalami sang kakek, mencium dengan khidmat punggung tangan lelaki tua itu. Dari penampilannya, anak yang berumur 8 tahun itu baru saja mandi.
“Beri salam kepada pak Bram.” Nada itu meminta tetapi sangat tegas pada anak itu.
Anak itu menatap sesaat pada Bram lalu mengulurkan tangannya pada Bram yang memandangnya tak berkedip. Ingatannya melayang pada Beni, anaknya yang telah meninggal. Jika dia masih hidup mungkin sekarang usianya telah sama dengan usia anak ini dan besarnya tentu saja kurang lebih.
“Tito, Umimu mana?” Tanya pak Syarif, sambil berusaha duduk di atas tikar dengan di bantu oleh anak bernama Tito itu.
“Umi sedang mencuci baju di belakang.”
“Beritahu umimu, buatkan dua cangkir kopi untuk kakek dan tamu kakek.” Ujar pak syarif, tanpa menunggu dua kali, anak itu berlari ke belakang, suaranya terdengar sampai depan, menggema memanggil uminya.
“Nak Bram ini rumahnya di mana? Kalau boleh bapak tahu?” Tanya pak Syarif. Bram menyebutkan alamat rumahnya dan pak Syarif mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah dia tahu alamat yang disebut oleh Bram.
“Tampaknya kamu sedang menanggung beban yang sangat berat, nak. Laki-laki jarang meneteskan airmata jika tidak karena beban yang menghimpit dadanya sedemikian dalamnya.” Pak Syarif menatap pada Bram, lekat.
“Maafkan aku, telah membuat bapak melihatku begitu cengeng sebagai laki-laki.” Sahut Bram, wajahnya memerah dan kemudian tertunduk malu.
“Nak,, menangis itu bukan berarti cengeng, lemah, rapuh dan rentan. Setiap mahluk Allah, berhak untuk menangis entah laki-laki atau perempuan, anak-anak, tua maupun dewasa. Bahwasanya Dialah Yang menjadikan manusia itu tertawa dan menangis. Jadi siapa yang membuat manusia menangis? Jawabannya Allah, dengan segala prosesnya yang rasional, menangis adalah hal yang wajar. Jadi jika kita merasa sesak dan ingin menangis, menangislah...jangan malu.” Pak Syarif melemparkan senyum tipis pada Bram.
“Bahkan nak Bram, sesungguhnya bahwa Allah sangat senang jika melihat hambanya menangis. Namun, menangis seperti apa yang sangat disukai oleh Tuhan? Yaitu tangis seorang hamba yang dipenuhi dengan sesal dan taubat, tangis seseorang yang takut kepada Allah. Saat seseorang terfikirkan apakah hidupnya sudah sesuai antara apa yang diberikan Allah kepadanya dengan apa yang dia perbuat untuk Allah, kemudian dia menangis, karena apa yang dia berikan dalam bentuk pengabdian kepada Allah ternyata jauh lebih sedikit, bahkan tidak terlihat sama sekali. Tangisan seperti ini adalah tangisan yang mulia karena berdampak pada seseorang untuk selalu ingin memperbaiki dan terus memperbaiki dirinya di hadapan Allah. Rasulullah pernah bersabda, Andaikata kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu semua akan sedikit tertawa dan banyak menangis ”
Bram terdiam, matanya terpekur menatap pada lelaki yang beru di kenalnya beberapa jam yang lalu itu. Betapa tenangnya saat dia mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut lelaki tua yang ramah dan baik hati ini.
Terimakasih sudah membaca novel ini dan selalu setia, kalian adalah kesayangan othor🤗 i love you full....
Jangan Lupa VOTEnya yah untuk mendukung novel ini, biar othor tetap semangat menulis😂🙏🙏🙏
...VOTE, LIKE dan KOMEN kalian selalu author nantikan, ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Nenti iis Fatimah
hati pasti jadi tenang kalo berada diantara orang² sholeh
2022-07-21
2
Khairuna Una
Alhamdulillah... akhirnya si Bram dpt hidayah dan masih diberikan kesempatan utk bertaubat kpd Allah.... semangat Bram...
2022-07-09
1
Bunda'ne Aqila
taubatan nasuha Bram
2022-04-23
1