*Dira*
“Berengsek!” Aku membanting tasku ke atas sofa.
Walaupun aku sudah mengomel sepanjang perjalanan pulang dari restoran tadi, sampai telinga Kak Hadi memerah, hatiku masih panas. Colin berani datang ke acara ulang tahun Kak Roger, teman seangkatannya di kampus, membawa gadis itu.
“Wo wo wo … Hati-hati dengan lidahmu, Dira. Kamu bisa mendapat masalah kalau bicara kasar.” Kak Hadi menghempaskan tubuhnya di sofa, lalu mengangkat kakinya ke atas meja. Papa dan Mama tidak ada di rumah, jadi aku tidak takut ada yang akan memarahi aku bila bicara kasar.
“Aku tidak percaya dia melakukan ini padaku.” Aku ikut duduk di samping Kakak, lalu menyilangkan kedua tanganku di depan dadaku. “Pacar. Yang benar saja. Sejak kapan dia punya pacar? Tahun lalu saat dia kembali dari berlibur ke Amerika, dia tidak mengatakan apa pun tentang pacar.”
Colin dan Mila bertemu saat liburan musim panas. Mereka sering bepergian bersama dengan teman mereka di sana. Saat berpisah, mereka tetap menjalin komunikasi dengan baik. Colin kembali ke Indonesia selama hampir enam bulan dan dia baru mengatakan sekarang bahwa dia punya pacar?
Uncle Will dan Aunt Gista tidak mengatakan apa pun tentang gadis yang sedang dekat dengan putra mereka itu. Kami malah masih bersikap layaknya aku yang akan menjadi menantu mereka kelak. Apa yang membuat Colin berubah perasaan terhadap aku?
“Aku sudah bilang, jangan pamer fotomu bersama Liam dan Jax. Lihat, dia cemburu dan menjalin hubungan dengan gadis lain. Jangan bilang aku tidak memperingatkan kamu.” Kakak menggeleng pelan. Liam dan Jax adalah anak Uncle Xavier dan Aunt Annora.
Uncle Xavier adalah rekan bisnis Papa yang tinggal di London. Sejak kami kecil, kadang-kadang Papa mengajak Mama dan kami bertiga untuk ikut dalam perjalanan bisnisnya. Papa dan Uncle Xavier mendiskusikan tentang pekerjaan, kami berjalan-jalan keliling Eropa bersama Aunt Annora dan kedua putranya yang tampan.
Kunjungan terakhir kami ke London adalah libur musim panas tahun lalu. Tentu saja musim panas di sana tidak sama seperti negara empat musim lainnya. Kami tetap harus memakai pakaian berlapis atau setidaknya jaket, karena udara di luar ruangan cukup dingin. Meskipun Liam dan Jax sudah berusia tiga puluh dua dan tiga puluh tahun, mereka masih asyik melajang. Kami punya hubungan dekat karena kedua orang tua kami bersahabat. Tidak pernah ada asmara di antara kami.
Kakak menurunkan kakinya saat mendengar bunyi pintu dibuka. Bu Yuyun masuk membawa baki berisi minuman hangat dan roti isi. Aku membantunya meletakkan masing-masing mug ke depanku, Kakak, dan satu lagi sepertinya untuk Adi. Setelah berterima kasih, aku mengambil sepotong roti isi dan memakannya.
“Ada apa Nona pulang marah-marah begini?” tanya Bu Yuyun.
“Tunangannya selingkuh.” Kakak tertawa terbahak-bahak. Bu Yuyun menatap kami berdua dengan bingung. “Aduh, aduh. Ampun. Lepas, Dira. Cubitan itu sakit.”
“Biar Kakak tahu rasa. Dikhianati itu tidak enak!” kataku dengan mata memanas. Dia sepertinya melihat air mataku, karena kemudian dia mendekat dan memeluk aku.
“Hei, maafkan aku. Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya bercanda. Tolong, maafkan aku. Colin tidak akan selingkuh. Aku yakin ada kesalahpahaman di sini.” Kakak mengusap-usap punggungku.
“Bagaimana kalau dia memang mencintai gadis itu? Kakak lihat sendiri mereka sangat serasi. Apalagi dia punya rambut pirang dan mata biru. Itu ciri yang disukai laki-laki Amerika,” kataku putus asa.
“Cole itu hanya fisiknya saja Amerika, dalamnya Indonesia asli. Dia tidak mungkin melamar kamu sejak kita masih kecil dan menyebut kamu sebagai calon istrinya jika dia tidak mencintai kamu,” ucap Kakak berusaha untuk meyakinkan aku.
“Dia benar-benar jahat. Minggu depan adalah hari ulang tahunku, dan dia melakukan ini sekarang.” Aku menjauhkan diri dari Kak Hadi, lalu menyeka pipi dengan punggung tanganku. “Hanya tinggal menunggu tahun depan dan kami bisa menikah.”
Tahun depan aku akan genap berusia sembilan belas tahun. Usia minimal seorang perempuan bisa menikah menurut Undang-undang Perkawinan di Indonesia. Papa dan Mama tidak melarang aku untuk menikah muda asalkan tidak melanggar hukum, karena mereka tidak mau berurusan dengan komite yang melindungi hak anak.
Mereka percaya bahwa aku dan Colin sudah bisa bertanggung jawab atas hidup kami masing-masing, karena itu mereka memberi restu. Uncle Will dan Aunt Gista juga sudah memberi izin. Bahkan sudah lama hubungan kedua keluarga terjalin dengan baik.
Sejak kecil, Colin selalu bermain di rumah kami sampai ayahnya pulang kerja dan menjemputnya dari rumah kami. Aku tidak mengenal hari di mana aku tidak bersama dia dan Kakak. Aku bahkan sekolah di mana mereka bersekolah. Tetapi kami hanya bisa satu sekolah saat SD. Karena perbedaan usia kami tiga tahun, aku tidak bisa satu SLTP atau SMU dengan mereka.
“Selesaikan kuliahmu, baru pikirkan tentang menikah. Percayalah, ada banyak hal yang lebih indah daripada hidup hanya bersama satu orang seumur hidupmu,” kata Kakak sok bijak.
“Kata orang yang setiap hari memikirkan kekasih masa kecilnya.” Aku memutar bola mataku. Kak Hadi hanya tertawa. “Bu, silakan istirahat. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Sebentar lagi juga Colin akan datang dan berlutut di depanku meminta aku kembali.” Kakak tersedak makanannya.
“Aku tidak akan pernah terbiasa dengan sikap narsistikmu.” Kakak menyeka mulutnya dengan tisu.
“Baik, Nona. Panggil saja kalau butuh apa pun,” kata Bu Yuyun dengan sopan. Dia berjalan menuju pintu dan melompat kaget ketika seseorang tiba-tiba membukanya. “Ya, ampun, Tuan Muda!”
“Maaf, Bu. Maaf. Silakan Ibu yang keluar lebih dahulu,” kata Adi sambil menjaga pintu tetap terbuka dengan sedikit menundukkan badannya. Bu Yuyun tertawa kecil.
“Kamu bermain game terus, makanya menabrak orang. Apa tidak bisa sedetik saja lepas dari ponsel kamu itu?” omelku melihat adikku berjalan dengan santai menuju sofa di depanku. “Colin memang memberi pengaruh buruk padamu.”
“Berkat Kak Colin, aku bisa dapat uang banyak. Jadi, aku tidak perlu minta uang jajan lagi pada Papa dan Mama.” Dia menjulurkan lidahnya kepadaku.
Aku tidak tahu bagaimana bermain game bisa menghasilkan uang, tetapi Adi menunjukkan buku tabungannya di mana angka di sana bertambah terus setiap bulannya. Colin juga begitu. Menurut Papa, apa yang mereka lakukan itu legal dan tidak melanggar hukum. Wajar Papa tahu segalanya. Om Irwan selalu memeriksa setiap hal yang Papa laporkan kepadanya.
Sekalipun Papa sudah punya Aunt Gista sebagai asistennya di tempat kerja, Om Irwan melakukan lebih dari itu. Dia seorang yang ahli dalam hal IT, juga punya banyak anak buah yang bisa melakukan apa saja untuk menyelesaikan setiap pekerjaan yang Papa percayakan kepadanya. Umumnya, hal yang ada hubungannya dengan pengintaian, penyelidikan orang jahat, dan pemeriksaan masa lalu.
“Ada apa? Mengapa kalian sudah pulang?” tanya Adi sambil menggigit roti isinya. “Bukankah kalian pamit akan pulang agak malam? Ini masih jam delapan.”
“Ada yang sedang bertengkar.” Kakak menggerakkan bola matanya ke arahku, tanpa perlu menoleh kepadaku. Adi mengangguk mengerti, lalu kembali fokus dengan game yang sedang dia mainkan.
Setelah menghabiskan minuman dan beberapa potong roti, aku meninggalkan kedua saudaraku untuk menuju kamarku di lantai atas. Aku membaringkan tubuhku di atas tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. Bayangan wajah bahagia Colin saat mengobrol dengan gadis bernama Mila itu tampak jelas di hadapanku.
Mengapa dia melakukan ini? Mengapa dia memberi aku harapan, lalu menghancurkan hatiku begitu saja? Selama ini hubungan kami sangat baik dan kami sama-sama tidak menjalin hubungan akrab dengan lawan jenis. Aku hanya berteman dengan perempuan, dan dia dengan laki-laki. Lalu apa yang terjadi belakangan ini yang membuat dia berpaling kepada gadis lain?
Apakah ini karena aku mengusulkan agar pada hari ulang tahunku nanti, kami sekalian mengadakan acara pertunangan? Itukah yang dia takutkan? Aku memang bodoh. Mama sudah bilang agar aku pelan-pelan dan tidak terburu-buru. Inisiatif harus datang dari Colin agar hubungan kami bisa lancar. Dia yang melamar aku saat kecil, maka harus dia juga yang melamar kembali saat kami sudah besar.
Teringat dengan hal yang penting, aku segera mengirim pesan kepada Kak Hadi. Rahasiakan kejadian tadi dari Papa dan Mama.
Mengapa? Balasan dari Kakak datang dengan cepat.
Karena sahabat baikmu bisa mati di tangan Papa.
Bagus, dong. Kali ini dia membalas sambil membubuhi emoji menyeringai lebar.
Papa adalah orang yang sangat baik, tetapi jangan coba-coba cari masalah dengannya. Dia tidak segan menghancurkan siapa pun yang mengganggu hidupnya atau orang-orang yang dia sayangi. Sekalipun aku kecewa dengan apa yang Colin lakukan, aku tidak mau dia berhadapan dengan Papa.
Bangun pada pagi hari itu, aku bersiap untuk berolahraga bersama keluargaku. Rutinitas ini sudah kami lakukan sejak masih kecil, jadi bila tidak melakukannya akan terasa ada yang kurang. Aku pernah berhenti selama dua bulan penuh karena berduka setelah kepergian Ara, anjing Golden Retriever peliharaan kami. Dia meninggal pada usia dua belas tahun.
Setelah tiga tahun kepergiannya, kami merindukan ada teman lagi di rumah kami. Maka kami putuskan bahwa kami sudah siap untuk memelihara anjing lagi. Kami tetap memelihara anjing dengan jenis yang sama dan seekor Labrador untuk menjadi temannya. Keduanya anjing jantan dan kami terpaksa mengoperasi mereka agar tidak membuat betina mana pun bunting.
Kedua anjing itu sudah berusia satu tahun. Mereka baru berusia delapan minggu saat Papa dan Mama memberikan mereka pada hari ulang tahunku. Nama mereka adalah Black dan Gold. Sesuai dengan warna rambut mereka. Keduanya penyayang sekaligus haus kasih sayang.
“Aku dengar ada yang membuat putriku menangis semalam,” kata Papa saat kami sedang sarapan bersama. Aku menoleh penuh protes ke arah Kakak. Dia segera menggeleng pelan menandakan bukan dia yang mengadukan hal itu kepada Papa. Maka pelaku satu-satunya adalah saudara kami yang paling muda. “Jangan melihat ke arah Adi. Aku butuh jawaban. Apa yang sudah Colin lakukan?”
*****
Sementara itu di sebuah apartemen~
“Hatchii …!” Colin bersin untuk kesekian kalinya. Dia membuang napas lewat kedua hidungnya, lalu mengelap lendirnya dengan lengan bajunya.
“Pakai tisu, Colin!” Gista menyodorkan tempat tisu berwarna biru kepadanya. “Kamu sudah besar, jangan buang ingus di baju lagi.” Dia meletakkan tangannya di kening putranya itu. “Kamu tidak demam. Mengapa kamu dari tadi bersin begini?”
“Itu karena dia sudah berbuat dosa besar.” Lily duduk di samping Colin, lalu membuka kantong keripik kentang yang dibawanya.
“Dosa besar?” tanya Gista bingung. Dia meletakkan sepiring salad buah di atas meja di depan Will.
Lily melirik ke arah Colin sebelum menjawab, tetapi kakaknya bergerak lebih cepat. Dia segera membungkam mulut adiknya dengan tangannya. “Tidak ada apa-apa, Ma. Mungkin para fan sedang memikirkan aku, makanya aku bersin begini.” Colin menyeringai lebar.
“Bergaullah dengan manusia asli, Colin. Berhenti bergaul dengan para gamer itu,” omel Gista. “Dan jauhkan tanganmu dari adikmu.”
“Biarkan saja. Selama nilai kuliahnya baik dan lulus tepat waktu, biarkan dia bersenang-senang dengan caranya sendiri,” lerai Will. Dia meletakkan tangannya di leher istrinya. “Apa kamu lelah, sayang? Perlu aku pijat?”
“Ukh, Dad. Tidak perlu pakai bahasa Inggris. Kami berdua sudah paham apa maksud kode pijat yang sering kalian gunakan,” keluh Colin. Lily terkikik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments