Aku melihat baik-baik kamar yang dipilih oleh Sigit. Ini jauh lebih baik dari kamar yang biasanya dia pesan. Petugas hotel meletakkan koperku di atas rak yang ada di samping lemari pakaian, lalu pamit setelah memberi tahu di mana kunci kamar diletakkan.
Ini bukan pertama kalinya aku menginap di hotel, tetapi aku tidak mencoba untuk meralatnya. Aku mengangguk ke arah tempat kunci di mana dia meletakkan kartu yang segera mengaktifkan listrik di kamar ini. Setelah memberinya tip yang sewajarnya, aku memintanya untuk meninggalkan aku.
Begitu pintu tertutup, aku memasang gerendel agar tidak ada yang bisa masuk walaupun memiliki kunci kamar ini. Aku percaya pada karyawan hotel yang tidak akan merusak reputasi tempat kerja mereka sendiri, namun tidak ada salahnya berjaga-jaga.
Aku melirik jam tangan, dan jarum jam menunjukkan bahwa aku hanya punya waktu kurang dari dua jam untuk bersiap-siap. Aku segera mengeluarkan dress berwarna biru dari koper dan meletakkan di hanger agar kainnya tidak kusut. Warna yang akan semakin memperjelas warna mataku.
Biasanya aku memakai rambut palsu dengan warna lebih gelap sesuai dengan warna rambut orang kebanyakan, juga menggunakan lensa kontak berwarna gelap. Tetapi klienku kali ini adalah orang asing, jadi aku ingin tampil apa adanya. Rambut pirang dan mata biruku akan membuat aku terlihat lebih cantik daripada penampilan palsuku.
Ponselku bergetar di atas konter, di sisi peralatan rias yang masih berantakan. Aku membaca pesan baru yang ada di kotak masuk. Dari Sigit. Colin akan tiba lima belas menit lagi. Pastikan kamu sudah siap saat dia mengetuk pintu kamarmu.
Aku menatap bayanganku di cermin. Rambutku tergerai dengan satu sisi aku seka di belakang telinga memperlihatkan anting panjang yang indah menggantung di telingaku. Dress biru dengan kerah sabrina dan berlengan pendek membungkus tubuh bagian atasku dengan sempurna, lalu roknya melebar hingga sedikit di atas lutut.
Colin menginstruksikan agar aku mengenakan pakaian yang sopan, maka ini adalah pilihan yang aman. Syukurlah, kali ini klien tidak meminta aku mengenakan pakaian yang menunjukkan belahan dadaku. Walaupun aku melakukan ini demi uang yang banyak, aku tidak nyaman saat laki-laki menatap dadaku, bukan wajahku.
Sepatu berwarna krem dan tas tangan berwarna senada melengkapi penampilanku. Aku mengambil ponsel dan memasukkannya ke dalam tas. Hanya ada beberapa lembar uang, KTP, dan tisu di dalamnya. Aku juga tidak lupa memasukkan bedak wajah dan lipstik.
Ketika pintu diketuk, aku sudah siap untuk misiku. Aku menyapukan pandangan ke sekitarku dan tersenyum puas melihat kamar masih rapi dan kamar mandi juga sudah bersih. Aku membuka pintu dan gerendel membantu menahannya hanya terbuka sedikit.
“Colin Andrew Lewis,” kata pemuda yang berdiri di depan pintu. Itu adalah nama klienku, maka aku menutup pintu, melepas gerendel, dan membuka pintu lebih lebar.
“Hai, Colin. Aku sudah siap.” Aku tersenyum manis kepadanya. Tidak seperti klienku yang biasanya, dia tidak menghabiskan banyak waktunya untuk melihat penampilanku. Pemuda yang menarik.
Sepanjang perjalanan, dia juga hanya diam saja. Aku menggunakan waktu senyap itu dengan memerhatikan penampilannya. Dia berambut cokelat yang dibiarkannya sedikit panjang, namun tetap rapi. Aku perhatikan tadi matanya berwarna biru, lebih cerah dari warna mataku. Tubuhnya tinggi dan kelihatannya dia suka berolahraga bila dilihat dari tubuhnya yang atletis.
“Kamu tahu bahwa sikapmu tidak bisa begini terhadapku di depan teman-temanmu nanti, ‘kan?” godaku mencoba untuk mencairkan suasana.
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan nanti,” jawabnya dengan bahasa Inggris.
“Oh, apa kamu tidak bisa berbahasa Indonesia tetapi bisa memahami aku?” tanyaku ingin tahu.
“Jangan bilang kamu tidak bisa berbahasa Inggris. Karena aku membayar jasamu dengan mahal untuk berpura-pura menjadi pacarku dari Amerika,” sungutnya. Ooo, itu maksudnya mengajak aku bicara menggunakan bahasa asing. Meskipun bahasa Indonesianya cukup lancar, dialek Amerikanya terdengar masih kental.
“Jangan khawatirkan itu. Khawatirkan saja tentang aktingmu agar bisa meyakinkan semua orang,” balasku. Dia tersenyum senang mendengar kalimatku itu.
“Aku bisa berakting.” Dia memutar bola matanya. “Bagaimana kamu bisa berbahasa Indonesia dengan fasih?”
“Aku besar di negeri ini. Hanya itu yang aku tahu.” Aku mengangkat kedua bahuku.
“Apa maksudmu hanya itu yang kamu tahu? Apa kamu tidak punya orang tua?” tanyanya ingin tahu. Kami tidak akan bertemu lagi setelah pekerjaanku usai, maka aku memutuskan untuk jujur. Lagi pula dia kelihatannya orang baik.
“Semua orang punya orang tua. Aku hanya tidak tahu siapa mereka,” akuku. Dia menoleh ke arahku sesaat. “Aku diasuh oleh orang tua angkatku.”
“Oh. Maafkan aku. Kita akan bersenang-senang malam ini, aku malah mengajukan pertanyaan yang sensitif.” Dia kembali melihat ke arah jalan di depannya. “Jadi, jangan lupa. Kamu bisa menyebut nama apa saja kepada mereka. Tetapi fakta lain tidak boleh salah. Kita bertemu pada liburan musim panas tahun lalu. Selama ini kita menjalin hubungan jarak jauh dan akhirnya saling jatuh cinta.”
“Kamu juga tidak boleh lupa. Peraturannya, tidak boleh ciuman atau hubungan badan. Kamu hanya boleh mencium pipi, kening, tetapi jangan turun ke leher, tangan pun tidak boleh. Kamu hanya membayar aku untuk tiga kali pertemuan, jadi pilih waktumu dengan baik. Dan jangan sampai lewat dari bulan ini. Aku punya pekerjaan yang lain.”
“Iya, iya. Aku tahu.”
“Lalu, aku harus menjadi gadis seperti apa? Ceria, serius, pemarah, pemurung?” tanyaku lagi.
“Cukup jadi dirimu sendiri saja. Oh. Jangan jadi gadis manja. Aku tidak suka dengan perempuan yang suka menempel.” Dia bergidik pelan.
Aku tertawa kecil. “Apa gadis ini suka menempel padamu?”
“Tidak. Aku hanya tidak mau kamu berakting berlebihan hingga melewati batas. Aku hanya ingin mengakhiri hubungan kami secara baik-baik, bukan mematahkan hatinya.” Dia mendesah pelan.
Pemuda ini benar-benar aneh. Dia kelihatan sekali tidak suka dengan rencana ini. Dan sejak kapan memutuskan hubungan tidak akan mematahkan hati orang yang kita sayangi? Dia sebenarnya ingin mengakhiri hubungan atau tidak? Klienku yang lain selalu terlihat bersemangat dan penuh tekad melakukan drama sejenis ini. Tetapi dia tidak.
Dia menepikan mobilnya memasuki lapangan parkir sebuah restoran. Jantungku mulai berdebar sedikit lebih cepat. Meskipun ini bukan pekerjaan pertamaku, rasanya selalu mendebarkan. Kalau bukan karena aku membutuhkan uang, aku tidak akan menyakiti siapa pun seperti ini.
“Kamu sudah siap?” tanyanya saat kami berdiri di depan pintu restoran. Seorang pelayan sudah membukakan pintu untuk kami. Aku mengangguk pelan.
Pelayan tersebut mengantar kami ke sebuah ruangan. Saat dia membuka pintu, terdengar suara percakapan di dalam. Mereka mendadak diam saat melihat aku, lalu ke arah Colin. Ada belasan orang di dalam ruangan itu. Mereka semua terlihat seumur denganku dan Colin.
“Kamu sangat terlambat, Cole. Tidak seperti biasanya. Ayo, masuk,” ucap seorang pemuda dengan wajah yang sangat ramah. Ketika kami bertemu pandang, dia menatap aku cukup lama sebelum kembali melihat ke arah Colin.
“Maafkan aku. Aku harus menjemput sayangku dahulu.” Colin menarik tanganku yang ada dalam genggamannya agar mengikutinya. Dia menggunakan bahasa Indonesia, jadi aku harus berpura-pura tidak memahami percakapan mereka.
Dia mengajak aku mendekati meja di mana pemuda yang menyapanya tadi berada. Orang-orang yang duduk di meja lain sudah kembali melanjutkan percakapan mereka. Tetapi yang duduk mengelilingi meja ini tidak.
Aku duduk di samping seorang gadis yang sangat cantik, lalu Colin duduk di sudut, di sisiku. Semua mata di sekitar kami masih memandang ke arahku, membuatku sedikit canggung. Pemuda yang tadi sudah asyik dengan makanannya dan tidak lagi memedulikan kami.
“Ng, sayang. Aku meninggalkan ponselku di mobil. Aku segera kembali.” Colin menepuk-nepuk saku kemeja dan celananya mencari-cari sesuatu. Yang benar saja. Dia akan meninggalkan aku di tengah orang asing sendirian?
“Jadi, kamu teman Colin?” tanya gadis yang duduk di sisiku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. “Ah, perkenalkan. Namaku Erendira. Panggil aku Dira.” Dia mengulurkan tangannya kepadaku dengan senyum manis tidak berhenti menghiasi wajahnya.
“Mila. Tidak, aku kekasihnya,” kataku sambil menjabat tangannya. Gadis bernama Dira itu menatap aku dengan saksama.
“Kamu pasti bohong,” kata pemuda yang duduk di depanku, pemuda yang menyapa Colin pertama kali. “Apa kamu tidak tahu bahwa Dira dan Colin sudah bertunangan?”
Oh. Sial. Mengapa Colin tidak memberi tahu aku tentang ini? Yang harus aku hadapi bukan seorang pacar tetapi tunangan? Apa dia sudah gila meninggalkan aku sendiri menghadapi mereka semua?
*****
Sementara itu di lapangan parkir~
Colin setengah berlari mendekati mobinya, lalu membuka pintu depan, dan mendesah lega melihat ponselnya masih tersimpan aman di sisi pintu depan. Saat dia mengambilnya, benda itu bergetar. Dia segera memeriksa layarnya, lalu menarik napas panjang.
“Halo, Ma!” sapanya dengan riang.
“Kamu sedang di mana? Mengapa aku menelepon Lily dan dia bilang kamu tidak sedang bersamanya? Apa kamu meninggalkan adikmu sendiri lagi?” omel Gista dengan garang.
“Tidak, Ma. Aku tadi minta tolong pada Hadi untuk menjemputnya dari sekolah. Sekarang kami sedang makan malam bersama.”
“Perayaan ulang tahun temanmu?” Colin mengiyakannya. “Ya, sudah. Jangan pulang terlalu malam. Papamu tidak akan senang melihat kalian pulang lebih lama darinya.”
“Iya, Ma.” Dia mengakhiri hubungan telepon setelah mengucapkan salam. Baru saja menutup pintu dan mengunci mobilnya, ponsel itu kembali bergetar. Kali ini ada sebuah pesan masuk. Dia segera membukanya karena nomor itu milik Mila.
Jadi, rivalku adalah tunanganmu!? Cepat kembali!
“Oh, Tuhan ….” Colin mengusap wajahnya dan bergegas kembali ke restoran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments